Peran Intelektual di Tubuh IMM

Peran Intelektual di Tubuh IMM

Peran Intelektual di Tubuh IMM

Oleh: Rafi Tajdidul Haq

Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) memiliki orientasi yang luas dan khas bila ditengok dari corak ideologis dan gerakannya selama setengah abad lebih sejak kelahirannya pada tahun 1964. Dalam peresmian berdirinya IMM di Gedung Dinoto Yogyakarta oleh KHA. Badawi dicetuskan pula enam butir penegasan IMM yang hingga detik ini masih menjadi pusaka bagi para kader ikatan. Poin ketiga berbicara tentang penegasan bahwa fungsi IMM adalah eksponen mahasiswa dalam Muhammadiyah (Fathoni, 1990).

Berdasarkan hal itu, jelaslah bahwa IMM boleh dikatakan sebagai “manuver” Muhammadiyah dalam dakwahnya di lingkungan mahasiswa. Tak salah bila Haedar Nashir, Ketua Umum Muhammadiyah 2015-2020, menaruh harapan pada IMM agar organisasi ini dapat menjadi “gudang intelektual” dalam lingkungan Muhammadiyah itu sendiri.

Sebagai organisasi mahasiswa, peran utama IMM dalam mendiseminasikan pemikiran dan gerakannya diaktualisasikan dalam tiga bidang garapan yaitu keagamaan, kemahasiswaan dan kemasyarakatan. Ketiga poin tersebut biasa dikenal dengan istilah Trilogi IMM. Ini seperti yang penulis ceritakan di bagian awal, orientasi IMM sangatlah luas dan khas.

Tidak hanya berbicara rukun Islam dan rukun iman, namun juga berbicara tentang agraria, hukum, politik, kenegaraan, kebangsaan dll. Peran IMM dalam tiga bidang tersebut harus dibekali dengan kompetensi dasar yang kita kenal dengan istilah Trikompetensi : religiusitas, intelektualitas dan humanitas. Dalam tulisan ini, penulis akan membahas peran intelektual IMM khususnya peran intelektual sebagai mahasiswa.

Pertanyaan dasar ialah apakah intelektual itu? Dan bagaimana perannya dalam kehidupan individual dan sosial? Secara panjang lebar makna intelektual telah dikemukakan oleh seorang keturunan Palestina-Amerika bernama Edward W. Said dalam bukunya yang berjudul Peran Intelektual. Dalam tulisannya tersebut, Said mengemukakan makna intelektual dengan mengutip beberapa  pendapat populer para tokoh intelektual.

Tokoh yang beliau bahas yaitu Antonio Gramsci, Julien Benda dan Michael Foucault. Selain itu juga terdapat beberapa penjelasan tentang intelektual dari Ali Syari’ati dalam buku Ideologi Kaum Intelektual; Suatu Wawasan Islam. Juga penjelasan intelektual yang disampaikan Abdul Halim Sani dalam karyanya Manifesto Gerakan Intelektual Profetik, karya yang penting bagi kader ikatan.

 

Makna Intelektual: Antonio Gramsci, Julian Benda, Michael Foucault dan Edward Said.

Antonio Gramsci merupakan seorang Marxis yang berasal dari Italia, semasa hidupnya Gramsci pernah dipenjarakan oleh Benito Mussolini, seorang pemimpin fasis Italia, antara tahun 1926-1937. Dalam bukunya yang berjudul  Prison Notebooks, Gramsci mengatakan bahwa semua manusia adalah seorang intelektual, namun tidak semua orang bisa menjalankan fungsi intelektualnya (Said, 2018). Orang yang menjalankan fungsi intelektualnya terbagi menjadi dua tipe.

Pertama, Intelektual Tradisional. Mereka yang termasuk ke dalam intelektual tradisional di antaranya guru, ulama dan para administrator yang secara terus menerus melakukan hal yang sama dari generasi ke generasi.  Kedua, Intelektual Organik. Intelektual kedua ini ialah mereka yang berhubungan langsung dengan kelas atau perusahaan-perusahaan yang memanfaatkan mereka untuk berbagai kepentingan serta untuk memperbesar kekuasaan dan kontrol. Gramsci meyakini bahwa intelektual organik senantiasa aktif dalam masyarakat untuk mengubah pikiran dan memperluas pasar. Karenanya, intelektual organik selalu aktif bergerak dan berbuat (dinamis).

