Belajar pada Kata dan Peristiwa (7)

Belajar pada Kata dan Peristiwa

Foto Ilustrasi

Belajar pada Kata dan Peristiwa (7)

Oleh: Mohammad Fakhrudin

Menasihati dengan hati

mencegah kemunkaran

dengan keramahan

bukan dengan kemarahan

Di dalam Belajar pada Kata dan Peristiwa (6) disajikan dua kisah nyata yang bermodus sama, yakni pinjam uang untuk biaya operasi. Di samping itu, disajikan pula kisah nyata “musyafir” kehabisan uang.

Dari kisah nyata tersebut, ada pelajaran berharga yang perlu kita petik. Berbuat baik harus dilakukan berdasarkan iman dan takwa. Jika dasarnya hanya kecerdasan akal, sangat mungkin timbul kekecewaan jika kebaikan yang dilakukan tidak memperoleh balasan kebaikan juga.

Di dalam kehidupan nyata, cukup banyak kasus kekasaran dan kekerasan, pembunuhan, atau perampokan yang dilakukan justru oleh orang yang ditolong ketika mengalami kesulitan. Pelakunya bukan hanya orang lain, melainkan juga kadang-kadang keluarga sendiri.

Kejadian semacam itu tidak membuat orang beriman dan bertakwa kapok berbuat baik. Mereka, bahkan, merasa dididik agar menjadi lebih dewasa, sabar, dan makin dekat pada Allah Subhanahu wa Ta’aala. Tambahan lagi, di dalam doanya ada bagian doa untuk orang yang mengecewakannya agar diberi hidayah supaya menjadi orang baik. Mereka tetap berusaha agar dapat membalas keburukan dengan kebaikan dan membalas kebaikan dengan yang lebih baik sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.

Orang yang hanya menggunakan kecerdasan otaknya tidak mungkin melakukan yang demkian itu. Terhadap orang yang mengingkari janjinya, mereka berproses secara hukum. Tidak peduli terhadap orang yang kepepet sekalipun. Terhadap keluarga sendiri, bahkan, kepada orang tuanya sendiri pun, mereka tega melakukannya!

Ungkapan yang digunakannya adalah Urusan dagang dan uang nggak ada saudara. Orang tua juga nggak ada. Yang ada adalah utang wajib dibayar. Boleh jadi, mereka menggunakan hadis untuk menguatkan sikapnya itu yang inti isinya bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi tidak berkenan menyalatkan jenazah yang masih punya utang.

Di dalam Belajar pada Kata dan Peristiwa (7) ini disajikan kisah nyata dinamika rumah tangga. Sepertinya tidak ada rumah tangga tanpa dinamika. Namun, hal terpenting yang harus kita perhatikan dengan baik adalah strategi menghadapinya.

Dinamika Rumah Tangga

Rumah tangga bagaikan kapal mengarungi samudra. Nah, tahukah ke mana kapal tu menuju? Pulau kebahagiaan, keselamatan, dan kesejahteraan dunia dan akhirat.

Kapal itu menuju pulau tersebut melalui samudra yang tak sepi gelombang. Bahkan, badai! Ada juga karang.

Suatu ketika ada badai dahsyat menerjang kapal rumah tangga hingga kapal itu pun menabrak karang-kenyataan yang sama sekali berbeda atau bertentangan dengan impian dan rencana yang serbaindah. Apakah suami istri saling menyalahkan, atau menyalahkan orang lain, atau malahan menyalahkan alam, sedangkan kapal bocor dibiarkan dan air pun mulai memenuhinya sehingga kapal itu pun tenggelam?

Persoalan kehidupan rumah tangga tak selamanya dapat diselesaikan dengan kecerdasan otak. Ketika suami tergeletak lunglai di tempat tidur karena terhimpit persoalan berat, apakah istri ikut tenggelam dalam kesedihan? Betapa indahnya jika istri di atas sajadah dengan tangan tengadah; dengan suara parau, ia menyebut Allah Subhanahu wa Ta’aala tak henti-henti. Memohonkan suami agar memperoleh pencerahan. Kemudian, dengan halusnya mencium kening suami sambil berbisik, “Sayang! Ada Allah! Allah Mahatahu yang terbaik buat kita. Sabarlah. Allah bersama orang-orang yang sabar.”

Sebaliknya, jika istri sedang menghadapi ujian berat, suami memotivasi istri agar segera move on.  Bahkan, dia harus lebih mampu mencerahkan pikiran dan hati istrinya.

