Belajar pada Kata dan Peristiwa (4)
Oleh: Mohammad Fakhrudin
Menasihati dengan hati
mencegah kemunkaran
dengan keramahan
bukan dengan kemarahan
Dari uraian dan contoh kisah nyata yang disajikan pada Belajar pada Kata dan Peristiwa (3), Suara Muhammadiyah edisi 2023/01/12, ada pelajaran penting yang harus kita petik. Pelajaran penting dari kisah nyata Imam Musa al-Kazhim, cucu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari keturunan Fatimah dan Ali bin Abu Thalib, adalah beliau berkenan mendengarkan dan mengamalkan nasihat dari budaknya karena nasihat itu bersumber pada al-Qur’an. Beliau menahan amarah, memaafkan kesalahan, dan berbuat kebaikan kepada budak dengan memerdekannya. Jadi, cintanya pada Allah Subhanahu wa Ta’aala jauh melampaui cintanya kepada diri sendiri.
Imam Musa tidak memaki-maki budaknya. Memaki-maki tidak dicontohkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Dengan demikian, jika Imam Musa memaki-maki berarti tidak mencontohnya. Hal ini berarti pula bahwa beliau lebih mencintai diri sendiri.
Sementara itu, dari kisah ARTdapat kita ambil pelajaran penting, antara lain, adalah mengubah perilaku dari buruk menjadi baik memerlukan metode yang tepat. Di samping itu, kesabaran merupakan faktor yang sangat penting.
Apa yang terjadi jika ART diusir karena dia tidak bangun untuk mempersiapkan sahur? Sekurang-kurangnya ada dua akibat, yakni (1) ART merasa diperlakukan secara tidak santun dan tidak memperoleh pendidikan yang dilakukan dengan sabar tentang kebenaran dan kebaikan dan (2) semua pekerjaan harus dilakukan sendiri. Akibat yang kedua itu tentu menimbulkan masalah baru.
Di dalam Islam, kesantunan tidak hanya wajib dilakukan oleh orang yang berstatus sosial rendah kepada orang yang berstatus sosial tinggi, tetapi juga orang yang berstatus sosial tinggi kepada orang yang berstatus sosial rendah. Berbeda halnya kesantunan di dalam kebudayaan: orang yang berstatus lebih rendahlah yang harus berperilaku santun kepada orang yang berstatus sosial lebih tinggi.
Sebagaimana diuraikan pada Belajar pada Kata dan Peristiwa (3), Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintah dan meneladani atau memberi teladan umatnya agar santun terhadap ART. (Catatan: meneladani dengan makna mencontoh merupakan salah kaprah. Kata yang bermakna mencontoh adalah meneladan) Perilakunya yang demikian sejalan dengan firman Allah Subhnahu wa Ta’aala di dalam al-Qur’an surat al-Hujurat (49): 13,
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya, orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya, Allah Maha Mengetahui lagi Mahateliti.”
Di dalam Belajar pada Kata dan Peristiwa (4) ini disajikan kisah nyata perilaku Nabi Ibrahim dan Pak Menteri dalam hal menerima tamu. Semoga menginspirasi.
Tamu Nabi Ibrahim
Kisah Nabi Ibrahim menerima tamu pada waktu dini hari sangat menarik dan inspiratif. Allah Subhaanahu wa Ta’aala di dalam surat adz-Dzariyat (51): 26-27 berfirman,
فَرَاغَ اِلٰٓى اَهْلِهٖ فَجَاۤءَ بِعِجْلٍ سَمِيْنٍۙ
فَقَرَّبَهٗٓ اِلَيْهِمْۚ قَالَ اَلَا تَأْكُلُوْنَ
“Maka dengan diam-diam dia pergi kepada keluarganya, maka datanglah dia dengan membawa anak sapi gemuk. Kemudian, dia menghidangkannya kepada mereka sambil berkata, “Tidakkah kalian akan makan?”
Firman Allah Subhaanahu wa Ta’aala tersebut berisi contoh cara Nabi Ibrahim ‘alaihis salam memuliakan tamu. Dalam Tafsir al-Azhar karya Hamka (hlm. 6911), dijelaskan beliau menyambut tamu dengan sifat hormat. Beliau mempersilakan tamu itu duduk di tempat penerimaan tamu. Setelah itu, beliau pergi secara diam-diam memberi tahu keluarganya bahwa ada tamu. Lalu, segeralah seisi rumah sibuk menyambut tamu dengan sepantasnya.
