Mobilisasi Kepala Desa vs Demokrasi Kita

Kepala Desa

Aksi Kepala Desa di DPR Foto Parlementaria

Mobilisasi Kepala Desa vs Demokrasi Kita

Oleh: David Efendi

Para Kepala Desa alias Kades menggelar aksi di depan Gedung DPR RI, pada Selasa pekan lalu, 17 Januari 2023. Mereka menuntut agar pemerintah dan DPR RI merevisi Undang-Undang tentang Desa.

Bukan hanya itu, mereka nekad rada kemaruk kata netizen. Massa dari Persatuan Perangkat Desa Seluruh Indonesia (PPDI) saat melakukan aksi di depan Gedung DPR RI, Jakarta, Rabu, 25 Januari 2023. Dalam aksi tersebut mereka mendukung mendukung penuh usulan untuk Revisi UU NO 6 tahun 2014 Tentang Desa, menuntut pengakuan yang jelas perangkat desa dengan status ASN (Aparatur Sipil Negara) atau P3K/PPPK (Pegawai Pemerintah Perjanjian Kerja), menuntut gaji perangkat desa bersumber dari APBN melalui Dana Alokasi Desa yang tercantum khusus, menuntut memiliki dana purna tugas setelah berhenti menjabat yang dihitung berdasarkan masa pengabdian.

Fenomana kepala desa minta jatah 9×3 tahun adalah implikasi dari ketidakpatutan wacana politik nasional yang tak ada malu malunya mewacanakn tiga periode presiden, penundaan pemilu (semua anggota dpr di semua tingkatab dan dpd pasti ini menggairahkan). Semua ingin memperpanjang kuasanya dan kepala desa ikutan main lato lato siapa tahu berhasil membentur dan menghasilkan keuntungan oligarkis berwujud kontrol, privilage, kekayaan, akses, status que, dan kkn yang dinormalisasi.

Kepala desa punya pengalaman demokratisasi from below sangat lama, bahkan ujung tombak demokrasi di desa telah membuktikan keampuhannya ketima membangun soliditas membentuk tuntutan uu desa pasca reformasi. Mantra mengepung negara dari desa sebagai arus balik politik kian nampak. Ratusan bus Mendemo ibukota jakarta sebagai eksperimen politik bahwa desa punya marwah dan kekuatan politis. Jika yang sudah sudah desa menjadi pelopor tegaknya demokratisasi, mereka hari ini seolah minta izin: izinkan kami sedikit tidak demokratis! Ingat, hanya sedikit. Penggerusan demokrasi yang besar besaran sudah diborong eksekutif pusat, legislatif, dan partai politik termasuk elite kampus.

Tidak demokratisnya lantaran kecenderungan memperpanjang masa jabatan dengan tetap pembatasan, menghambat sedikit sirkulasi elite desa, memperkuar sedikit oligarli cilik-cilikan, dan serba sedikit lainnya jika dibanding-bandingke dengan serakahnya elite eksekutif legislatif pusat yang semuanya serba besar, tinggi, berkelas dan kuasa yang serba mendalam(hegemonik).

Demokrasi kita

Mengingat bung karno, tidak melupakan bung Hatta. Ingat babak belurnya demokrasi kita ingatlah bung Hatta. Bung hatta memberi api pada tegaknya pilar demokrasi dari partai politik dan mendorong kuat demokratisasi kesejahteraan melalui pembangunan koperasi yang partisipatif.

Demokrasi kita adalah demokrasi dengan kekuatan demos(kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dan perwakilan). Keterwakilan juga ada batasnta tak berarti absulute. Absolutisme berwatak demokratos saja dengan sendirinya merusak demokrasi dari dalam (broken from within) sehingga konsepsi demokrasi yang autentik adalah angagement progresif dan partisipasi liberatif.

Representasi elite sangar rawan, ia bisa membajak demokrasi sehingga suara rakyat dalam partisipasi sebagai keniscayaan bisa dipelintir atas nama demokrasi kepartaian dan lainnya. Kepala desa tidak identik dengan wakil suara rakyat dalam segala hal termasuk hasrat memperpanjang dan memperluas jabatan 6×3 menjadi 9×3 tahun meter. Pendalaman demokrasi akan menghadang proses hegemonisasi kuasa paksa.

