Pemilu Sistem Proporsional Terbuka dan Tertutup
Apakah Membawa Makna Baru Pemilu?
Oleh : Dr Immawan Wahyudi
PUSAT Studi Hukum dan Konstitusi FH UII dan AP HTN/HAN (Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara/Hukum Administrasi Negara) Daerah Istimewa Yogyakarta tanggal 17 Januari menyelenggarakan Seminar Hybrid dengan Topik Koalisi, Sistem Pemilu, dan Sistem Presidensial Multipartai.” Dalam seminar setengah hari tersebut penulis diminta berpartisipasi dengan topik Tantangan dan Efektivitas Sistem Proporsional Terbuka dan Tetutup.
Apa yang dimaksudkan oleh Panitia dengan penggunaan istilah tantangan penulis fahami bahwa sifat politik secara teoretis maupun pragmatis memang penuh tantangan. Oleh sebab itu diskursus yang mengemuka beberapa waktu lalu adanya dua kubu kepentingan diterapkannya Pemilihan Umum (Pemilu) Sistem Proporsional Terbuka dan Tertutup sebagai sesuatu yang sangat wajar.
Bahkan menjadi tidak wajar jika usulan dari PDIP yang “kangen” dengan sistem proporsional tertutup disetujui begitu saja. Namun kita berharap perdebatan kedua kubu akan melebar tidak sekadar memasalahkan hal-hal “yang relatif teknis” tetapi mengembangkan isu bagaimana idealitas sistem proporsional terbuka dan tertutup dikaji dalam konteks demokrasi yang kembali pada jalur ikhtiar mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran bangsa.
Adapun istilah efektivitas bisa kita artikan efektif secara yuridis-formal, efektif secara teknis-fungsinal dan efektif dalam konteks idealitas Pemilu secara filosofis maupun sosiologis. Efektivitas secara yuridis-formal itu sudah jelas, sebagaimana karakter dari produk hukum Jakarta dewasa ini selalu efektif. Maksudnya apapun reaksi dan aspirasi masyarakat tidak penting, yang penting sudah ditetapkan maka sudah legal untuk dipaksakan.
Efektivitas secara teknis-fungsional akan semata-mata berkaitan dengan penghitungan dan menyelesaikan dari dua sistem tersebut. Sedangkan efektivitas secara sosiologis artinya hasil dari Pemilu benar-benar demokratis karena adanya jaminan bahwa rakyat akan menemukan suatu masa dimana para Wakil Rakyat kembali efektif dalam memperjuangkan aspirasi dan menuju kesejahteraan dan kemakmuran serta keadilan.
Karakteristik Sistem Proporsional
Sistem proporsional dalam Pemilu adalah sistem di mana satu daerah pemilihan memilih beberapa wakil. Dalam sistem proporsional, dimungkinkan adanya penggabungan beberapa partai politik untuk memperoleh kursi. Sistem proporsional telah beberapa kali Pemilu diterapkan di Indonesia. Sistem ini disebut juga dengan sistem perwakilan berimbang atau multi member constituency.
Sistem proporsional dibagi menjadi dua yakni sistem proporsional terbuka dan sistem proporsional tertutup. Sistem proporsional terbuka adalah sistem pemilu di mana pemilih memilih langsung calon legislatifnya. Sedangkan dalam sistem proporsional tertutup, pemilih hanya memilih partai politiknya saja. Masyarakat awak umumnya memahami dengan istilah memilih caleg dan memilih partai. (Riant Nugroho, Kebijakan Pemilihan Umum, hal. 16-29, juga dalam Kompa.com. Kamus Pemilu: 14/01/2023: 16:30)
Sistem proporsional dipandang memiliki kelebihan jika dibandingkan dengan system lainnya (distrik dan campuran). Diantara kelebihan itu adalah: mampu menghindari suara pemilih yang terbuang secara sia-sia, dan dapat memfasilitasi keanekaragaman masyarakat dalam upayanya menempatkan wakil mereka di DPR/DPRD.
Sementara itu Sekjen DPP PDIP Hasto Kristianto menilai, sistem pemilu proporsional terbuka cenderung mendorong adanya nepotisme. Sebab, caleg-caleg yang diangkat adalah anak atau istri para tokoh tanpa melalui pendidikan politik. “Kami melihat proporsional terbuka dalam pragmatisme partai politik cenderung mendorong nepotisme yang mengangkat sekadar anak anak tokoh, istri istri tokoh untuk sekadar diangkat (caleg) tanpa melakukan proses kelembagaan melalui kaderisasi dan pendidikan politik,” kata Hasto dalam acara rilis survei Indikator Politik Indonesia, Merdeka.com – Rabu (4/1).
