Spiritualitas Ihsan yang Pencerahan

Spiritualitas Ihsan

Ilusttrasi

Spiritualitas Ihsan yang Pencerahan

Oleh Prof Dr H Haedar Nashir, M.Si.

Islam mengajarkan muslim dan mukmin untuk berbuat kebaikan yang melampaui. Artinya kebaikan-kebaikan berpikir, berkata, bersikap, dan bertindak yang luhur atau utama melebihi standar umum agar meraih anugerah Allah dalam kehidupan di dunia untuk keselamatan dan kebahagiaan sejati di akhirat.

Kebaikan-kebaikan seorang mukmin atau muslim itu tidak hanya bersifat verbal, tetapi substansial atau  hakiki, yang mencerminkan jiwa fithrah atu hanif seperti memberi sesuatu yang berharga tanpa menggarapkan imbalan dari yang diberi kecuali pahala dari Allah Yang Maha Rahman dan Rahim.

Kebaikan yang diajarkan Islam terdefinisikan dalam konsep ihsan atau al-ihsan, sebagai suatu kebaikan utama manifestasi dari hubungan dengan Allah (hablu min Allah) yang sangat kuat atau dekat dan tercermin dalam hubungan dengan sesama (hablu min al-nas) dalam berbagai tindakan mulia. Itulah spiritualitas Islami buah dari ajaran ihsan.

Di tengah kehidupan yang semakin keras dan  sarat perebutan kepentingan duniawi maka diperlukan spiritualitas ihsan untuk kehidupan yang damai, selamat, dan bahagia dalam kehidupan bersama.

Ajaran Ihsan

Setiap muslim dan mukmin diajari tentang ihsan sebagai trilogi dari ajaran “Islam, Iman, dan Ihsan”. Hadis Nabi yang masyhur tentang ihsan yang dikaitkan dengan Islam dan iman, ketika Nabi ditanya Jibril, beliau menjawab yang artinya: “Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatnya, jika engkau tidak melihatnya maka Dia melihat engkau” (HR Bukhari & Muslim dari Ibn Umar).

Menurut Falih Bin Muhammad mengutip Al-Qurthubi, ihsan atau “al- ihsan” mengandung dua makna. Pertama, artinya “memperbaiki dan menyempurnakan kebaikan”, makna yang kedua “memberikan sesuatu yang bermanfaat”. Mengutip Asy-Syaukani, “Ihsan secara bahasa bermakna mengamalkan sesuatu yang tidak diwajibkan seperti sedekah. Termasuk makna insan adalah melakukan sesuatu yang mengandung pahala, tetapi tidak diwajibkan oleh Allah, baik dalam bentuk ibadah maupun lainnya” sebagaimana hadis dari Ibnu Umar tersebut. Dalam menyembelih hewan ternak yang dihalalkan Allah pun hendaknya dengan cara yang terbaik, seperti disabdakan Nabi “fa-ahsinu al-qitlata”.

Ihsan merupakan ajaran yang memiliki kedudukan tertinggi dalam hubungan dengan Allah dan makhluk-Nya. Allah dalam Al-Quran memerintahkan berbuat ihsan karena Dia mencintai orang yang berbuat kebaikan, “…dan berbuat baikkah. Sungguh Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS Al-Baqarah: 195). Ihsan setara dengan taqwa, “Sungguh Allah beserta orang-orang yang bertaqwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan,” (QS An-Nahl: 128). Ihsan berkaitan dengan jihad atau berjuang di jalan Allah, “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, Kami akan tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sungguh, Allah beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS Al-Ankabut: 69).

Makan minum atau memenuni kebutuhan dasar mesti dilakukan dengan baik, sebagai bagian dari ciri “al-muhsinun” atau orang-orang yang berbuat ihsan, “(Katakan kepada mereka), “Makan dan minumlah dengan rasa nikmat sebagai balasan dari apa yang telah kamu kerjakan. Sungguh, demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.“ (QS Al- Mursalat: 43-44), serta di ayat lainnya, “Mereka memperoleh apa yang mereka kehendaki di sisi Tuhannya. Demikianlah balasan bagi orang-orang yang berbuat baik” (QS Az-Zumar: 34).

Ihsan merupakan sifat terpuji orang-orang Islam dan mukmin, sebagaimana sifat para Nabi dan Rasul, serta sifat hamba-hamba Allah yang ikhlas. Allah berfirman yang artinya, “Kesejahteraan dilimpahkan atas Nuh di seluruh alam. Sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS Ash-Shaaffaat: 79-80). Ibrahim berbuat ihsan, “Selamat sejahtera bagi Ibrahim. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS Ash-Shaaffaat: 109-110).

Nabi Musa dan Harun sosok yang ihsan, “Selamat sejahtera bagi Musa dan Harun. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.“ (QS Ash-Shaaffaat: 120-121). Nabi Ilyas figur al-muhsin, “Selamat sejahtera bagi Ilyas. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS Ash-Shaaffaat: 130-131). Demikian pula Nabi Ishaq, Ya’qub, Nuh, Dawud, Sulaiman, Ayyub, dan Yusuf (QS Al- An’am: 83-84), serta ahli surga memiliki sifat-sifat ihsan (QS Al-Mursalat: 41-43).