Demokrasi Kita ditulis Bung Hatta pada tahun 1960 yang kemudian dimuat dalam majalah Panji Masyarakat. Pemikiran itu merupakan sebuah kritik terhadap demokrasi terpimpinnya Bung Karno. Hatta bersikeras memberikan dasar-dasar demokrasi yang terdapat dalam pergaulan hidup asli Indonesia, hidup berkampung-kampung/nagari nagari, berkumpul mengadakan rapat, mufakat dan mengadakan protes bila mereka tidak puas kepada pemimpin sebuah pemerintahan.

Bung Hatta nampaknya terilhami oleh Revolusi Perancis pada 1789 yang sangat radikal, dengan trilogi semboyan revolusi perancis, liberte (kebebasan), egalite (persamaan) dan fraternite (persatuan), ia bermaksud mewujudkan ketiganya untuk kedaluatan rakyat Indonesia di tengah mentalitas pasca kolonial.

Hatta memberikan tiga prinsip dasar untuk demokrasi Indonesia, yakni unity (persatuan), liberty (kebebasan) dan fraternity (persaudaraan). Tiga prinsip ini khas dan sesuai dengan kedaulatan rakyat Indonesia di mana kekuasaan dijalankan oleh rakyat atas dasar musyawarah-mufakat. Tiga prinsip itu juga mampu melestarikan kemajemukan bangsa Inodnesia, baik suku, bangsa, bahasa maupun agama. Jika ketiga prinsip ini tidak diwujudkan, maka demokrasi Indonesia akan jatuh ke dalam krisis.

Secara praksis, demokrasi akan berjalan baik apabila ada rasa tanggung jawab dan toleransi pada pemimpin-pemimpin politik (termasuk tradisi agree to disagree). Hatta mengakui hal itu yang kurang pada pemimpin-pemimpin partai politik baik pada permulaan kemerdekaan maupun sesudah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Setelah kemerdekaan itu diakui oleh dunia, orang lupa akan syarat-syarat membangun demokrasi yang progresif. Secara ideal, pemerintah melaksanakan demokrasi yang sebaik-baiknya untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, namun dalam praktiknya pemerintah kelihatan semakin jauh dari nilai demokrasi bahkan demokrasi dikorupsi.

Meskipun demikian, demokrasi tidak akan lenyap dari Indonesia, karena demokrasi kita berakar kuat di dalam masyarakat desa. Mungkin demokrasi kita akan tersingkir sementara, seperti pengalaman dewasa ini dengan mencengkeramnya oligarki ekonomi kedalam ruang politik pemerintahan. Femonena #reformasidikorupsi adalah nyata. Pertanyaannya, apakah gerak politis ribuan kepala desa menyerbu ibukota adalah bagian festival mengkorupsi reformasi? Atau festival gotong royong menghancurkan demokrasi? Atau ini hanya teater state?

Catatan Kaki

Ekspresi menuntut jabatan lebih lama adalah ekspresi politis. Rasionalisasinya adalah kekuasaan itu cenderung dipertahankan meskipun korup dan amoral. Fenomena politik terbukanya tuntutan kepala desa ke legislator adalah bukti pengetahuan demokrasi kepala desa sangat baik dan sudah bisa pakai jalur short cut, kalau mau korup atas nama demokrasi juga bisa yaitu membeli revisi undang undang kepada legislatif eksekutif bahkan bisa sangat transaksional karena desa bisa amankan suara partai-partai. Inilah juga kenapa politik masa mengambang sukses, kini bisa berbalik menjadi politik desa mengudara dengan pelibatan sosial media yang menyentuh psikologi politik kebangsaan kita.

Transparansi dan demokrasi bisa berwakah janus di tangan elit politik desa berkongkalikong dengan elite tengahan dan elite atasan. Ada banyak kisah pemekaran, desa fiktif, politik klientalisme dan patronase semua berujung ke muara politik desa. Jadi, zaman demokrasi atau zaman otoriterian bergerak, desa adalah kekuatan politik riil. Haruskah negara berpihak pada kepala desa?atau petani desa? Simak lagu iwan fals berjudul desa. Semoga menguatkan mental revolution from below. Rakyat desa sedunia, bersatulah!

David Efendi, Dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, LHKP PP Muhammadiyah

Exit mobile version