Shalat Raghaib
Oleh: Dr. Muhammad Yusran Hadi, Lc., MA
Di antara amalan yang dikhususkan pada bulan Rajab oleh sebahagian orang adalah shalat Raghaib. Mereka melakukan amalan khusus ini karena meyakini adanya keutamaan ini berdasarkan hadits palsu yang beredar dalam masyarakat. Ini akibat dari kejahilan mereka terhadap agama.
Oleh karena itu, penulis perlu memberikan pencerahan kepada umat Islam mengenai hukum shalat Raghaib berdasarkan penjelasan para ulama, agar ibadah kita berdasarkan ilmu yaitu sesuai dengan Sunnah Nabi shallahu ‘alaihi wa salam sehingga diterima oleh Allah ta”ala dan tidak terjerumus dalam perbuatan bi’dah diharamkan oleh Allah subhanahu wa ‘ala dan Rasul-Nya.
Definisi Shalat Raghaib
Shalat Raghaib menurut istilah para fuqaha’ adalah shalat yang bersifat khusus yang dilakukan di antara Maghrib dan Isya pada malam Jum’at pertama di bulan Ra’jab sebanyak 12 rakaat. Shalat ini didahului dengan puasa pada hari Kamis pertama bulan Rajab. Melakukan uuasa di siang hari tesebut, lalu dilanjutkan dengan shalat Raghaib pada malamnya yaitu antara Maghrib dan Isya.
Adapun tata cara shalat Raghaib yaitu dikerjakan 12 rakaat dengan cara dipisahkan setiap dua rakaat dengan salam. Pada setiap raka’at dibaca Al-Fatihah sebanyak sekali, surat Al-Qadr sebanyak 3 kali dan surat al-ikhlas sebanyak 12 kali. Setelah selesai shalat membaca shalawat sebanyak 70 kali dengan mengucapkan: Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa ‘ala alihi. Lalu sujud dengan membaca: subbuhun quddusan wa rabbul malaikah war ruh” sebanyak 70 kali. Lalu mengangkat kepalanya dengan membaca: ighfir war ham wa tajawaz ‘amma ta’lam innaka antal azizul a’zham sebanyak 70 kali. Lalu sujud untuk kedua kalinya dengan membaca zikir seperti seperti pada sujud pertama.
Tata cara shalat ini mengambil hadits yang dihukumi oleh para ulama sebagai hadits palsu, diriwayatkan dari Anas bin Malik. Adapun haditsnya ini, penulis menukilkannya dibawah ini.
Sejarah Shalat Raghaib
Shalat Raghaib ini, pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat tidak pernah ada dan tidak pernah dilaksanakan, demikian juga tidak pernah dikenal pada zaman tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Shalat Raghaib ini mulai dikenal dan dilakukan untuk pertama kalinya di Baitul Maqdis setelah tahun 480 H.
Sebelum tahun tersebut, Shalat Raghaib tidak dikenal, karena tidak dianjurkan oleh Nabi shalllahu ‘alaihi wa sallam. Demikian pula tidak dianjurkan oleh para ulama salafush shalih dari kalangan para sahabat, tabi’in dan tabiut tabi’n termasuk imam-imam mazhab empat yaitu Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’, dan Ahmad.
Al-Imam Al-Hafizh Ath-Thurthusyi al-Maliki (wafat 520 H) rahimahullah menyebutkan bahwa beliau pernah dikabarkan oleh Abu Muhammad Al-Maqdisi. Beliau berkata, “Adapun shalat Rajab, belum pernah dilakukan ditempat kami di Baitul Maqdis kecuali setelah 480 Hijriyah. Sebelumnya kami belum pernah mendengar atau melihatnya.” (Al-Hawaadits wal Bida’, hal. 267 no.238).
Dalam kitabnya “Al-Ba’its ‘ala Inkaril Bida’ wal Hawadits”, Imam Abu Syamah Asy-Syafi’i rahimahullah menjelaskan shalat Raghaib, “Mengenai shalat Raghaib, yang dikenal di tengah masyarakat luas dewasa ini adalah yang dikerjakan di antara waktu maghrib dan Isya, pada malam Jum’at pertama dari bulan Rajab.” (Al-Ba’its ‘ala Inkaril Bida’ wal Hawadits: 138).
