Horas Muhammadiyah

Refleksi Muswil Ke-13 Muhammadiyah Wilayah Sumatera Utara

horas muhammadiyah

Wakil Ketua DPRD Sumut Lepas Gerak Jalan Syiar Muktamar Ranting Denai

Horas Muhammadiyah

Refleksi Muswil Ke-13 Muhammadiyah Wilayah Sumatera Utara

Oleh: Isthifa Kemal

Diluar pulau Jawa, beberapa organisasi Islam telah tumbuh dan berkembang selama masa kolonial Belanda. Sebut saja di Sumatera Utara, muncul organisasi Al Jam’iyatul Wasliyah dan Al-Ittihadiyah. Dua organisasi ini di era 1930-an, muncul sebagai organisasi Islam yang banyak memberikan kontribusi bagi kemajuan umat Islam di Sumatera Utara. Akan tetapi, 2 organisasi Islam dari pulau Jawa seperti NU dan Muhammadiyah juga telah hadir sebelumnya.

Organisasi Islam banyak mendapatkan tantangan dari pihak Muslim, terutama pihak Kerajaan Sumatera Timur adalah Muhammadiyah. Organisasi Muhammadiyah berjuang keras dalam mempertahankan eksistensinya, hingga sampai saat ini. Organisasi Muhammadiyah di Sumatera Utara menjadi organisasi Islam terbesar, mengingat amal usahanya meliputi seluruh Kawasan ini.

Berkenaan dengan perkembangannya dapat dicatat bahwa dalam masa 4 tahun sejak berdirinya, Muhammadiyah secara organisatoris hanya berkegiatan di Yogyakarta, meskipun secara individul, K.H. Ahmad Dahlan dan pengurus lainnya, tetap mengkampanyekan Muhammadiyah ke berbagai daerah. Barulah pada tahun 1917, daerah operasi Muhammadiyah diperluas. Karena itulah, Anggaran Dasar  organisasi Muhammadiyah yang mulanya hanya di daerah residensi Yogyakarta, haruslah terlebih dahulu dirubah. Perubahan tersebut pertama kali dilakukan pada 1920 yang menyebutkan kegiatan Muhammadiyah meliputi seluruh pulau Jawa.

Bersamaan dengan itu, permintaan untuk mendirikan cabang Muhammadiyah ternyata tidak hanya dari pulau Jawa, melainkan juga dating dari luar pulau Jawa. Karena itu pada tahun 1921, Anggaran Dasar Muhammadiyah kembali diubah yang menyebutkan daerah operasinya di seluruh Indonesia, yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut “Memajukan dan menggembirakan pengajaran dan pelajaran agama Islam di Hindia Nederland; dan memajukan cara kehidupan sepanjang kemauan Agama Islam kepada lid-lidnya (segala sekutunya).

AR Sutan Mansur saat Muda Dok Pusdalit SM

Peluasan cabang-cabang Muhammadiyah juga diuntungkan oleh keberadaan pedagang dari Minangkabau. Tidak mengherankan jika Haji Rasul (Haji Abdul Karim Amrullah, ayahanda HAMKA), seorang ulama terkemuka dari Minangkabau dalam perjumpaannya yang hanya sekejapdengan Kiyai Dahlan di Pekalongan pada tahun 1925 segera bersimpati dan berjanji akan mengembangkan Muhammadiyah di Minangkabau. Karena itu, cabang Muhammadiyah yang pertama diluar pulau Jawa ada di Minangkabau, yang berdiri pada tahun 1925.

Pada tahun 1927 berdiri pula cabang Muhammadiyah di Medan sebagai cabang pertama di Sumatera Utara. Pada tahun yang sama, berdiri cabang-cabang Muhammadiyah di Bengkulu, Banjarmasin dan Amuntai. Pada tahun 1929 cabang Muhammadiyah secara resmi berdiri di Aceh dan Makassar. Tahun 1930 didirikann pula cabang Muhammadiyah di Merauke. Sejak tahun 90-an dan seterusnya, Muhammadiyah mengalami perkembangan yang cukup pesat dan hampir semua daerah di Indonesia.

