Wawasan Demokrasi Indonesia
Oleh: Dr Masud HMN
Minggu belakangan ini menjelang tahun politik 2024 kita heboh berhadapan dengan nilai persatuan. Bagaimana mewujudkannya dalam masyarakat yang beragam.
Kita menganut Demokrasi Indonesia itu sejatinya adalah nilai Indonesia. Maksudnya Indonesiakah atau tidak. Lebih dirujukkan ke nilai apakah sesuai dengan Indonesia atau tidak. Demikian itulah intinya.
Memang beragam banyak perspektif kalau berbicara Demokrasi Indonesia. Terutama bila wawasan kekuasan yang super dalam bangsa dan bernasyrakat. Kita mengenal ungkapan yang dilontarkan Supomo dan Agus salim. Supomo yang ahli hukum bahasa Indonesia dan Agus Salim ahli adat dan hukum Islam. Dari kedua tokoh ini sebagai pendiri bangsa Indonesia kita tarik pendapat mereka.
Pendapat Supomo mengatakan yang super itu adalah Musyawarah Perwakilan Rakyat (MPR) bukan Mahkamah Agung, (MA). Meski MA adalah penguasa hukum tertinggi pandangan ini bersejalan dan dibenarkan Agus Salim karena MPR itu adalah penjelmaan rakyat Indonesia.
Menariknya wawasan kedua tokoh ini kalau terkait dengan mayoritas dan minotitas menjadi jelas yang mayoritas menjadi super kuasa. Mana mungkin yang minoritas dapat berkuasa di MPR, karena merekalah yang berkuasa.
Pertanyaannya dimana superioritas itu dalam konsep mayoritas dan minoritas. Jika dalam Negara sistem Demokrasi Indonesia, MPR jadi pihak mayoritas dan minoritas, Mungkinkah ada solusi yang menjadi way out atau jalan keluar ?
Profesor Yusril Ihza Mahendra bagi dua hal yang menyatakan dimana tempat minoritas dan mayoriyas itu terdapat dalam kata keterwakilan dari penjelmaan masyarakat. Artinya pencerminan dari superioitas MPR harus mencerminkan keterwakilan. Semua pihak tentunya secara adil.
Dari pengalaman jelas Yusril hal itu tidak mudah penerapannya. Hal ini misalnya ia mewakili luar Jawa atau Jawa. Kita mengetahui bapaknya orang jawa tulen seratus persen. Serupa juga Megawati Sukarno Puteri orang jawa atau tidak. bapaknya Sukarno dan ibunya orang Bengkulu Megawati Sukarno Puteri mewakili jawa dan luar jawa. Ada yang menyimpulkan Habibi bukan orang Jawa dan Megawati Sukarno Puteri orang jawa.
Hemat kita inilah perlu dalam kata mengejawantahkan midik dan cerdik. Itu kata nenek moyang kita dalam memahami realiatas. Midik tahu mana yang baik dan cerdik pandai mencari alasan mana yang tepat. Harus midik dan cerdik.
Tiada masalah apakah jawa atau non jawa, yang perlu adalah nilai Indonesia ada di situ nilainya ada dalam mewakili Indonesia.
Sehingga nilai demokrasi Indonesia dapat kita wujudkan. Karena kita midik mana yang tidak bernilai kita tinggalkan. Kita cerdik karena itu mencari apa yang baik dan benar. Untiuk kita pakai. bukannya yang tidak benar.
Dr Masud HMN, Dosen UHAMKA Jakarta