YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah — Pimpinan Pusat (PP) Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) menyelenggarakan acara Launching Platform PCI (Platform Pelaporan Kasus Kekerasan Seksual dan Pusat Informasi HKSR) dilanjutkan diskusi interaktif dengan tema “Konsolidasi Layanan Penanganan Kekerasan Seksual Berbasis Digital, Ciptakan Ruang Aman bagi Pelajar”. Acara tersebut dilaksanakan bertempat di Lantai 3 Ruang Aula Gedung PP Muhammadiyah Yogyakarta, Sabtu (21/1).
Turut hadir Ketua Umum PP IPM, Nashir Efendi, Wakil Ketua Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah PP Muhammadiyah, HR Alpha Amirrachman, MPhil., PhD (daring), Komisioner Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sekaligus Sekretaris PP Aisyiyah, Diyah Puspitarini, SPd., MPd, Perwakilan Rekso Dyah Utami, Novi, dan Fitriani dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Dalam sambutannya, Nashir Efendi mengapresiasi atas lahirnya platform tersebut. Menurutnya, platform itu sebagai aktualisasi dari kesadaran diri kolektif hal ihwal penggunaan platform sebagai media afirmatif untuk memberikan jalan kemudahan dalam menanggulangi kasus kekerasan seksual yang tengah disorot beberapa akhir belakangan ini.
“Ini merupakan langkah kecil untuk bisa kita sama-sama memulai (berkiprah), terutama dalam menanggulangi kasus kekerasan seksual yang makin merajalela,” ujarnya.
Kelahiran platform tersebut bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penerimaan kasus pengaduan yang masuk ke PP IPM website. Dan bersamaan dengan itu, kehadirannya pun juga telah dinanti-nantikan sejak lama. Sebab dibalik itu, ada satu proses pergumulan cukup panjang, lama dan baru tahun ini bisa termanifestasikan. Tentu kehadiran platform itu merupakan deretan buah pemikiran dari roda kepemimpinan sebelum-sebelumnya.
“Saya mengucapkan terima kasih kepada para senior yang pada awalnya merumuskan (kehadiran platform tersebut). Sehingga di periode kami tinggal melanjutkan dari apa yang sudah menjadi kebaikan dari periode-periode sebelumnya,” ucapnya.
Nashir Efendi menyinggung kasus kekerasan seksual yang tengah berseliweran di jagat dunia media sosial maupun media cetak. Atas dasar itulah, kader PP IPM memiliki keresahan yang kemudian membuka ruang sensitivitas-kontemplatif untuk menghadirkan secercah solusi terbaik dan tepat sasaran. Alhasil lahirlah platform tersebut yang tepat pada hari ini dilaunching.
Selain itu, Diyah Puspitarini mengatakan bahwa Indonesia saat ini dalam situasi darurat kekerasan seksual. Data KPAI selama tahun 2022 ditemukan 3943 pengaduan masyarakat terkait kasus perlindungan, utamanya dalam hal ini ialah kasus kekerasan seksual dan menempati peringkat kedua. Kekerasan seksual terhadap anak sangat tinggi, yakni sebesar 834 kasus.
Jenis kekerasan seksual terhadap anak dengan motif pencabulan ditemukan sebanyak 400 kasus, anak sebagai korban kekerasan seksual (pemerkosaan dan persetubuhan) sebanyak 395 kasus, anak sebagai korban pencabulan sesama jenis sebanyak 25 kasus, anak sebagai korban kekerasan seksual (pemerkosaan dan persetubuhan) sesama jenis sebanyak 14 kasus.
Sampai tahun 2023 per tanggal (21/1), KPAI telah menerima laporan pengaduan masyarakat untuk korban kekerasan seksual sebanyak 18 kasus, 14 kasus di Kementerian Agama (pondok pesantren), sisanya 4 kasus di Kementerian Pendidikan (sekolah).
“Itu artinya hitungan kasus kekerasan seksual masuknya day to day. Saya yakin masih banyak kasus yang belum terlapor,” tuturnya.
Menurutnya, kejadian tersebut secara prosentase jumlahnya imbang (sama banyaknya). Di sini telah terjadi transformasi kecenderungan bahwa saat ini pelaku akan sangat puas menikmati aksinya ketika mengajak orang lain.
Di sinilah eksistensi kehadiran negara dalam menanggulangi kasus tersebut. Letaknya pada kolaborasi dengan Lembaga Negara yakni Komnas Ham, Komnas Perempuan, KPAI, dan Komnas Disabilitas.
“Kami duduk bersama (diskusi) untuk segera membuat perpres. Di mana perpres itu istilahnya kami keroyokan untuk kasus ini. Dan nanti dibagi tugasnya agar bisa ditindaklanjuti lebih cepat,” tukasnya.
Diyah Puspitarini menegaskan dan mengingatkan kepada generasi muda (kaum pelajar) untuk speak up (berbicara) atau melaporkan terkait kasus kekerasan seksual.
“Pelajar harus berani untuk melaporkan dan menyampaikan kalau ada perilaku atau tindakan kekerasan seksual. Kemudian juga harus berani mendampingi temanya. Jangan sampai korban merasa sendirian,” tegasnya.
Sebab, hari ini Indonesia dalam situasi darurat kekerasan seksual. Di mana pelakunya datang dari tokoh masyarakat, pondok pesantren, kepala sekolah, dan lain sebagainya.
Diyah Puspitarini sangat mendukung penuh untuk di ejawantahkan di sekolah-sekolah ihwal pendidikan reproduksi dan juga pendidikan seks. Dan kedua variabel tersebut wajib dilaksanakan oleh seluruh sekolah di Indonesia.
Alpha Amirrachman juga mengingatkan kasus kekerasan seksual sudah memprihatinkan. Sehingga pihaknya sangat berbangga dengan inovasi IPM melahirkan platform tersebut.
“Kami dari Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah perlu memberikan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada immawan-immawati yang telah berinovasi meluncurkan aplikasi pelaporan ini. Mudah-mudahan bisa memberikan pelindungnya preventif kepada pelajar kita. Jadi kita harapkan pelaporan ini bukan hanya setelah kejadian, tetapi sebelum kejadian,” ucapnya.
Alpha mengajak kepada kader IPM untuk melakukan kolaborasi, konsolidasi, koordinasi, dan konsultasi dengan pihak guru di sekolah. Tujuannya sudah pasti, untuk melindungi pelajar dari tindak kekerasan seksual, sehingga kejadian tersebut tidak sampai terjadi kembali di masa-masa yang akan mendatang. (Cris)