Perintah Memberi dan Teori Marcel Mauss
Oleh Hajriyanto Y. Thohari
Baru saja membuka halaman pertama Al-Quran (Al-Baqarah: 3), orang yang beriman langsung disergap dengan ayat berisi perintah berinfak. Al-Quran kadang menggunakan kata berzakat atau bersedekah. Tetapi intinya adalah pentingnya memberi (giving) kepada pihak lain. Al-Quran mungkin adalah satu-satunya kitab suci yang menegaskan secara imperativum dan eksplisit agar orang suka memberi. Trilogi Iman-salat-infak atau iman-salat-memberi adalah laksana tiga trio doktrin utama dalam Islam. Ketiganya begitu sering disebutkan dalam Al-Quran secara bersama-sama dalam satu tarikan nafas.
Barangkali dengan tujuan agar orang-orang yang beriman (powerfull) selalu ringan memberi kepada yang lain (powerloess), Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam firman-Nya dalam Al-Quran kadang menggantikan kata “memberi” tersebut dengan kata “meminjamkan.” Artinya jika seseorang memberikan sesuatu (baca: menginfakkan hartanya) itu sebenarnya sama dengan meminjamkannya kepada Allah. Dan Allah, demikian firman-Nya, pasti akan mengembalikan pinjaman tersebut, bahkan dengan berlipat ganda. “Barang siapa meminjamkan kepada Allah dengan pinjaman yang baik, maka Allah akan mengembalikannya berlipat ganda untuknya, dan baginya pahala yang mulia.” (QS. Al-Hadid: 11; Lihat juga QS. At-Taghabun: 17).
Kewajiban memberi, menerima dan membalas
Dengan mengutip ayat-ayat Al-Quran tersebut di atas, itupun hanya sebagian saja, sudah terasa bahwa memberi (giving) itu sangat ditekankan dalam Islam. Bertambah kutipan kita akan ayat-ayat Al-Quran maka semakin tegas, bernas dan keras perintah-Nya untuk memberi. Dan sebaliknya keengganan atau apalagi penolakan atas perintah memberi, alias sikap bakhil atau kikir diancam dengan siksa yang sangat pedih, keras dan dahsyat.
Pertanyaannya adalah mengapa perintah memberi dalam Al-Quran sedemikian kerasnya ditekankan? Sedemikian pentingkah memberi dalam kehidupan umat manusia ini? Sedemikian sentralkah memberi dalam keberlangsungan eksistensi umat manusia atau survivalitas apa yang disebut dalam ilmu antropologi sebagai homo sapien ini? Mengapa dalam semua kebudayaan perbuatan “memberi” itu mulia, dan sikap “kekikiran” itu cela? budaya memberi dan saling memberi (gift giving).
Dalam semua kebudayaan ternyata diajarkan bahwa manusia itu dilahirkan di muka bumi ini dengan kewajiban memberi (giving, infak) kepada yang lain. Seorang ibu berkewajiban memberikan air susu ibu kepada bayi atau bayi-bayinya; seorang suami berkewajiban memberikan nafkah kepada isterinya; seorang yang kaya berkewajiban memberikan zakat atau infak atau sedekah kepada yang miskin; generasi yang terdahulu harus memberikan warisan kepada generasi yang kemudian; seorang guru harus memberikan ilmu dan metode kepada murid dan siswanya. Jika seseorang tidak melakukan kewajiban itu maka aka nada sanksi sosial. Sistem sosial memiliki mekanismenya sendiri untuk menjatuhkan sanksi tersebut.
Apa jadinya kalau ibu tidak memberikan air susu kepada anaknya, ayah tidak memberikan nafkah kepada isteri, guru tidak memberikan ilmunya kepada muridnya, generasi terdahulu memberikan warisan kepada generasi sesudahnya, dan orang yang mampu memberikan sesuatu kepada yang kurang atau tidak mampu? Apa jadinya kalau sebuah keluarga tidak mau memberikan anak perempuannya kepada laki-laki lain dari keluarga lain? Manusia lahir di muka bumi ini dengan kewajiban memberi. Kewajiban memberi ini dikontrol secara ketat oleh sistem sosial. Jika manusia tidak memberi maka sistem sosial akan bekerja memberikan sanksi sesuai dengan mekanismenya dengan mencapnya sebagai si pelit, si bakhil, si egois, dan sebagainya.
Demikianlah kira-kira elaborasi secara bebas yang dapat kita kembangkan dari antropolog terkenal, Marcel Mauss, dalam bukunya The Gift The form and reason for exchange in archaic societies (1954). Tetapi bukan hanya memberi, manusia dilahirkan juga membawa kewajiban menerima (pemberian). Seorang bayi wajib menerima air susu dari ibunya, seorang isteri harus menerima nafkah dari suaminya, seorang murid harus menerima ilmu dari gurunya, generasi sekarang harrus menerima pemberian dari generasi sebelumnya.
Pernyataan tersebut di atas sepertinya klise, terkesan sederhana sekali, tetapi sejatinya memiliki makna yang mendasar sekali. Bayangkan saja apa jadinya jika bayi-bayi menolak pemberian susu ibunya, murid menolak ilmu pengetahuan gurunya, generasi sekarang menolak pemberian generasi sebelumnya, orang yang berkekurngan menolak pemberian orang yang berkecukupan, dan fakir miskin tidak mau menerima pemberian pihak yang berkelebihan?