Hadits Mengenai Shalat Raghaib dan Keutamaannya
Berikut ini penulis menukilkan sebuah hadits palsu mengenaii shalat Raghaib dan keutamaannya dengan maksud untuk menjelaskan kepalsuannya. Hadits ini dklaim riiwayat dari Anas bin Malik. Hadits inilah yang dijadikan rujukan oleh sebahagian orang dalam melakukan shalat Raghaib. Mereka mengamalkan hadits ini tanpa mengetahui hukum hadits ini.
Diriwayatkan dari Anas bin Malik, Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Rajab bulan Allah dan Sya’ban bulanku serta Ramadhan bulan umatku. Seseorang bertanya, “Wahai Rasulullah, apa makna perkataanmu “Rajab bulan Allah”? Rasulullah menjawab, “Karena Bulan ini dikhususkan dengan pengampunan. Padanya dapat menghentikan pertumpahan darah. Padanya Allah menerima taubat para Nabi-Nya. Padanya Allah menyelamatkan para wali-Nya dari tangan musuh-musuh-Nya. Barangsiapa yang berpuasa padanya maka mengharuskan atas Allah ta’ala tiga hal yaitu pengampunan semua dosanya yang telah lalu, terjaganya dari dosa dalam sisa umurnya, dan aman dari kehausan pada hari Kiamat. Maka seorang yang lanjut usia berdiri lalu dia berkata, “Wahai Rasulullah, saya lemah (tidak sanggup) berpuasa padanya sebulan penuh. Maka Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Berpuasalah pada pada hari pertama bulan Rajab, karena kebaikan (pahala) itu akan dilipat sepuluh kali lipat, dan berpuasalah pada hari pertengahan dan hari terakhir dari Rajab karena kamu akan diberikan pahala orang yang berpuasa pada bulan Rajab sebulan penuh. Akan tetapi, jangan kamu lalai dari malam Jum’at pertama dalam bulan Rajab, karena ia adalah malam yang dinamakan oleh para malaikat dengan nama Raghaib, yaitu bila berlalu sepertiga malam, tidak seorangpun malaikat di semua langit dan bumi yang ada, melainkan mereka berkumpul di Ka’bah dan sekitarnya, dan Allah azza wa jalla melihat mereka dengan berfirman, “Para malaikatku, mintalah kepadaku apa yang kalian inginkan. Lalu mereka berkata, “Kami meminta agar engkau mengampuni orang-orang yang berpuasa bulan Rajab. Maka Allah ‘azza wa jalla berfirman, “aku telah penuhi.” Lalu Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah seorang berpuasa pada hari Kamis pertama, yaitu Kamis pertama dalam bulan Rajab, kemudian shalat di antara Maghrib dan Isya -yaitu malam Jum’at- (sebanyak) dua belas raka’at, pada setiap raka’at ia membaca surat Al Fatihah 1 kali dan surat Al Qadr 3 kali, serta surat Al Ikhlas 12 kali, ia memisahkan setiap dua raka’at dengan salam, jika telah selesai dari shalat tersebut, maka ia bershalawat kepadaku 70 kali, kemudian mengatakan “Allahhumma shalli ‘ala Muhammadin Nabiyil ummiyi wa alihi, kemudian ia sujud, lalu ia menyatakan dalam sujudnya “Subbuhun quddusun Rabbul malaikati war ruh” sebanyak 70 kali, lalu mengangkat kepalanya dan mengucapkan “Rabbighfir warham wa tajaawaz amma ta’lam inaka antal ‘Azizul a’zham” sebanyak 70 kali, kemudian ia sujud kedua dan mengucapkan seperti ucapan pada sujud yang pertama, lalu ia memohon kepada Allah hajatnya, maka hajatnya akan dikabulkan. Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, tidak ada seorang hamba laki-laki atau perempuan yang melakukan shalat ini, kecuali akan Allah mengampuni seluruh dosanya, walaupun seperti buih lautan dan sejumlah daun pepohonan, serta bisa memberi syafa’at pada hari kiamat kepada 700 keluarganya. Jika ia berada pada malam pertama di kuburnya, datang pahala shalat ini. Ia menemuinya dengan wajah yang berseri dan lisan yang indah, lalu menyatakan: ‘Kekasihku, berbahagialah! Kamu telah selamat dari kesulitan besar’. Lalu (orang yang melakukan shalat ini) berkata: ‘Siapa kamu? Sungguh demi Allah aku belum pernah melihat wajah seindah wajahmu, dan tidak pernah mendengar perkataan seindah perkataanmu, serta tidak pernah mencium bau wewangian, sewangi bau wangi kamu’. Lalu ia berkata: ‘Wahai, kekasihku! Aku adalah pahala shalat yang telah kamu lakukan pada malam itu, pada bulan itu. Malam ini aku datang untuk menunaikan hakmu, menemani kesendirianmu dan menghilangkan darimu perasaan asing. Jika ditiup sangkakala, maka aku akan menaungimu di tanah lapang kiamat. Maka berbahagialah, karena kamu tidak akan kehilangan kebaikan dari Maulamu (Allah) selama-lamanya’.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnul Jauzi dalam kitab Al Maudhu’at,I. Lalu beliau memberi komentar terhadap hadits ini, ”Lafaz hadits ini dari Muhammad bin Nasir. Hadits ini maudhu’ (palsu) atas diri diri Nabi shallahu’alaihi wa salam. Para ulama hadits menuduh Ibnu Jahdham dan dan menyatakannya suka berdusta”. (Al-Maudhu’at: 2/438).
Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani menukilkan hadits ini dalam kitabnya “Tabyinul Ajab Bima Warada fi Syahri Rajab”, Lalu beliau menukilkan perkataan Imam Ibnul Jauzii di atas. Selanjutnya beliau menghukuminya sebagai hadits palsu. (Tabyinul Ajab Bima Warada fi Syahri Rajab: 55).
Para ulama hadits sepakat mengatakan bahwa hadits mengenai shalat Raghaib di atas adalah maudhu’ (palsu) dan dusta atas diri Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam. Di antara mereka yaitu Al-Imam Al-Hafiz Al-Iraqi dalam kitabnya Takhrij Ahaditsil Ihya’ ulumiddin, (wafat 806 H), Imam Al-Ajluni (wafat 1162 H) dalam kitabnya Kasyful Khafa’, Al-Imam Ibnul Jauzi ( wafat 597 H) dalam kitabnya Al-Maudhu’at, Al-Imam Ibnul Qayyim (wafat 751 H) dalam kitabnya Al-Manarul Munif, Al-Imam Al-Hafiz Ibnu Hajar Al-Asqalani (wafat 852 H) dalam kitabnya Tabyinul ‘Ajab, Al-Imam Ibnu Shalah (wafat 643 H), Al-Imam As-Sayuthi (wafat 911 H) dalam Allaali Al-Mashnu”ah, Al-Imam Asy-Syaukani (wafat 1255 H) dalam kitabnya al-fawa’id al-Majmu’ah, dan lainnya.
Pendapat para Ulama mengenai Hukum Shalat Raghaib
Para ulama sepakat mengatakan bahwa hukum shalat Raghaib itu bid’ah. Di antara mereka yaitu Imam Ibnu Shalah Asy-Syai’i (wafat 643 H), Imam Izzuddin Abdussalam (wafat 660 H), Imam Abu Syamah Asy-Syafi’i (wafat 665 H), Imam An-Nawawi (wafat 676 H), Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (wafat 728 H), Imam Ibnu Al-Haj Al-Maliki (wafat 737 H), Imam Ibnu Rajab Al-Hambali (wafat 795 H), Imam Ibnu Hajar Al-Haitsami Asy-Syafi’i (wafat 974 H), dan lainnya.
Dalam kitabnya “At-Targhib ‘an Shalatir Raghaibil Maudhu’ah”, Imam Izzuddin Abdis Salam berkata, “Dan di antara menunjukkan bid’ah shalat Raghaib adalah bahwa para ulama sebagai tokoh agama dan imam-imam kaum muslimin yatu para sahabat, tabi’in, tabiut tabi’in dan selain mereka yang menulis kitab-kitab dalam masalah syariat, dengan semangat mereka mengajarkan orang-orang mengenai kewajiban-kewajiban dan sunnat-sunnat, tidak seorangpun yang dinukilkan dari mereka yang menyebutkan shalat ini dan tidak pula menulisnya dalam kitabya serta tidak pula menyampaikannya dalam majelis-majelisnya. Secara kebiasaan, mustahil sunnat seperti ini luput dari mereka sebagai tokoh agama dan teladan orang-orang mukmin, padahal mereka menjadi rujukan dalam semua persoalan hukum baik wajib, sunnat, halal dan haram.” (At-Targhib ‘an Shalatir Raghaibil maudhu’ah: 9, dalam topik al-musalah al’ilmiyyah).