Ihsan Mencerahkan

Ihsan adalah akhlak mulia yang harus selalu diamalkan oleh setiap muslim dalam setiap waktu dan segala urusan kehidupan. Akhlak berbasis ihsan merupakan persenyawaan ruhani kesalihan dari kedekatan insan muslim dan mukmin dengan Allah serta terwujud dalam kesalihan dengan manusia dan lingkungan dalam segala praktik kebaikan yang luhur dan utama. Esensinya, ihsan melahirkan spiritualitas, moral, etika, dan tindakan yang luhur dan membuahkan pencerahan hidup bagi diri, keluarga, masyarakat, umat, bangsa, dan kemanusiaan semesta.

Sebutlah sikap sidiq, amanah, tabligh, dan fathanah yang direpresentasikan dari sifat utama Rasulullah. Lebih khusus sifat ikhlas, khusyuk, tasyakur, sabar, tawakal, tawadhu’ (rendah hati),  tasamuh (toleran), tarahum (kasih sayang, welas asih), takaful (tanggungjawab sosial), ta’awun (suka membantu), tahalum (lemah lembut), ‘alim (berilmu), hikmah (bijaksana), karamah (mulia), muru’ah (rasa malu berbuat buruk), irfa’ (perilaku luhur), irja (kepasrahan tertinggi), syaja’ah (berani yang terpuji), tawazun atau tawastuh  (tengahan),  serta sifat-sifat mulia lainnya yang menjadi teladan terbaik atau uswah hasanah.

Ihsan dalam perlilaku merupakan sikap dan perbuatan baik yang serba utama. Allah berfirman yang artinya: “(yaitu) orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan. dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzalimi diri sendiri, (segera) mengingat Allah, lalu memohon ampunan atas dosa-dosanya, dan siapa (lagi) yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan dosa itu, sedang mereka mengetahui.” (QS Ali Imran: 134-135).

Ihsan adalah “al-birr” yakni kebaikan esensial dari beriman, beribadah, bersikap, dan berbuat merupakan perbuatan yang melampaui formalitas rukun sebagaimana firman Allah, yang artinya:

“Kebajikan itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan ke barat, tetapi kebajikan itu ialah (kebajikan) orang yang beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, orang-orang yang dalam perjalanan (musafir), peminta-minta, dan untuk memerdekakan hamba sahaya, yang melaksanakan salat dan menunaikan zakat, orang-orang yang menepati janji apabila berjanji, dan orang yang sabar dalam kemelaratan, penderitaan dan pada masa peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar, dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS Al-Baqarah: 177).

Ihsan melampaui adil. Bila adil membalas kebaikan atau keburukan dengan yang setimpal. Ihsan sebaliknya, kebaikan dibalas dengan kebaikan yang lebih, serta keburukan dibalas dengan kebaikan. Allah berfirman yang artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi bantuan kepada kerabat, dan Dia melarang (melakukan) perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran” (QS An-Nahl: 90).

Para mufasir ketika membahas  Surat An-Nahl tersebut beragam redaksi tentang “ihsan”, tapi substansinya sama yakni kebaikan yang sempurna atau utama. Ibnu Katsir memaknai ihsan sebagai “amal kalbu melebihi amal lahir”, menurut Quraish Shihab “ihsan lebih baik dari adil”, Al-Maraghi memaknainya “berbuat baik kepada orang yang berbuat buruk kepadamu”.

Jika saat ini dalam kehidupan keluarga, masyarakat, umat, bangsa, dan kehidupan global dipraktikkan spiritualitas ihsan maka tidak akan terjadi kebencian, dendam, perselisihan, permusuhan,  kekerasan, korupsi, penyelewenangan kekuasaan, konflik, kezaliman, dan perang antarpihak baik sesama maupun yang berbeda agama, suku, ras, golongan, bangsa, dan negara. Berbagai perilaku dan perbuatan  buruk dari yang kecil hingga besar terjadi karena manusia kehilangan ihsan atau kebajikan yang utama, sedangkan yang dominan ialah hawa nafsu yang berbuah segala bentuk keburukan dalam kehidupan.

Rakus tahta, jabatan, kekuasaan, harta, serta segala kemegahan dan kesenangan diri, kelompok, dan sistem terjadi karena manusia keropos jiwa, ruhani, spiritual, moral, etik, dan sifat luhur kemanusiaannya yang fithrah. Manusia hanya mengabdi pada ego, nafsu, hasrat, kepentingan, kemenangan, keberhasilan, dan segala ambisi duniawi yang ishraf atau melampaui batas.

Akibatnya segala cara dilakukan demi meraih ambisi inderawi yang berlebihan itu sehingga berani mengorbankan kebenaran,  kebaikan, kepantasan, serta semua nilai luhur. Tanah air, bangsa, rakyat, negara, dan dunia seolah milik diri dan golongannya sehingga terjadi berbagai kebijakan dan tindakan sewenang-wenang dan melampaui batas. Sumber segala keburukan itu hawa nafsu yang digdaya dan lepas dari nilai ketuhanan dan kemanusiaan yang autentik, sebagaimana pandangan Jalaluddin Rumi: “Hawa nafsu adalah ibu dari semua berhala”!

Sumber: Majalah SM Edisi 7 Tahun 2022

Exit mobile version