Ditangkaplah seekor anak sapi yang masih muda, disembelih, dan dibumbui baik-baik. Setelah itu, daging sapi itu dibakar sampai masak. Dibawanyalah hidangan anak sapi gemuk itu ke hadapan tamu itu, sebagai tanda menghormatinya. Namun, tamu itu tidak menyentuhnya sama sekali. Ternyata dia adalah malaikat sebagaimana dijelaskan di dalam surat al-Hijr (15): 51,
وَنَبِّئْهُمْ عَنْ ضَيْفِ اِبْرٰهِيْمَۘ
“Dan kabarkanlah (Muhammad) kepada mereka tentang tamu Ibrahim (malaikat).”
Peristiwa penerimaan tamu yang demikian semestinya menginspirasi umat Islam. Sesuai dengan tafsir Al Azhar, tamu itu ditempatkan di ruang penerimaan tamu. Garasi mobil bukan tempat penerimaan tamu. Oleh karena itu, tidak sepantasnya kita menerima tamu di tempat itu.
Pelajaran lain yang perlu kita petik juga adalah bahwa Nabi Ibrahim sama sekali belum mengenal tamu itu. Namun, beliau sangat menghormatinya.
Tuntunan Memuliakan Tamu
Pada Suara Muhammadiyah edisi 2022/06/22 telah disajikan artikel Memuliakan Tamu. Untuk mengingat kembali, pada Belajar pada Kata dan Peristiwa (4) ini disajikan perilaku menerima tamu di dalam Himpunan Putusan Tarjih 3 (2018: 458) sebagai berikut:
- menjawab salam tamu yang datang;
- menerima tamu dengan ramah dan menghormatinya sesuai dengan usia dan kedudukannya, tanpa membedakan baik status sosial, jenis kelamin, ras maupun agama;
- jika ada tamu atau siapa saja yang datang, hendaklah berdiri sebentar, bersalaman, berkenalan, kemudian duduk kembali;
- menanggapi keperluan tamu dengan cara-cara yang menyenangkan;
- mengantar tamu sampai ke pintu atau sampai ke halaman, jika berkendaraan, antarlah sampai ke kendaraannya apabila mau pulang;
- meminta maaf jika ada kekurangan dalam penerimaan atau menyampaikan ucapkan selamat jalan dan ucapan salam;
- menjaga kehormatan diri dan keluarga bila menerima tamu lain jenis yang bukan mahram.
Pada dasarnya, ketujuh butir perilaku menerima tamu tersebut merupakan penjabaran lebih rinci dari sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tetangganya. Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya.” (HR al-Bukhari dan Muslim)
Di dalam Belajar pada Kata dan Peristiwa (4) ini, butir (2) menjadi fokus kajian. Dalam kenyataan masih ada muslim yang kurang memperhatikan pakaian ketika menerima tamu. Misalnya, ibu-ibu tetap saja memakai daster, padahal daster tersebut sudah kotor dan berbau kurang sedap. Bapak-bapak tetap saja memakai kaos, bahkan, kadang-kadang memakai celana pendek.
Ada pula setelah tahu bahwa tamu yang akan datang bermaksud minta bantuan, tuan rumah kurang hormat. Bahkan, dia mengucapkan kata-kata yang tidak santun.
Sebenarnya dengan berpakaian bagus, tuan rumah tidak hanya menghormati tamu, tetapi juga justru menghormati diri sendiri. Tamu yang dihormati tuan rumah, tentunya menghormati tuan rumah.
Waspada dan Berhati-Hati terhadap Tamu
Kewaspadaan dan keberhati-hatian sangat penting. Pada akhir-akhir ini sering terjadi perampokan atau pencurian yang dilakukan oleh “tamu tak diundang”.
Banyak modus yang digunakan. Ada yang mengaku petugas suatu perusahaan atau instansi pemerintah. Ada yang berperilaku sok kenal, sok dekat, dan sok akrab (SKSDSA). Ada pula yang mengaku musyafir yang kehabisan uang.
Sebelum kita yakin bahwa mereka benar-benar “orang baik”, jika kita menerimanya di teras atau bahkan, di luar pagar rumah kiranya tidak mengurangi rasa hormat asal kita bersikap ramah. Hal itu kita lakukan demi kewaspadaan dan keberhati-hatian.
Ada modus lain, yaitu mengaku sebagai mualaf. Dia mengatakan diusir dari asramanya karena masuk Islam. Lalu, dia menjelaskan akan mengambil barang-barangnya. Namun, dia tidak mau dibantu, bahkan, berubah pikiran tidak akan mengambilnya. Ujung-ujungnya dia minta bantuan dana.
Tamu yang SKSDSA mungkin datang di kantor atau kampus perguruan tinggi atau sekolah-sekolah. Di antara mereka, ada yang mengaku petugas dari Unicef yang menawarkan bantuan minimal 20 miliar. Namun, setelah ditanya lebih detail, dia mengatakan bawa dirinya sebenarnya hanya ditugasi untuk mewakili pejabat organisasi tersebut yang sedang meeting di Jakarta. Dia menjelaskan bahwa untuk memperoleh bantuan, perlu disediakan dana pendamping 10% dari dana bantuan yang diminta.