Dalam kitabnya Al-Ba’its ‘ala Inkaril Bida’ wal Hawadits, Al-Imam Abu Syamah Asy-Syafi’i menukilkan perkataan Imam Ibnu Shalah Asy-Syafi’i rahimahullah mengenai shalat Raghaib, “Haditsnya palsu, dan itu adalah perbuatan bid’ah yang muncul tahun empat ratusan hijriyah.” (Al-Ba’its ‘ala Inkaril Bida’ wal Hawadits: 145).
Imam Abu Syamah juga menukilkan pendapat Imam Izzuddin Abdussalam Asy-Syafi’i rahimahullah, di mana pada tahun 637 H beliau memberikan fatwa bahwa shalat Ar-Raghaib adalah bid’ah yang mungkar, dan bahwa haditsnya adalah dusta atas nama Rasulullah saw. (Al-Ba’its ‘ala Inkaril Bida’ wal Hawadits: 149).
Dalam kitabnya Al-Majmu’, Imam An-Nawawi rahimahullah berkata, “Shalat yang dikenal dengan shalat Raghaib sebanyak dua belas rakaat yang dikerjakan antara Maghrib dan Isya pada malam Jum’at pertama bulan Rajab, dan shalat malam nishfu Sya’ban sebanyak seratus raka’at adalah bid’ah yang mungkar lagi buruk. Tidak boleh seseorang terpedaya dengan penyebutan kedua shalat ini di dalam kitab Qutul Qulub dan Ihya’ Ulumuddin, dan tidak pula dengan hadits yang disebutkan dalam kedua kitab ini. Sebab, hal itu semua adalah batil. Tidak boleh seseorang terpedaya dengan sebahagian orang yang belum jelas baginya hukum kedua shalat ini dari kalangan imam-imam, lalu ia mengarang dalam beberapa kertas untuk menganjurkan keduanya. Karena ia keliru dalam hal itu. Syaikh Imam Abu Muhammad Abdurrahman bin Ismail al-Maqdisi telah mengarang sebuah kitab yang amat berharga, yang menegaskan kebatilan kedua macam shalat tersebut. Sungguh beliau telah berbuat baik dan berjasa.” (Al-Majmu’: 3/476).
Dalam kitab Syarhu Muslim, Imam An-Nawawi berkata, “Semoga Allah memerangi orang yang mengada-adakan shalat Raghaib ini. Shalat ini bid’ah mungkar termasuk dalam bid’ah kesesatan dan kebodohan. Dalam shalat ini terdapat banyak kemungkaran yang jelas. Sekelompok ulama telah menulis buku yang amat berharga dalam menyatakan keburukan shalat ini, kesesatan orang yang melakukan shalat ini dan pelaku bid’ahnya, dalil-dalil keburukannya, kebatilannya, dan penyesatan pelakunya. Buku-buku yang menjelaskan ini sangat banyak.” (Syarah Muslim: 8/20).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Adapun melakukan shalat dengan jumlah rakaat tertentu dan bacaan tertentu pada waktu tertentu yang dengan jama’ah rawatib seperti shalat-shalat yang ditanya tentangnya seperti shalat Raghaib pada malam Jum’at pertama bulan Rajab dan shalat alfiah pada awal Rajab dan nishfu Sya’ban dan malam 27 Rajab dan sejenisnya maka ini tidak disyariatkan dengan kesepakatan para imam-imam Islam sebagaimana disampaikan oleh para ulama mu’tabar. Tidak ada yang melakukan seperti ini kecuali orang yang bodoh pelaku bid’ah. Membuka pintu seperti ini secara otomatis merusak hukum-hukum Islam dan mengambil bagian dosa orang-orang yang membuat aturan agama yang tidak diizinkan oleh Allah.” (Al-Fatawa Al-Kubra: 2/239).