Muhammadiyah di Sumatera Timur

Sumatera Utara saat ini merupakan gabungan Keresidenan Sumatera Timur, dan Keresidenan Tapanuli. Keresidenan Sumatera Timur meliputi: Langkat, Binjai, Medan, Deli Serdang, Tebing Tinggi, Pematang Siantar, Simalungun, Asahan, Tanjung Balai, Karo dan Labuhan Batu sampai Bagan Siapi-Api. Daerah tersebut merupakan dataran yang subur dan dihuni   oleh mayoritas penduduk beragama Islam secara turun-temurun sejak masuknya Islam abad ke-7 di Pantai Barat Sumatera. Daerah subur tersebut dipimpin oleh tuan-tuan tanah perkebunan dan raja-raja Melayu yang disebut dengan Sultan. Kekuasaan agama diamanahkan kepada ulama atau guru agamadan kehidupan beragama diatur dalam 1 mazhab tertentu, mazhab Syafi’i. Bagi orang yang tidak menganut mazhab, pastilah dianggap sebagai pembawa paham agama baru yang sering dijuluki sebagai “kaum muda”.

Raja-raja di Kesultanan Melayu semuanya beragama Islam; bahkan upacara-upacara keagamaan ikut serta melegimitasi kekuasaan dan kewibawaannya. Mesjid yang pada umumnya didirikan oleh para Sultan, ikut berperan mengukuhkan penghormatan rakyat kepada mereka. Maka tidak heran jika pengagungan dan kultuisme terhadap raja-raja terasa kental dan tidak terelakkan, sebagaimana doa yang dimohonkan para khatib setiap berkhutbah, berdoa untuk kebahagiaan dan kesentosaan para raja dan keturunannya. Hal ini berlangsung sampai masa kemerdekaan Republik Indonesia. Kenyataan ini tidak kondusif bagi masuk dan berkembangnya Muhammadiyah di daerah ini.

Muhammadiyah masuk dan berkembang di daerah ini bukan berasal dari orang di Sumatera Timur, melainkan dibawa oleh para perantau yang telah mengenal Muhammadiyah dikampung asalnya, terutama perantau Minangkabau, Jawa dan Mandailing. Adanya keinginan mendirikan Muhammadiyah didaerah ini sudah dimulai tahun 1925, Mas Pono yang dating dari Yogyakarta bertemu dengan Djuin St. Penghulu, St. Saidi Djamaris dan Dt. Bungsu.

Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah Sumut

Akan tetapi keinginan mendirikan Muhammadiyah setingkat ranting pun sulit dilakukan, apalagi paham agama yang dikenalkan, Muhammadiyah, banyak berbeda dengan praktik keagamaan ditengah-tengah masyarakat dan pasti mendapatkan tantangan. Keinginan yang telah ada semakin kuat Ketika AR Sutan Mansur bersama M. Fakhruddin sebagai utusan Hoofdbestuur Muhammadiyah berkunjung ke Medan dan Aceh pada Mei 1927 untuk mengkampanyekan Muhammadiyah kepada para simpatisannya. Hal ini tentunya mempertebal keinginan dan hasrat mendirikan Muhammadiyah.

Bermodalkan keinginan yang kuat itulah, diadakan pertemuan di Jalan Nagapatan 44 (Sekarang jalan Kediri) Kampung Keling Medan, pada 25 November 1927 dapat dilangsungkan. Pertemuan berlangsung dengan alot. Sekalipun begitu, pertemuan itu membuahkan hasil untuk mendirikan organisasi Muhammadiyah di Kota Medan sebagai cabang Muhammadiyah yang didirikan Kiya Dahlandi Yogyakarta. Pada rapat itu memutuskan HR. Muhammad Said sebagai ketuanya.

Sekalipun tahun 1927 Muhammadiyah di Medan telah didirikan, tetapi Surat Ketetapan Hoofdbestuur (Pengurus Besar) Muhammadiyah baru dikeluarkan pada 1 Juli 1928. Tahun ini dinilai sebagai tahun resmi berdirinya Muhammadiyah cabang Medan. Para pengurusnya pada periode awal adalah HR. Muhammad Said (Ketua), Djuin St. Penghulu (Wakil Ketua),  Mas Pono (Sekretaris), Penghulu Manan (Wakil Sekretaris), St. Saidi (Bendahara), Tujung Muhd Arif (Advisur), dan para komisaris antara lain Kongo St. Maradjo, Hasan St. Batuah, Awan St. Saripado, Hadji Kari Sju’ib dan St. Ibrahim.