Ketika ditanya syarat dan ketentuan tertulis, dia tidak dapat memberikannya. Ketika ditanya boleh tidaknya menemui pejabat yang sedang meeting di Jakarta untuk berdiskusi, dia pun ngeles.
Masih ada lagi modus lain. Di antara mereka ada yang sudah melakukan pendekatan lebih dulu pada staf sehingga terkesan bahwa mereka adalah orang yang dapat dipercaya. Malahan, di antara mereka ada yang masuk ke ruang pimpinan diantar oleh satpam atau staf yang dikenal baik oleh pimpinan.
Terhadap “tamu tak diundang” seperti itu kita tetap hormat. Namun, kita tidak boleh lengah. Agar tidak menjadi korban penipuan, pimpinan wajib memberikan arahan tentang prosedur operasi standar (standard operating prosedure) menerima tamu kepada staf, terutama staf penerima tamu. Mereka harus dilatih agar cerdas berkomunikasi, bahkan, berdiplomasi sebab mereka lazimnya merupakan petugas pertama yang ditemui tamu.
Arahan itu harus disampaikan juga kepada satpam. Mereka harus cerdas berkomunikasi dan berdiplomasi juga.
Menjadi Tamu Pak Menteri
Saya mendapat kabar bahwa putra salah seorang menteri pada era SBY periode 2004-2009 sakit dan dirawat di rumah sakit di Yogyakarta. Saya dan istri saya bermaksud menjenguknya.
Timbul perasaan bimbang. Bagaimana kami melakukannya? Setelah berdiskusi, kami memastikan untuk menjenguknya. Bismillah! Kami berangkat.
Pada jarak sekitar 5 kilometer dari rumah, kami baru sadar bahwa pasti ada ketentuan yang harus kami penuhi. Kami pasti ditanya tentang identitas lengkap kami. Mungkin juga ditanya nama anak Pak Menteri yang akan kami jenguk.
Kami tidak panik. Istri saya menelepon kakak Pak Menteri. Sesuai dengan harapan, kami memperoleh informasi lengkap tentang nama putra Pak Menteri. Kami optimistis semua berjalan dengan lancar.
Setiba di rumah sakit, kami dengan percaya diri langsung menuju gedung tempat putra Pak Menteri dirawat. Kami sudah memperoleh informasi dari kakak Pak Menteri sehingga tidak mengalami kesulitan. Namun, menjelang sampai di depan ruangan tempat putra beliau dirawat, kami disapa oleh petugas khusus. Kami pastikan bahwa dia adalah pengawal Pak Menteri.
Benar! Dia menanyakan identitas dan keperluan kami. Saya menjawabnya. Dia pun menanyakan nama putra Pak Menteri yang akan kami jenguk. Saya dapat menyebutkannya dengan benar. Setelah itu, baru kami diantar ke “ruang tamu” dan disilakan duduk.
Beberapa saat kemudian, Pak Menteri keluar kamar memakai kaos oblong putih dan sangat bersih. Kami berdiri dan mengucapkan salam. Beliau menjawabnya. Saya berjabat tangan dengan beliau. Beliau menyilakan kami duduk. Kami duduk kembali.
“Sebentar, ya, Pak Fakhrudin.” Beliau kembali masuk kamar.
“Ya, Pak.”
Saya dan istri saya menunggu di “ruang tamu”. Kami tetap tenang karena menafsirkan kata-katanya sebagai pamitan dan akan kembali menemui kami.
Dalam hitungan kira-kira menit ke-3, beliau sudah kembali menemui kami. Masya-Allah! Beliau berpakaian sangat rapi. Beliau memakai baju batik yang sangat bagus.
Tidak lama kami berbincang-bincang dengan beliau. Setelah mendoakan putranya, kami pamit. Dalam perjalanan pulang, sepanjang jalan menuju rumah kami sangat terkesan dengan perilakunya menerima kami. Bahkan, sampai sekarang peristiwa itu saya jadikan bahan pembelajaran bagi anak cucu, saudara, tetangga, dan teman-teman.
Ada perilaku Pak Manteri dalam hal menerima tamu yang wajib kita contoh. Beliau menghormati kami dengan cara berbicara yang santun dan mengenakan pakaian yang sangat rapi meskipun kami berstatus sosial jauh lebih rendah. Perilaku yang demikian mencerminkan bahwa beliau telah memuliakan tamu sebagaimana digariskan di dalam Himpunan Putusan Tarjih 3 yang pada dasarnya merujuk pada tuntunan al-Qur’an dan hadis.
Alhamdulillahi rabbil’aalamiin.
Mohammad Fakhrudin, warga Muhamadiyah, tinggal di Magelang Kota