Statemen ini sesungguhnya agak ambigu. Bukankah yang biasanya memanfaatkan nepotisme justru sistem proporsionalitas tertutup karena pimpinan partai ditentukan didesain sesuai “aspirasi tokoh sentral” partai? Wujudnya adalah “nomor-nomor kopiah” dihuni oleh mereka yang memiliki kedekatan dengan tokoh partai. Sedangkan untuk para “penggembira” akan dapat “nomor sabuk” dan “nomor sepatu.”
Pada sisi lain alasan Hasto yang mengungkapkan bahwa para wakil rakyat di DPR kini hanya fokus pada fungsi elektoral. Mereka sekadar menyoroti kebijakan populis sebanyak mungkin, sangat masuk akal. Hasto mengatakan; “Bahkan saya bertemu dengan banyak menteri ya, ketika saya tanya bagaimana praktik ini sebagai otokritik terhadap selurih partai, bukan hanya PDI Perjuangan, praktik kelembagaan di DPR hampir semua anggota fokusnya kepada fungsi elektoralnya, menyoroti kebijakan populis sebanyak mungkin di daerah elektoralnya,” tuturnya. Merdeka.com/04/01/2023.
Alasan ini rasional, sebab jika dihubungkan dengan sistem proporsionalitas terbuka pada praktiknya adalah sistem suara terbanyak, maka para wakil rakyat berperilaku seperti yang dituturkan Hasto. Bahkan lebih jauh dari itu, pimpinan partai tidak lagi menjadi faktor penting bagi mereka yang telah duduk di kursi empuk DPR/DPRD. Belakangan terdapat delapan Parpol bersatu untuk mempertahankan system proporsional terbuka. Mengapa system proporsional terbuka lebih diminati dapat dilihat dalam table berikiut ini.
Perbedaan sistem proporsional terbuka dan sistem proporsional tertutup: (sumber tulisan Kompas.com dengan modifikasi dan Riant Nugroho, 2023, hal 16 -29)
Poin Pembeda | Proporsional Terbuka | Proporsional Tertutup | Keterangan | ||
Pelaksanaan | Partai Politik mengajukan daftar calon yang tidak disusun berdasarkan nomor urut dan tanpa nomor di depan nama. (Biasanya susunannya hanya berdasarkan abjad atau undian). | Partai politik mengajukan daftar calon yang disusun berdasarkan nomor urut. Nomor urut ditentukan oleh partai politik. | Dalam pengalaman praktisnya, meski dengan system suara terbanyak calon yang merasa memiliki otoritas dalam partai mengharuskan penempatan dirinya di nomor urut satu atau dua. | ||
Metode pemberian suara | Pemilih memilih salah satu nama calon. | Pemilih memilih partai politik. | Praktiknya saat kampanye tatap muka calon akan men-sosialisasikan nomor urut dirinya saja. | ||
Penetapan calon terpilih | Penetapan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak. | Penetapan calon terpilih ditentukan berdasarkan nomor urut. Jika partai mendapatkan dua kursi, maka calon terpilih adalah nomor urut 1 dan 2. | Untuk pengamanan calon yang telah memperoleh suara terbanyak khawatir kalau ada gugatam atau tuntutan pergantian antar waktu | ||
Derajat keterwakilan | Memiliki derajat keterwakilan yang tinggi karena pemilih bebas memilih wakilnya yang akan duduk di legislatif secara langsung, sehingga pemilih dapat terus mengontrol orang yang dipilihnya. | Kurang demokratis karena rakyat tidak bisa memilih langsung wakil-wakilnya yang akan duduk di legislatif. Pilihan partai politik belum tentu pilihan pemilih. | Meskipu dengan spirit suara terbanyak untuk mencari figus yang ideal, pada praktiknya kembali kepada semangat NPWP (nomere piro wanine piro) | ||
Tingkat kesetaraan calon | Memungkinkan hadirnya kader yang tumbuh dan besar dari bawah dan menang karena adanya dukungan massa. | Didominasi kader yang mengakar ke atas karena kedekatannya dengan elite parpol, bukan karena dukungan massa. | Pada praktiknya sudah sangat sulit untuk memperoleh idealitas calon sebagaimana digambarkan dalam system terbuka. | ||
Jumlah kursi dan daftar kandidat | Partai memperoleh kursi yang sebanding dengan suara yang diperoleh. | Setiap partai menyajikan daftar kandidat dengan jumlah yang lebih dibandingkan jumlah kursi yang dialokasikan untuk satu daerah pemilihan atau dapil. | Pertimbangan banyak sedikitnya caleg akan berkaitan dengan tingkat jesulitan di KPU pada saat penghitungan suara. | ||
Kelebihan | Mendorong kandidat bersaing dalam memobilisasi dukungan massa untuk kemenangan.
