Belajar pada Kata dan Peristiwa (5)

Belajar pada Kata dan Peristiwa (5)

Ilustrasi

Belajar pada Kata dan Peristiwa (5)

Oleh: Mohammad Fakhrudin

Menasihati dengan hati

mencegah kemunkaran

dengan keramahan

bukan dengan kemarahan

Di dalam Belajar pada Kata dan Peristiwa (4) disajikan kisah nyata perilaku Nabi Ibrahim dan Pak Menteri dalam hal menerima tamu. Pelajaran sangat penting dari cara Nabi Ibrahim menerima tamu adalah bahwa beliau sangat menghormat tamu meskipun tamu itu belum dikenalnya dan waktu kedatangannya tidak lazim untuk bertamu. Kita wajib mencontohnya. Tentu saja hal itu kita lakukan dengan penuh kewaspadaan dan keberhati-hatian.

Perilaku Pak Manteri dalam hal menerima tamu yang wajib kita contoh adalah menghormat tamu dengan cara berbicara santun dan mengenakan pakaian sangat rapi meskipun tamu itu berstatus sosial jauh lebih rendah. Perilaku yang demikian merupakan cara memuliakan tamu sebagaimana digariskan di dalam Himpunan Putusan Tarjih 3 yang pada dasarnya merujuk pada tuntunan al-Qur’an dan hadis.

Pada Belajar pada Kata dan Peristiwa (5) ini disajikan kisah nyata tentang pengaruh perilaku orang tua terhadap anak. Kisah ini diharapkan dapat menjadi bahan renungan bahwa dermawan merupakan salah satu bentuk ibadah. Dikatakan demikian karena dermawan adalah salah satu sifat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana dijelaskan di dalam hadis yang artinya,

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah yang paling dermawan dan beliau lebih dermawan lagi pada bulan Ramadan saat didatangi oleh Jibril. Jibril biasa datang kepada beliau setiap malam pada Ramadan untuk bertadarus al-Qur’an dengan beliau. Saat ditemui Jibril, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam benar-benar lebih dermawan daripada angin yang berembus.” (Muttafaq ‘alaih)

Oleh karena itu, sebagai muslim, kita wajib mencontohnya. Mencontoh perilaku beliau adalah ibadah. Karena ibadah, mendermakan sebagian harta harus kita lakukan dengan ikhlas karena Allah Subhanahu wa Ta’aala (lillahi ta’aala).

Di dalam surat al-Bayyinah (98): 5 Allah Subhanahu wa Ta’aala berfirman,

وَمَآ اُمِرُوْٓا اِلَّا لِيَعْبُدُوا اللّٰهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ ەۙ حُنَفَاۤءَ وَيُقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَيُؤْتُوا الزَّكٰوةَ وَذٰلِكَ دِيْنُ الْقَيِّمَةِۗ

‘Padahal, mereka tidak disuruh, kecuali supaya me­nyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (melaksanakan) agama dengan lurus….’

Menurut Yunahar Ilyas di dalam bukunya Kuliah Akhlak (hlm. 30-32), ada tiga unsur ikhlas, yakni (1) niat yang ikhlas, (2) beramal dengan sebaik-baiknya, dan (3) pemanfaatan hasil usaha secara tepat. Niat ada di dalam hati. Hanya dirinya dan Allah Subhanahu wa Ta’aala yang menngetahuinya. Namun, keikhlasan itu tampak pada unsur yang kedua dan ketiga.

Teman Baru

Istri saya mempunyai teman baru. Sebut saja namanya Mbak Har. Dia sahabat istri anak saudara sepupunya ketika bersekolah SLTA. Pertemanannya makin akrab. Sering dia berkunjung ke rumah kami.

Saya jarang sekali dapat menemuinya karena kesibukan mengajar di IKIP Muhammadiyah Purworejo, yang sejak tahun 1999 berubah menjadi Universitas Muhammadiyah Purworejo. Lebih-lebih lagi, sejak tahun 2001-2011, kesempatan menemuinya makin sempit karena saya memperoleh amanah tidak sekadar mengajar.

“Pada awalnya dia sekadar berkunjung. Dia datang dengan anaknya yang berusia sekitar 10 tahun. Kemudian, dia mulai curhat tentang keadaan suaminya. Suaminya sakit permanen sehingga pensiun dini.” Begitu istri saya menceritakannya.

“Alhamdulillah!” Saya menimpalinya.

Kok?”

“Tidak setiap orang dipercaya menjadi teman curhat! Nah, Ibu terpilih.”

“Masalahnya ada pada ujung curhatnya.”

“Memang apa masalahnya?”

“Dia mengatakan uang pesangon suaminya sudah habis untuk membayar kontrak rumah, periksa, dan beli obat. Lalu, mau pinjam uang.”

“Ibu dapat meminjaminya, kan?”

“Ya, sih.”

Kok pakai sih?”

Istri saya mulai tidak percaya kepada Mbak Har karena sudah beberapa kali ingkar janji. Utangnya bertambah, tetapi sekali pun dia belum membayarnya.