Kehadiran Muhammadiyah dengan “paham agama baru”, tentu saja, menjadi perbincangan masyarakat Medan, baik yang pro maupun kontra. Hal ini menjadi faktor yang segera menggelitik murid-murid senior Madrasah Islamiyah Tapanuli (MIT) sehingga mereka membentuk kelompok diskusi (1928) yang Bernama Debating Club. Didalam kelompok inilah berbagai hal tentang persoalan-persoalan agama didiskusikan termasuk paham agama yang dikembangkan Muhammadiyah. Terlepas dari materi yang didebatkan, pada pertemuan-pertemuan dalam diskusi ini dipandang bermanfaat yang kemudian menjadi momentum berdirinya organisasi Al Wasliyah pada 30 November 1930.

Tantangan yang dirasakan Muhammadiyah di daerah ini bukan dari Al Wasliyah ataupun Al-Ittihadiyah  yang berdiri di Medan pada tahun 1935. Karena bagi Muhammadiyah, keduanya adalah teman untuk menambah kecerdasan dan kemajuan bangsa. Tantangan yang dirasakan Muhammadiyah di sini pada awal-aawalnya dari pihak penjajah, sultan dan raja-raja. Dengan politik adu domba pihak kolonial, menggunakan para sultan sebagai kekuatan untuk menumpas Muhammadiyah. Tidak mengherankan jika para sultan juga memanfaatkan sebagian ulama untuk menentang Muhammadiyah.

Buya AR Sutan Mansur Dok Pusdalit SM

Banyak peristiwa tragis yang dialami Muhammadiyah Ketika melaksanakan kegiatan di Sumatera Timur, mulai dari upaya menghalang-halangi anggota masyarakat yang akan menghadiri rapat-rapat umum Muhammadiyah, sampai kepada penganiyayaan terhadap pimpinan dan anggota Muhammadiyah.

Rintangan yang dialami Muhammadiyah, tidak mengurangi aktivitas para pimpinan Muhammadiyah untuk meluaskan sayapnya ke berbagai daerah di Sumatera Timur. Hal ini ditandai dengan berdirinya grup-grup Muhammadiyah, baik yang setingkat cabang ataupun ranting di berbagai daerah. Hanya dalam masa 3 tahun saja setelah Cabang Muhammadiyah Medan berdiri (1927-1930), telah tumbuh 10 cabang Muhammadiyah lainnya. Cabang Muhammadiyah lainnya yaitu,

(1) Pimpinan Cabang Muhammadiyah Pancurbatu, 18 Januari 1928, (2) Pimpinan Cabang Muhammadiyah Pematang Tanah Jawa, 27 April 1929, (3) Pimpinan Cabang Muhammadiyah Tebing Tinggi, 1 Mei 1929, (4) Pimpinan Cabang Muhammadiyah Kisaran, 23 Desember 1929, (5) Pimpinan Cabang Muhammadiyah Pematang Siantar, 27 Januari 1930, (6)  Pimpinan Cabang Muhammadiyah Kerasan, 5 Maret 1930, (7) Pimpinan Cabang Muhammadiyah Glugur, 1 Juli i1930, (8) Pimpinan Cabang Muhammadiyah Tanjung Balai, 12 Oktober 1930, (9) Pimpinan Cabang Muhammadiyah Binjai, 20 November 1930, (10) Pimpinan Cabang Muhammadiyah Perdagangan, 7 Desember 1930.

Pertumbuhan Cabang Muhammadiyah semakin meningkat setelah berlangsungnya Kongres Muhammadiyah ke-30 di Bukit Tinggi pada 14-26 Maret 1930, sebagai kogres pertama yang dilaksanakan diluar pulau Jawa. Salah satu keputusan penting dalam kogres tersebut adalah, bahwa setiap Keresidenan harus ada waki HB Muhammadiyah yang dinamakan Konsul Muhammadiyah. Karenanya, HR. Muhammad Said yang sebelumnya merupakan Ketua Cabang Muhammadiyah Medan, ditetapkan sebagai Konsul Muhammadiyah Daerah Pesisir Timur. Jabatan ini diemban sampai akhir hayatnya (wafat 22 Desember 199). Setelah HR. Muhammad Said wafat, Konsul Muhammadiyah Sumatera Timur dijabat oleh Buya Hamka, dibantu Tami Marihat Usnian, HM Bustami Ibrahim, dan Agus sebagai sekretaris.