Sementara Julien Benda menyebutkan bahwa seorang intelektual ialah segelintir manusia yang sangat berbakat dan diberkahi moral filsuf-raja. Segelintir orang tersebut yang berperan dalam membangun kesadaran umat manusia. Para Intelektual menjunjung standar kebenaran dan keadilan abadi.

Karenanya ia menyebutkan bahwa intelektual itu sangat langka. Selanjutnya Benda mengatakan bahwa intelektual sejati ialah mereka yang  kegiatannya pada dasarnya bukan untuk mencapai tujuan praktis, tetapi mereka yang  menemukan kepuasan dalam mempraktekan seni atau ilmu pengetahuan, atau spekulasi metafisik. Secara sederhana intelektual menurut Benda : “Kerajaanku bukanlah di dunia ini”.

Menurut Foucault, intelektual ialah seseorang yang bekerja di bidang keilmuan dan mampu menerapkan keahliannya. Menurut Edwar Said, pemikiran Foucault secara khusus merujuk kasus fisikawan Amerika bernama Robert Openheimer yang meninggalkan pekerjaan akademiknya dan memilih menjadi kepala proyek bom atom Los Alamos dari tahun 1942 hingga tahun 1945 dan kemudian menjadi komisaris urusan ilmu pengetahuan di Amerika Serikat. Akhirnya, Edward Said mengemukakan pendapatnya  tentang seorang intelektual sebagai berikut :

“Maka akhirnya, intelektual merupakan figur representatif dari persoalan-persoalan tersebut –seseorang yang tampak merepresentasikan pendirian kalangan tertentu, seseorang yang memberi penyampaian artikulatif kepada publik kendati berbagai kendala mengganjal ” tulis Said.

 

Makna Intelektual: Jalaludin Rahmat, Ali Syari’ati dan Abdul Halim Sani

Jalaludin Rahmat dalam pengantarnya untuk buku Ideologi Kaum Intelektual; Suatu Wawasan Islam,  karya Ali Syari’ati, mengatakan bahwa istilah rausyanfikr adalah istilah yang tepat untuk kaum intelektual dalam arti yang sebenarnya. Rausyafikr merupakan adagium terkenal buah pikir Ali Syari’ati, seorang ideolog dari negara Iran. Makna Rausyanfikr sendiri dalam bahasa Persia berarti seorang pemikir yang tercerahkan.

Syari’ati sendiri menyebutkan bahwa rausyanfikr merupakan seorang intelektual yang mengemban tugas untuk meneruskan perjuangan seorang Nabi dan menentang ketimpangan zaman. Jadi, Intelektual adalah sekelompok orang yang merasa terpanggil untuk memperbaiki masyarakatnya, menangkap aspirasi mereka, merumuskannya dalam bahasa yang dapat dipahami setiap orang, menawarkan strategi dan alternatif pemecahan masalah (Shariati, 1998).

Sementara itu menurut Abdul Halim Sani, seorang aktivis dan kader yang tekun dalam dinamika perkaderan IMM, menulis dalam bukunya yang populer di kalangan kader ikatan berjudul  Manifesto Gerakan Intelektual Profetik,  sebagai berikut:

“Cendekiawan pada dasarnya adalah pekerja-pekerja budaya yang selalu berupaya agar kebudayaan berkembang menjadi suatu yang lebih beradab, sesuai dengan tuntunan zaman berdasarkan nilai-nilai Illahi. Pangkal atau titik tolak cendekiawan nampak pada kegelisahan dan keprihatinan intelektualnya didasari pada kesadaran nilai-nilai agama, ketika berbenturan dengan realitas sosial. Kesadaran tersebut, merupakan selaras dengan keprihatinan yang dimiliki oleh para nabi, mujtahid, yang mempertanyakan keharusan teologis yang terpantul dalam realitas sosial. Oleh karena itu, tugas seorang cendekiawan adalah meneruskan tradisi kenabian dalam melakukan transformasi sosial yang berkeadilan guna terciptanya khairu ummat” (Abdul Halim Sani, 2011)