Anaknya menyaksikan bahwa ibunya berkali-kali ingkar janji. Meskipun demikian, Mbak Har tetap tenang-tenang saja dengan perilakunya itu. Bahwa suaminya sakit, benar.

Risiko

Suatu sore saya pulang dari kampus. Sampai di rumah menjelang magrib. Di ruang tamu ada tamu lelaki. Dia berambut cepak.

“Assalamu ‘alaikum” Saya masuk rumah.

“Wa ‘alaikumsalam.” Istri saya dan tamu itu menjawab.

“Bapak punya uang Rp500.000,00?” Istri saya langsung menyambut saya dengan pertanyaan itu, padahal saya melepas sepatu pun belum.

Saya tidak menjawab pertanyaan itu, tetapi langsung ke dapur untuk melepas sepatu. Sesaat kemudian, saya  ke ruang tamu.

“Ada apa?”

“Mbak Har belum mengembalikan pinjaman kepada Bapak ini.”

“Em … lalu, apa masalahnya?” Saya bingung.

“Mbak Har pinjam uang kepada Bapak ini, tetapi saya yang menandatangani kuitansi.”

“Betul, Pak.” Tamu itu menambah keterangan istri saya.

“O, begitu? Em … tetapi sekarang saya tidak punya uang sebanyak itu. Insya-Allah dalam dua tiga hari lagi. Bagaimana?” Saya terus berusaha menenangkan diri.

Tamu itu tidak segera merespons. Namun, saya yakin dia memahami.

“Boleh jadi, persahabatan kita dimulai dari hal yang kurang menyenangkan ini. Saya mohon maaf atas hal ini, Pak.”

“Ya, Pak. Tidak apa-apa.” Dia diam sesaat. “Baik, Pak. Kalau begitu, saya mohon pamit.”

“Boleh saya mohon alamat Bapak? Kami insya-Allah akan mengantarkannya.”

“Jangan, Pak! Saya saja yang ke sini.”

“Tidak apa-apa. Ini bentuk tanggung jawab kami.”

“Terima kasih, Pak. Tetapi, saya saja yang ke sini.”

“Baiklah.”

Tamu itu pamit secara baik-baik. Lagi-lagi kami mohon maaf atas kejadian itu. Dia memahami. Setelah tamu itu tidak tampak lagi, kami masuk rumah.

Istri saya akan menceritakan secara kronologis kasusnya. Namun, saya mencegahnya. Apalagi, waktu magrib telah tiba. Saya mengajaknya salat berjamaah.

Setelah salat, istri saya menceritakannya bahwa dirinya dimintai tolong Mbak Har. “Saya diajaknya ke rumah Bapak itu. Mbak Har berjanji akan mengembalikan uang yang dipinjamnya sesuai dengan perjanjian. Ternyata sampai lewat tiga hari dia belum juga mengembalikannya. Itulah sebabnya Bapak itu datang ke sini karena saya mengatakan jika pada waktu yang dijanjikan tidak dikembalikan, saya  bertanggung jawab. Waktu itu Mbak Har sudah berjanji. Malahan pakai sumpah segala. Oleh karena itu, saya mau menandatangani kuitansi. Saya pun mencantukan alamat saya. Saya pikir dia sungguh-sungguh.”

Saya membiarkan istri saya menceritakannya secara utuh. Saya tidak menyelanya meskipun sebenarnya agak kesal juga.

Pada hari yang kami janjikan, dia datang kembali.  Alhamdulillah! Utang Mbak Har terbayar sesuai dengan perjanjian.

“Nah, sekarang kalau Bapak mau silaturahim ke rumah saya, silakan.” Kata tamu itu setelah memasukkan uang ke dalam dompetnya. Dia menyebutkan alamat lengkapnya.  Kami merasa mempunyai teman baru. Dia pun begitu.

Beberapa saat kemudian, dia pamit. Kami mengantarkannya sampai di luar rumah. Dia mengucapkan salam. Kami berdua menjawabnya.

Setelah cukup lama Mbak Har tidak kami ketahui kabarnya, tiba-tiba muncul kembali. Seperti biasanya, dia datang dengan anaknya. Tanpa beban sedikit pun dia bermaksud pinjam uang lagi.

“Tidak! Tidak bisa, Mbak!” Istri saya langsung bereaksi dengan dengan nada tinggi. “Aku sudah tidak percaya. Mbak sudah mempermalukan aku. Aku malu pada Mas Udin. Sudah berkali-kali Mbak ingkar janji.”

 

Anak Bisa Lebih “Hebat”

Ada tamu di rumah kami. Umurnya sekitar 17 tahun. Dia anak Mbak Har. Sebut saja namanya Hari.

Dia mengatakan bahwa ibunya sakit. Akan menebus obat, tetapi tidak mempunyai uang. Oleh karena itu, dia minta agar dipinjami uang.

Istri saya percaya saja pada kata-kata tamu itu. Memang sudah lama sekali Mbak Har tidak datang ke rumah kami.

“Ini pakai saja.”  Istri saya memberikan uang kepada Hari.

“Terima kasih, Bu Lik. Nanti kalau sudah ada, saya kembalikan.”