Pada tahun 1940, ranting Muhammadiyah diseluruh Sumatera Timur berkembang menjadi 72 ranting. Jika pada masa-masa sebelumnya anggota Muhammadiyah didominasi      oleh perantau Minangkabau ditambah orang Mandailing dan Jawa, maka pada masa ini, kalangan turunan bangsawan dan putra-putri asli Sumatera Timur, telah ada yang bergabung seperti Tengku Katan, Tengku Yahya, dan Tengku Johani.

Muhammadiyah di Tapanuli

Sumatera Timur dan Tapanuli merupakan 2 daerah administrasi pemerintahan zaman Belanda sampai masa kemerdekaan. Tapanuli berbatasan langsung dengan Sumatera Barat, tempat pertama kali tumbuh dan berkembangnya Muhammadiyah di luar pulau Jawa.

Berita tentang suksesnya Kongres Muhammadiyah ke-30 di Bukit Tinggi, 14-26 Maret 1930, sebagai Kongres pertama yang dilaksanakan di luar pulau Jawa, segera berhembus ke Tapanuli. Ini menarik perhatian sejumlah tokoh masyarakat Keresidenan Tapanuli, seperti H.A. Mun’im, Marah Kamin, Gudang SItompul, yang pada akhirnya bersepakat mendirikan Muhammadiyah pada 20 Agustus 1930 di Sibolga. Pada saat itu, Muhammad Sultoni menyerahkan sebidang tanah di depan Gedung Gubernemen Sibolga untuk dijadikan sebagai lahan pertapakan sekolah Muhammadiyah.

Setelah Muhammadiyah Sibolga berdiri, maka pada Oktober 1930 dilaksanakan rapat umum untuk mengkampanyekan Muhammadiyah di Padangs Sdempuan, dengan mendatangkan Abdul Malik Siddik dari Bukit Tinggi. Bersamaan dengan itu, mulailah dirintis berdirinya Muhammadiyah di Padang Sidempuan yang diketuai oleh Kari Jasman Siregar. Pada tahun yang sama, sebuah Madrasah Diniyah-Ibtidaiyah Muhammadiyah di Padang Sidempuan didirikan, yang saat ini dikenal dengan SD Muhammadiyah 1 Padang Sidempuan. Sejak saat itu, Muhammadiyah semakin melebarkan sayapnya ke berbagai daerah yang ditandai dengan berdirinya Muhammadiyah di Sipirok tahun 1931, di Tamiang (Mandailing Julu) tahun 1933 dan daerah lainnya.

Kongres Umat Islam Sumut 2022

Sesuai dengan keputusan Kongres Muhammadiyah Ke-30 tahun 1930, bahwa setiap Keresidenan harus ada Konsul Muhammadiyah, keberadaan Muhammadiyah di Sibolga, Padang Sidempuan, Sipirok dan Tamiang, sampai akhir tahun 1934 masih bernauang pada Konsul Muhammadiyah Sumatera Barat di Bukit Tinggi. Setelah dilaksanakannya Musyawarah Muhammadiyah Keresidenan Tapanuli bulan Desember 1930 di Sibolga yang membuahkan ketetapan bahwa di Keresidenan Tapanuli harus ada Konsul yang berdiri sendiri. Sebagai Konsul pertama, ditetapkan Muhammad Karim yang menduduki jabatan itu sampai dengan terpilihnya Amir Husin Abdul Mu’in pada Konperensi Daerah tahun 1935.

Tahun 1947, Pimpinan Daerah Muhammadiyah dipindahkan dari Sibolga ke Padang Sidempuan, karena perkembangan Muhammadiyah lebih berkembang pesat, Pada saat itu, jumlah cabang Muhammadiyah di Tapanul isudah berdiri 12 cabang. Gerakan Muhammadiyah di Tapanuli semakin dirasakan oleh masyarakat, dengan berdirinya Pesantren K.H. Ahmad Dahlan di Sipirok (1962), Kulliyatul Muballighin di Ladang Tengah (1963) dan rumah anak yatim di Barus (1963).

Pada tahun 1966, sesuai dengan instruksi Pimpinan Pusat Muhammadiyah No 5 tahun 1966 bahwa setiap daerah tingakt II yang memiliki sedikitnya 5 cabang dapat mendirikan Pimpinan Daerah Muhammadiyah. Sejak saat itu, Muhammadiyah di daerah ini menjadi 3 bagian, yaitu Pimpinan Muhammadiyah Daerah Kabupaten Tapanuli Tengah berkedudukan di Sibolga, Pimpinan Muhammadiyah Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan Selatan berkedudukan di Padang Sidempuan, dan Pimpinan Muhammadiyah Daerah Kabupaten Nias, berkedudukan di Gunung Sitoli.