Walhasil ternyata sistem sosial juga mewajibkan manusia untuk menerima. Sistem sosial mengharuskan manusia memberi, tetapi sistem sosial juga mewajibkan manusia menerima. Sistem sosial dengan mekanismenya sendiri akan menjatuhkan sanksi atas orang yang tidak mau memberi sebagaimana juga akan memberikan sanksi manakala manusia menolak menerima pemberian. Beri-memberi (gift giving), memberi dan menerima, terus berkembang dan membesar dalam relasi dan interaksi antar mamnusia yang membentuk suatu sistem sosial.
Tidak cukup hanya sampai pada memberi dan menerima pemberian, manusia dilahirkan ternyata membawa kewajiban membalas pemberian: membalas kepada pihak yang memberikan atau membalas memberikan kepada orang yang lain lagi. Seorang ibu berkewajiban memberikan air susu kepada bayi perempuan, bayi perempuan tersebut wajib menerima air susu tersebut, dan pada waktunya nanti bayi perempuan itu berkewajiban membalas pemberian tersebut kepada bayinya nanti. Seorang ibu memberikan air susu kepada bayi laki-laki, bayi laki-laki itu wajib menerima air susu ibunya itu, dan pada saat nanti setelah dewasa bayi laki-laki itu berkwajiban memberi nafkah kepada isterinya untuk dapat memberikan air susunya kepada bayinya.
Jika seorang ibu menolak memberi ASI atau sebaliknya bayi menolak pemberian ASI maka kematian yang akan terjadi. Kematian dalam jumlah yang masif akan berakhir pada kepunahan. Demikianlah beri-memberi (gift giving) berkembang dan terus membesar membentuk sebuah mekanisme dari suatu sistem sosial. Jika manusia meninggalkan kewajiban memberi-menerima-membalas maka akan runtuhlah suatu sistem sosial. Dan jika sistem sosial runtuh maka punahlah homo sapien yang bernama manusia itu.
Walhasil, memberi-menerima-membalas adalah suatu mekanisme bagi bertahannya suatu sistem sosial. Dan bertahannya sistem sosial menjadikan bertahannya dan berkembangnya manusia. Homo sapien! Dan jika sebaliknya maka yang terjadi adalah pasti sebuah kepunahan –cepat atau lambat. Demikianlah pelajaran yang penulis dapatkan dari kuliah The Gift, karya Mauss.
Mengapa Islam mewajibkan memberi?
Dalam konteks dan perspektif itulah kita menjadi paham mengapa Tuhan begitu menekankan kewajiban memberi: berinfak, berzakat, dan bersedekah. Pasalnya, tanpa disadarinya manusia juga menerima. Memberi pada sejatinya adalah membalas suatu pemberian. Maka jika manusia menolak untuk memberi, menolak untuk menerima, dan menolak untuk membalas maka macetlah sistem kehidupan ini. Walhasil memberi-menerima-menolak adalah relasi sosial yang mengakibatkan eksistensi manusia menjadi niscaya.
Tidak heran jika Islam sebagai risalah yang sempurna dan paripurna begitu menekankan kewajiban memberi, bahkan memberi sebanyak-banyaknya. Islam bukan hanya menekankan kewajiban memberikan sebagian harta melalui zakat, infak atau sedekah, bahkan Islam mengajarkan membalas memberi dengan lebih banyak dari yang diterima. Jika seorang Muslim yang berutang saja dia wajib mengembalikannya dalam jumlah yang dilebihkan dari jumlah utangnya, apatah lagi jika seorang Muslim membalas suatu pemberian: diajarkan untuk membalasnya dengan melebihkannya, setidaknya sama.
Ajaran tersebut di atas analog dengan ucapan salam yang seorang Muslim terima. Dikatakan dalam Q.S. An-Nisa’: 86: “Apabila kamu diberi salam maka balaslah salam tersebut setidaknya dengan balasan yang sepadan”. Setiap Muslim selalu menyadari secara penuh bahwa pada sejatinya eksistensinya adalah karena pemberian (gift). Bahkan seorang Muslim meyakini lebih jauh lagi: bahwa eksistensi umat manusia ini masih bertahan sampai hari ini adalah karena ditopang oleh perbuatan memberi-menerima-membalas.
Walhasil, Muhammadiyah, gerakan Islam yang moderen ini, sungguh berada dalam jalur yang benar (on the right track) ketika mengokohkan dirinya sebagai gerakan memberi alias filantropi! Dalam konteks dan perspektif ini Muhammadiyah dengan LAZISMU, Panti Asuhan yatim, Muhammadiyah Dissaster Management Center (MDMC), dan beberapa badan filantropisme dan voluterisme yang bersifat ad hoc seperti Muhammadiyah Covid-19 Command Center (MCCC), KorbanMu, dan dan amal-amal lainnya, sebenarnya bukan hanya membantu orang yang lemah, yatim, orang miskin, papa, dan sengsara, melainkan juga mempertahankan spesies homo sapien agar tidak segera punah. Wallahu a’lam
Sumber: Majalah SM Edisi 15 Tahun 2021