“Tidak usah. Itu bukan uang pinjaman. Sudah dipakai saja!”

“Terima kasih, Bu Lik. Sekali lagi, terima kasih.”

“Ya, ya. Sama-sama.”

“Kalau begitu, saya pamit.”

“Ya, ya! Segera ditebus obatnya, ya!”

“Ya, Bu Lik.”

Beberapa bulan setelah itu tidak ada kabar tentang dia dan Mbak Har. Kami tidak mencari kabar tentang mereka.

Bulan Ramadan. Kami baru saja selesai berbuka puasa. Ada yang mengetuk pintu. Saya menengoknya. Hari berdiri di depan pintu. Wajahnya kusut. Saya menyilakannya masuk.

“Silakan duduk, Mas!”

“Ya, Pak. Terima kasih.” Setelah diam sesaat, dia melanjutkan. “Bu Lik ada?” Dia menyapa istri saya Bu Lik.

“Ada. Sebentar, ya!” Saya langsung menemui istri saya untuk memberi tahu ada tamu. Istri saya pun segera menemuinya.

“O, Mas Hari.”

“Ya, Bu Lik.” Dia diam sejenak. Lalu, dia melanjutkan dengan suara mengibakan. “Begini, Bu Lik. Ibu … ibu ….”

“Ada apa ibumu?”

“Ibu meninggal.”

“Innaalillahi wa innaa ilaihi raajiuun.” Spontan kami meresponsnya. Wajahnya makin memelas.

“Tetapi, jenazahnya masih di rumah sakit karena masih ada kekurangan biaya.”

“Kurang berapa?”

Dia menyebut angka. Tidak banyak, tetapi rinci sekali sehingga kami percaya. Istri saya ke kamar untuk mengambil uang. Dalam hitungan tiga menit, istri saya sudah di depan Hari.

“Ini, Mas. Tidak usah pinjam. Ini kamu gunakan saja.”

“Terima kasih, Bu Lik. Maaf. Merepotkan lagi.”

Istri saya tidak menghiraukan kata-kaya Hari. “Pak, kita ke rumah sakit.”  Ajak istri saya.

“Tidak usah. Bu Lik ke kontrakan saja. Di rumah hanya ada adik saya. Kalau ada tetangga yang datang, Bu Lik dapat menemaninya.” Hari menjelaskannya.

“O, begitu?”

“Ya, Bu Lik.”

“Em … tadi naik apa?”

“Ojek.”

“Ya, sudah. Biar diantar Bapak. Biar cepat.”

“Tidak usah, Bu Lik. Naik ojek saja. Ditunggu kok.”

Dia pamit. Kami bersiap-siap salat isya dan tarawih. Musala tempat kami salat isya dan tarawih agak jauh dari rumah. Kami memilih salat di musala yang pelaksanaan tarawihnya sama dengan tuntunan Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, yang hakikatnya merujuk pada tuntunan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam .

Setelah tarawih, saya, istri saya, dan ART mencari alamat kontrakan yang disebut Hari. Kebetulan ada teman yang tinggal di kampung di sekitar kontrakan itu. Istri saya menemui teman tersebut. Dia Ketua RT.

Tidak mudah menemukan alamat Mbak Har. Di wilayah teman kami itu tidak ada nama Mbak Har. Lalu, dia menelepon Ketua RT lain. Tidak terdaftar juga. Dihubunginya pula Ketua RT yang lain lagi. Ada.

Agak lama saya menunggu di mobil. Saya pikir alamatnya mudah ditemukan. Mengapa saya tidak menemani istri saya mencari alamat?  Saya bicara sendiri dan menyalahkan diri sendiri.

Istri saya dan ART mencari alamat Mbak Har diantar oleh beberapa warga. Akhirnya, ditemukan juga. Namun, tidak ada tanda-tanda lelayu di rumah kontrakan Mbak Har. Istri saya bergegas menuju pintu dan mengucapkan salam beberapa kali. Tidak ada jawaban. Lalu, dia mengetuk pintu.

Sesaat kemudian, adik Hari (sebut saja Iwan), membuka pintu rumah.

“Oh, Bu Lik. Ada apa?”

“Lho! Kamu belum diberi tahu oleh kakakmu?”

“Ada apa, Bu Lik?”

“Kakakmu tadi ke rumah saya. Dia mengatakan bahwa ibumu meninggal di rumah sakit. Namun, jenazahnya belum bisa dibawa pulang karena masih ada kekurangan biaya. Kakakmu sekarang sedang kembali ke rumah sakit.”

“Ah. Bu Lik ditipu Mas Hari. Dia sudah lama nggak pulang. Dia sering menipu. Yang sebenarnya, Ibu di Bogor. Sehat.” Iwan meyakinkan.

“Astaghfirullah!”

“Semoga Ibu mendapat ganti yang berlipat ganda dari Allah.” Doa warga yang mengantar istri saya. Istri saya pun mengamininya.

Alhamdulillahi rabbil’aalamiin

Mohammad Fakhrudin, warga Muhammadiyah tinggal di Magelang Kota

Exit mobile version