Terbangunnya kedekatan antara pemilih dengan yang dipilih. Terbangunnya kedekatan antarpemilih. |
Memudahkan pemenuhan kuota perempuan atau kelompok etnis minoritas karena partai politik yang menentukan calon legislatifnya.
Mampu meminimalisir praktik politik uang. |
Idealitas itu pada kenyataannya hanya idealitas diatas kertas. | ||
Kekurangan | Peluang terjadinya politik uang sangat tinggi.
Membutuhkan modal politik yang cukup besar.
Rumitnya penghitungan hasil suara. Sulitnya menegakkan kuota gender dan etnis. |
Pemilih tidak punya peran dalam menentukan siapa wakil dari partai mereka.
Tidak responsif terhadap perubahan yang cukup pesat. Menjauhkan hubungan antara pemilih dan wakil rakyat pascapemilu. |
Duitokrasi membunuh demokrasi betul-betul terjadi. Conto yang penulis ungkap jangan direspon sebagai“guyonan” demokrasi, sebab kalau sudah secara akumulatif bersifat nasional maka tidak ada ruang untuk bicara demokrasi yang asli. | ||
Warning Demokrasi Prosedural
SUDAH cukup lama para pengamat maupun aktivis Non-Government Organization (NGO) meneriakkan tanda bahaya demokrasi prosedural. Secara jujur saya beranggapan bahwa Pemilu demokratis pasca amandemen UUD 1945 adalah pada Tahun 1999. Barangkali hal ini terjadi karena masih hangatnya spirit reformasi sehingga antar partai pun berkomunikasi secara baik.
Adapun Pemilu sesudahnya menunjukkan gejala-gejala hilangnya makna dan spirit reformasi yang diperjuangkan secara berdarah-darah. Duitokrasi Membunuh Demokrasi tulisan dari Prof. Deny Indrayana (Media Indonesia, 5 Januari 2023) adalah analisis yang menurut hemat saya tepat. Kalau kita amati kelompok pengusaha semakin dominan menguasai panggung politik nasional.
Realita ini memaksa kita untuk memikirkan perbaikan partai politik di masa depan. Dalam upaya ini Perguruan Tinggi tidak boleh tinggal diam. Mencari solusi perbaikan system kepartaian. Pelembagaan partai politik harus terus diperkuat. Diantara kepentingan memperkuat partai politik adalah untuk membangun system pemerintahan yang berjalan secara normal dan seimbang yakni dengan mewujudkan tradisi checks and balances.
Oleh karena gejala positif ini semakin melemah maka diperlukan perbaikan kehidupan kepartaian. (Jimly Asshddiqie, 2006, hal. 153-154). Diantara sederet upaya perbaikan kehidupan partai politik meliputi isu-isu: 1. memutus lingkaran oligarki. 2. merekrut anggota yang profesional. 3. menguatkan kemandirian keuangan. (Handayani dan Fais Yonas, 2019, hal. 125-129).
Oligarki Verus Demokrasi
SUNGGUH luar biasa pemikiran Aristoteles tentang 4 (empat) varietas oligarki dalam buku karyanya Politik. Empat varietas oligarki –sebagaimana pernah penulis ungkpkan dimedia ini– sudah terwujud di Negara kita. Dalam kaitan dengan mempertimbangkan mana yang lebih baik antara system pemilu proporsional terbuka dan tertutup sudah kehilangan makna hakiki dari politik demokrasi karena telah “diinterupsi” oleh tradisi politik Oligarki. Dampaknya kedua system itu system manapun yang akhirnya akan ditetapkan hanya akan menjadi instrument para “bandar politik” untuk akan menguasai kekuasaan.
Beberapa cerita real yang terkait dengan pengaruh oligarki (dalam konteks Indonesia konotasi oligarki langsung terkait dengan kelompok pemodal super-super besar) yang bisa membikin kita akan berhenti berupaya membangun kembali nilai demokrasi sejati. Hal itu karena model pembiayaan telah begitu real dan power full untuk menguasai kekuasaan –apapun jenis kekuasaan itu.
Kita bisa menyaksikan pengaruh langsung dari sikap permisif akibat money, dari politik entheng-enthengan model NPWP (nomere piro wanine piro) daerah. Juga pengaruhnya di kelas menengah dan atas, demikian juga pembiayaan terhadap caleg (calon legislatif) dan cakada (calon kepala daerah) di daerah. Pada intinya, semua pembiayaan itu bertujuan untuk menguasai siapapun yang akhirnya pemiliu terpilih dalam pemilu. Naasnya si pemenang ini hanya akan menikmati jabatan tetapi tidak memiliki kekuasaan.*
Dr Immawan Wahyudi, Dosen Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan (UAD)