Mungkin suami istri pada waktu yang bersamaan dihadapkan pada kenyataan yang berbeda jauh dari impian, cita-cita, dan usaha. Bukankah keturunan adalah impian, cita-cita, dan usaha setiap pasangan suami istri? Namun, banyak di antara mereka yang telah satu, dua, tiga, empat, lima tahun, bahkan, lebih dari itu tak ada tanda akan memperolehnya.

Ada di antara mereka rela menyediakan dana beratus-ratus juta rupiah. Ada yang menempuh jalan pintas; datang kepada orang pintar. Namun, ada pula yang akhirnya men­jadikannya sebagai alasan untuk bercerai atau berpoligami.

Tentu ada yang memilih jalan mawas diri, lalu mohon pertolongan kepada Allah melalui amal saleh. Meningkatkan kekhusyukan salatnya. Menambah rajin tahajudnya. Menam­bah rajin tadarusnya.

Ada kisah nyata yang dialami oleh tokoh nasional yang bertahun-tahun menikah, tetapi belum diberi anak. Beliau dan istrinya pernah berkonsultasi dengan dokter ahli di Amerika. Apa anjuran dokter itu? Ganti pasangan!

Tokoh nasional tersebut adalah orang beriman bahwa Allah Mahakuasa, maka tidak dengan serta merta melaksanakan anjuran itu. Mereka mohon kepada Allah Subhaanahu wa Ta’aala di tanah suci. Subhanallah! Doanya dikabulkan!

Strategi penyelesaian masalah bermacam-macam. Tentu strategi yang kita terapkan adalah strategi yang sesuai dengan sifat masalah yang kita hadapi.

Dalam penyelesaian masalah tertentu, kita dituntut berpikir dan bertindak cepat. Bagi orang yang sudah terlatih, hal itu dapat dilakukan. Karena sudah terlatih, mereka dapat menyelesaikan masalah dengan cepat dan tepat.

Pada sisi lain, ada masalah yang menuntut solusi penuh keberhati-hatian. Terhadap masalah yang demikian, penggunaan strategi penundaan menjadi keniscayaan. Strategi tersebut biasanya diterapkan untuk menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan perasaan.

Orang beriman dan bertakwa jika ingin menyelesaikan masalah, tentu mau saling berbagi perasaan. Mereka melakukannya demi memperoleh rahmat dari Allah Subhanahu wa Ta’aala sebagaimana dijelaskan di dalam al-Qur’an surat al-Kahfi (18): 10,

رَبَّنَآ اٰتِنَا مِنْ لَّدُنْكَ رَحْمَةً وَّهَيِّئْ لَنَا مِنْ اَمْرِنَا رَشَدًا

“Wahai Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini).

Doa sebagaimana terdapat di dalam al-Qur’an surat Ali ‘Imran (3): 8 berikut ini pun diucapkan,

رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوْبَنَا بَعْدَ اِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَّدُنْكَ رَحْمَةً ۚاِنَّكَ اَنْتَ الْوَهَّابُ

“(Mereka berdoa), Ya, Tuhan kami, janganlah Engkau condongkan hati kepada kesesatan setelah Engkau berikan petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu. Sesungguhnya Engkau Maha Pemberi.”

Kok, Semang Kundur?

Jika dikaji menurut pragmatik, maksud penutur dengan tuturan, Kok, semang kundur (‘Kok, pulang?’) baru dapat dipastikan berdasarkan konteks. Ada berbagai kemungkinan konteks yang berhubungan dengan tuturan tersebut jika diucapkan oleh istri kepada suaminya. Beberapa di antaranya  adalah sebagai berikut:

(1) Istri di rumah pada malam hari sendirian sehingga kesepian. Bahkan, boleh jadi, dia ketakutan. Apalagi, dia sedang hamil. Ia hanya kesal karena suaminya pulang sangat terlambat;

(2) Istri kesal dan tidak ingin suaminya pulang karena dia cemburu pada selingkuhan suaminya atau pada istri muda suaminya;

(3) Istri sudah tidak tahan lagi pada kelakuan suaminya karena berjudi sampai menghabiskan hampir semua harta gono-gininya, atau (4) Istri sebenarnya berharap suaminya pulang meskipun hatinya sudah remuk karena suaminya berselingkuh, bahkan, menikah dengan temannya. Ternyata suaminya itu pulang dalam keadaan memelas. 

Ada pengalaman menarik di dalam rumah tangga kami berkaitan dengan tuturan tersebut dan persiapan mengikuti Festival Teater antar-Perguruan Tinggi Tingkat Nasional di Taman Ismail Marzuki, Jakarta tahun 1981. Tiket maju ke tingkat nasional diperoleh setelah Teater SS IKIP Semarang menjadi Juara I dalam Festival Teater antar-Perguruan Tinggi Tingkat Provinsi Jawa Tengah dan dinyatakan laik oleh Tim Penilai dari Jakarta. Di antara Tim Penilai itu adalah Pramana Padmodarmaya dan Tatiek Maliyati, dosen Institut Kesenian Jakarta.