Selanjutnya, Mas Sani menyebutkan bahwa IMM merupakan organisasi yang memiliki ciri gerakan intelektual profetik berdasarkan alasan-alasan berikut: Pertama, merupakan respon terhadap realitas makro yang menyebabkan dehumanisasi. Kedua, respon terdapat diri (internal) IMM yang membutuhkan paradigma gerakan dalam rangka menyikapi realitas sosial. Ketiga, adalah respon terhadap amal usaha dan sejarah Muhammadiyah, terjebak dalam ritualitas, birokratis, pragmatisme sehingga Muhammadiyah menjadi sangkar besi rasionalisme.

Membumikan Peran Intelektual dalam IMM

Berdasarkan uraian panjang di atas, peran intelektual di tubuh IMM sedikit menemui jalan terang. Kita telah menguraikan bagaimana pendapat Antonio Gramsci, Julien Benda, Foucault, Ali Syari’ati, Jalaludin Rahmat hingga Abdul Halim Sani. Bila mengingat kembali makna intelektual menurut Gramsci, maka IMM sebagai organisasi mahasiswa berarti berperan sebagai intelektual yang harus selalu menjalankan fungsi intelektualnya. Sebagai kaum intelektual IMM dituntut untuk selalu aktif berbuat dan bergerak. Tujuannya ialah untuk menjadi agen perubahan (agent of change) dalam suatu masyarakat, menjadi intelektual organik.

Selanjutnya, IMM diharapkan mampu menjadi bagian dari manusia-manusia yang langka, yang berperan dalam membangun kesadaran umat manusia seperti yang diharapkan Julien Benda, juga tidak gampang terpukau dengan kepentingan praktis (pragmatis). Ha-hal yang sifatnya pragmatis tersebut bukannya malah membangun kesadaran umat manusia, malah bisa jadi  melumpuhkan kesadaran para kader IMM itu sendiri. Dalam kerangka pemikiran Foucault, seorang filsuf  Prancis, IMM mau tidak mau memang harus mengaplikasikan segenap kemampuan akademik yang dimilikinya agar ia mampu menjalankan peran intelektualnya dengan baik.

IMM dengan kapasitas dan kemampuannya harus mampu menjadi representasi dari umat, bangsa dan persyarikatan. Hadirnya IMM sebagai representasi dari ketiga unsur tersebut tentu dalam rangka memainkan peran intelektualnya sebagaimana yang telah disebutkan Edward Wadi Said. Berperan sebagai subjek, bukan menjadi objek perubahan.

Peran seorang intelektual atau rausyanfikr menurut Ali Syari’ati lebih khas lagi. Sekaligus menjadi pembeda makna intelektual yang berasal dari seorang muslim itu sendiri. Dalam konteks ini, para kader IMM diharapkan mampu menjadi manusia-manusia yang tercerahkan (rausyanfikr) yang fungsi utamanya melanjutkan perjuangan Nabi dalam mengamalkan dan medakwahkan nilai-nilai ajaran Islam selain tentunya mengentaskan problem-problem sosial yang terjadi di tengah masyarakat. IMM tidak selayaknya bersikap apatis dan acuh tak acuh dalam kehidupan bermasyarakat, minimal dalam skala kecil yaitu kehidupan dalam masyarakat mahasiswa.

IMM sebagai seorang intelektual profetik barangkali lebih tepat untuk menjelaskan seperti apa peran intelektual IMM. Karena istilah tersebut memberikan identitas khusus bahwa IMM merupakan anak ideologis Muhammadiyah yang selalu berupaya menegakkan ajaran Islam sesuai dengan irama dan nada Muhammadiyah itu sendiri.

Istilah profetik ini juga menjadi identitas bahwa IMM seperti yang dikatakan Mas Sani harus memiliki kesadaran, yang mana kesadaran tersebut “selaras dengan keprihatinan yang dimiliki oleh para nabi, mujtahid, yang mempertanyakan keharusan teologis yang terpantul dalam realitas sosial”. Demikian peran intelektual dalam tubuh IMM yang berorientasi luas sekaligus juga memiliki khasnya sebagai intelektual profetik.

Exit mobile version