Muhammadiyah di Sumatera Utara

Pada tahun 1953, struktur pemerintahan Republik Indonesia membentuk Propinsi Sumatera Utara, yang terdiri atas daerah Tapanuli, Sumatera Timur dan Aceh. Muhammadiyah berusaha untuk menyesuaikan diri dengan struktur pemerintahan yang baru itu, dengan menetapkan H. Bustami Ibrahim sebagai Koordinator Pimpinan Muhammadiyah Wilayah Sumatera Utara, sedangkan Ketua Muhammadiyah Sumatera Timur diamanahkan kepada Bachtiar Junus yang dijabatnya sampai tahun 1955.

Pada tahun 1957, Muhammadiyah melalui inisiatif beberapa pemuda, mendirikan sebuah Akademi Falsafah dan Hukum Islam. Pendirian ini di pimpin antara lain oleh H.M. Bustami Ibrahim, D. Dyar Karim, dan Abdul Mu’thi. Akademi inilah yang menjadi cikal bakal berdirinya Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU). Sampai akhir tahun 1959, Muhammadiyah Sumatera Utara telah memiliki 48 SD, 42 Diniyah/Ibtidaiyah, 3 Madrasah Tsanawiyah, 14 SMP, 3 SMEP, 1 Sekolah Teknik Pertama. Selain itu ‘Aisyiyah juga mengasah 11 TK Bustanul Athfal dan 2 PGA Putri untuk tingkat PGAP dan PGAA.

Seiring dengan situasi yang terus berubah, Muktamar Muhammadiyah ke-36 tahun 1965 di Bandung, kembali mengubah struktur organisasi Muhammadiyah dengan memedomani struktur daerah administrasi pemerintahan Republik Indonesia. Berdasarkan ketetapan ini, Muhammadiyah terpaksa melikuidasi istilah Konsul Muhammadiyah Wilayah (PWM)  untuk daerah tingkat I  dan Pimpinan Muhammadiyah Daerah (PMD) untuk tingkat II. Untuk masa cukup lama, Muhammadiyah di Sumatera Utara belum menyesuaikan secara utuh.

Barulah melalui Musyawarah Wilayah I yang berlangsung pada 21-23 April 1967 disepakati struktur organisasi tingkat propinsi atau wilayah dengan sebutan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Sumatera Utara. Terpilih sebagai ketua PWM Sumatera Utara pertama kali adalah Nasyiruddin Daud Pane yang akrab dikenal dengan N.D Pane.  Pada masa kepemimpinannya, Universitas Muhammadiyah Tapanuli Selatan didirikan (1987). Demikian juga Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi dan Sekolah Tinggi Ilmu Hukum di Kisaran-Asahan, serta Sekolah Tinggi Islam Tapanuli Tengah.

Saat ini 17-19 Februari 2023, Muhammadiyah di Sumatera Utara akan melaksanakan Musyawarah Wilayah ke-13 bertepatan di Padang Sidempuan, Kota yang ikut membesarkan Muhammadiyah di Sumatera Utara. Dibawah kepemimpinan Ketua PWM Sumatera Utara, Hasyimsyah Nasution, Muhammadiyah di Sumatera Utara berkembang dengan pesat. Amal usaha berkembang dengan pesat, secara terperinci ada  57 SD, 28 SMP, 21 MTs, 12 SMA, 13 MA, 101 SMK, 16 MDA, 3 MI, 5 Pondok Pesantren, dan 5 PTM. Sedangkan amal usaha Kesehatan secara terperinci ada 2 BKIA, 2 Rumah Bersalin, 1 Rumah Sakit, 1 Apotik, dan 5 Klinik. Data amal usaha Bidang Sosial ada 8 PAnti Asuhan, 79 Koperasi dan 6 BMT.

Tentunya pelaksanaan Musyawarah Wilayah ke-13 akan menghasilkan pemikiran dan gagasan terbaru yang mencerahkan bagi Muhammadiyah Wilayah Sumatera Utara.

Isthifa Kemal, Sekretaris Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara

Exit mobile version