Syaikhul Islam pernah ditanya mengenai shalat Raghaib, maka beliau menjawab: “Shalat ini tidak dilakukan oleh Rasulullah, begitu pula seorang pun kalangan sahabat, tabi’in dan imam-imam kaum muslimin. Rasulullah tidak menganjurkannya, begitu pula tidak seorangpun dari kalangan salaf dan imam-imam. Mereka tidak menyebut keutamaannya. Hadits yang diriwayatkan dalam hal itu dari Nabi saw adalah dusta dan palsu dengan kesepakatan para ulama. Oleh karena itu, para ulama muhaqiqun berkata, “Shalat Raghaib itu makruh, tidak dianjurkan.” (Al-Fatawa Al-Kubra: 2/262).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah juga berkata,”Shalat Raghaib tidak memiliki dasar. Dia merupakan perbuatan bid’ah, sehingga tidak disunnahkan berjama’ah, dan tidak juga secara sendirian. Dalam Shahih Muslim, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang pengkhususan malam Jum’at dengan shalat malam, atau hari Jum’at dengan puasa. Adapun atsar yang menyebutkan tentang itu, menurut kesepakatan para ulama, adalah palsu.” (Majmu’ Al-Fatawa: 23/132).
Syaikhul Islam juga berkata,”Menurut pendapat para imam agama, shalat Raghaib adalah bid’ah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mensunnahkannya, dan juga tidak seorangpun dari para khalifah Beliau mensunnahkannya. Tidak pula seorangpun dari para ulama agama, seperti Malik, Syafi’i, Ahmad, Abu Hanifah, Ats Tsauri, Al ‘Auza’i, Al Laits dan lain-lainnya menganggapnya sunnah. Sedangkan menurut ijma’ orang yang mengerti hadits, (menyatakan) hadits yang meriwayatkan tentang shalat ini adalah palsu.” (Majmu’ Al-Fatawa: 23/134).
Dalam kitabnya Al-Madkhal, Imam Ibnu Al-Haj Al-Maliki berkata, “Dan di antara bid’ah yang diadakan pada bulan yang mulia ini (yakni bulan Rajab) yaitu di malam Jum’at pertama dari bulan Rajab mereka melakukan shalat Raghaib di kota-kota dan masjid-masjid, mereka berkumpul di kota-kota dan masjid-masjid, mereka melakukan bid’ah ini dan menampakkannya di masjid-masjid dengan seorang imam dan jama’ah seolah-olah shalat yang disyariatkan.” (Al-Madkhal: 1/294).
Imam Ibnu Rajab Al-Hambali berkata, “Adapun shalat khusus pada bulan Rajab, tidak ada hadits shahih yang mengkhususkannya. Hadits-hadits yang diriwayatkan dalam keutamaan shalat Ragha’ib pada malam Jum’at pertama dari bulan Rajab itu dusta dan batil, tidak shahih. Shalat ini bid’ah menurut kebanyakan ulama. Di antara tokoh ulama muta’akhirin dari kalangan hufazh (ulama hadits) yang menyebutkan hal itu adalah Abu Isma’il Al-Anshari, Abu Bakar As-Sam’ani, Abu Al-Fadhl bin Nashir, dan Abu Al-Faraj bin Al-Jauzi dan lainnya. Kalangan mutaqaddimun (generasi awal) tidak menyebutkannya karena shalat bid’ah ini diadakan pada generasi setelah mereka. Bid’ah ini mencul pertama kali setelah tahun 400 Hijriyyah. Oleh karena itu tidak dikenal oleh generasi awal dan tidak pula dibicarakan. Adapun mengenai puasa, tidak ada satupun hadits yang shahih dari Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak pula dari para sahabat dalam keutamaan puasa khusus Rajab .” (Lathaif Al-Ma’arif: 151).
Imam Ibnu Hajar Al-Haitsami Asy-Syafi’i ditanya, “Apakah boleh melakukan shalat Raghaib secara berjama’ah atau tidak? Beliau menjawab: “Adapun shalat Raghaib itu sama dengan shalat nishfu Sya’ban. Kedua shalat ini bid’ah yang buruk dan tercela. Hadits keduanya palsu. Maka dimakruhkan melakukan kedua shalat ini baik sendirian maupun berjama’ah.” (Al-Fatawa Al-Fiqhiyyah Al-Kubra: 1/216).
Dalam kitab “Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah” disebutkan, “Para ulama Hanafiyyah dan Syafi’iyyah berpendapat bahwa shalat Raghaib pada malam Jum’at pertama atau malam nishfu Sya’ban dengan tatacara yang khusus atau dengan jumlah rakaat yang khusus adalah bid’ah munkar.” (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyyah: 22/262).
Berdasarkan penjelasan para ulama di atas, maka kita dapat menyimmpulkan bahwa hukum shalat Raghaib adalah bid’ah. Karena, tidak berdasarkan dalil yang shahih dan menyelisihi tata cara shalat sunnat yang sudah dikenal dalam Islam. Selain itu,, shalat ini tidak dianjurkan dan tidak pula dilakukan oleh ulama salafush shalih dari para sahabat, tabi’in dan tabiut tabi’in termasuk imam-imam mazhab empat. Maka, shalat ini tidak dikenal dalam Islam.
Mengingat shalat Raghaib adalah bid’ah, maka hukumnya haram. Karena, Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallahu ‘alaihi wa salam mengecam dan mengharamkan perbuatan bid’ah. Banyak ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits-Hadits Nabi shallahu’alaihi wa sallam yang menjelaskan hal ini, di antaranya:
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Apakah mereka mempunyai sesembahan selain Allah yang menetapkan aturan agama bagi mereka yang tidak diizinkan (diridai) Allah? Dan sekiranya tidak ada ketetapan yang menunda (hukuman dari Allah) tentulah hukuman di antara mereka telah dilaksanakan. Dan sungguh, orang-orang zalim itu akan mendapat azab yang sangat pedih.” (Asyura: 21).
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul-Nya takut akan mendapat cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (An-Nur: 63).
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Apa yang diberikan oleh Rasul (Muhammad) maka terimalah, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” (Al-Hasyr: 7).
Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wajib kepada kamu mengikuti sunnahku dan sunnah para khulafaurrasyidin. Gigitlah sunnah itu dengan gigi geraham. Dan jauhilah oleh kamu perkara-perkara yang diada-adakan (dalam agama), karena setiap perkara yang diada-adakan (dalam agama) adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah kesesatan.” (HR. Abu Daud, At-Tirmizi, Ibnu Majah dan Ahmad).
Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah (Al-Qur’an), sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad, seburuk-buruk perkara adalah perkara yang diada-adakan (dalam agama), dan setiap bid’ah adalah kesesatan.” (HR. Muslim)
Dalam riwayat lain, “Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah kitabullah (Al-Qur’an), sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad, seburuk-buruk perkara adalah perkara yang diada-adakan (dalam agama), setiap perkara yang diada-adakan (dalam agama) adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah kesesatan, dan setiap kesesatan (tempatnya) dalam neraka.” (HR. Ahmad dan An-Nasa’i).
Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mengada-adakan suatu urusan agama kami ini, yang bukan darinya agama, maka ia tertolak.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Dalam riwayat lain, “Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak didasari oleh agama kami, maka amalannya tertolak.” (HR. Muslim).
Adapun menceritakan, menyebarkan atau mengamalkan hadits maudhu’ (palsu) dengan sengaja maka hukumnya haram. Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang berdusta atas diriku dengan sengaja, maka tempatnya dalam neraka.” (HR. Al-Bukhari). Ibadah berdasarkan hadits dhaif dan palsu adalah bid’ah yang dikecam dan diharamkan dalam Islam.
Sebagai penutup, mengingat keharaman bid’ah dan mengamalkan hadits palsu, maka kita harus berhati-hati dalam beribadah. Pastikan suatu ibadah berdasarkan dalil yang shahih. Jangan sampai mengamalkan hadits lemah apalagi palsu, agar tidak terjerumus dalam perbuatan bid’ah. Semoga kita diberi petunjuk oleh Allah ta’ala untuk mengikuti sunnah Nabi-Nya agar ibadah kita diterima dan terhindar dari dosa bid’ah. Amin..!
Yusran Hadi, Doktor Fiqh dan Ushul Fiqh Pada International Islamic University Malaysia (IIUM), Dosen Fiqh dan Ushul Fiqh Pada Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Ar-Raniry, Ketua Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Provinsi Aceh, Ketua PC Muhammadiyah Syah Kuala Banda Aceh, dan Anggota Ikatan Ulama dan Da’i Asia Tenggara.