Bulan Ramadan. Ketika itu usia pernikahan kami hampir satu tahun. Saya pamit pada istri saya akan mengadakan pelatihan, baik sebagai pemain maupun sebagai sutradara. Dia mengizinkan, tetapi menanyakan sampai pukul berapa pelatihan berlangsung. Saya katakan insya-Allah sekitar pukul 22.00 saya sudah sampai di rumah. Atas izinnya, saya berangkat.

Istri saya menanti kepulangan saya sambil menonton film serial The Bionic Women yang ditayangkan TVRI di rumah induk semang (Waktu itu kami tinggal di kamar kontrakan yang satu dinding dengan rumah induk semang). Pukul 22.00 telah lewat. Film telah usai.

Pukul 23.00 telah lewat. Saya belum juga sampai di rumah. Saya baru tiba di depan pintu gerbang rumah pukul 00.30.

Dengan was-was saya memasuki halaman rumah itu. Baik rumah induk semang maupun kamar yang kami kontrak sudah gelap. Saya tidak langsung mengetuk pintu. Beberapa saat saya duduk di teras sambil berpikir keras apa yang akan saya ucapkan jika istri saya marah.

Beberapa saat kemudian, saya beranikan mengetuk pintu dengan hati-hati. Tak ada jawaban. Saya kembali duduk di teras.

Setelah sesaat saya duduk, saya bangkit kembali. Saya ketuk lagi pintu. Tak ada jawaban juga. Perasaan saya makin galau. Saya merasa sangat bersalah pada istri saya.

Saya menghitung berapa kali kesempatan sudah mengetuk pintu. Sudah dua kali. Ini berarti tinggal satu kali lagi.

Jika sampai tiga kali pintu saya ketuk dan tidak memperoleh jawaban, berarti saya harus siap tidur di depan pintu atau di teras.

Saya bicara di dalam hati. Saya tetap duduk di teras menyesali diri. Namun, sesaat kemudian, setelah menghimpun segala kekuatan dan keberanian, untuk kesempatan yang ketiga kalinya, saya mengetuk pintu tanpa menambah kerasnya suara ketukan.

Terdengar suara tubuh berat menggeliat dari ranjang besi. Saya yakin itu suara istri saya bangkit dari ranjang. Tidak lama kemudian, terdengar langkah kaki perempuan mendekat pintu.

Saya yakin benar itu suara langkah kaki istri saya: berat.  Waktu itu usia kehamilan istri saya 7 bulan.

Tampak gorden dikuakkannya pelan dan sedikit. Rupanya dia ingin memastikan siapa yang mengetuk pintu.

Saya mulai lega meskipun siap juga menerima kenyataan pahit. Pintu pun dibukanya. Dia tidak mempersilakan saya masuk, tetapi bertutur dalam bahasa Jawa,

Kok semang kundur?” (’Kok pulang?’).

Saya tidak menjawab. Saya memilih menutup pintu dan menguncinya. Tangan kiri saya letakkan di pundak kirinya setengah merangkul. Dia tidak melepaskan tangan saya.

Hati saya mulai tenteram. Ada keyakinan bahwa istri saya kesal dan marah, tetapi masih terkendali.

Kami berada di ruang tamu dalam keremang-remangan cahaya lampu jalan di depan rumah yang masuk melalui ventilasi rumah. Saya melepaskan pakaian luar.

Dengan suara yang sangat lembut, dengan nada rendah, dengan tempo lambat, saya berkata dalam bahasa Jawa,

Ya, wis. Yen ora entuk bali, ya aku tak lunga meneh. Nanging, ya, diterke, ta”. (’Ya, sudah. Kalau tidak boleh pulang, ya … saya akan pergi lagi. Tetapi, ya, diantar, ta’)

Saya tatap wajah istri saya dalam keremang-remangan cahaya itu. Tidak tampak kemarahan. Dia justru tersenyum. Hati saya bersorak-sorai. Saya merangkulnya rapat-rapat dan menciuminya sepuas-puasnya. Tidak ada pertengkaran sama sekali. Malam itu pun kami lewati dengan indah.

Saya baru menjelaskan alasan keterlambatan pulang pada esok harinya ketika istri saya mulai mau merespons canda saya. Kami duduk santai berdampingan karena sempitnya ruang.

Kami tidak mempunyai ruang khusus untuk makan. Yang ada hanyalah “lorong” sisa kamar tidur yang dapat dilalui oleh siapa pun jika akan ke dapur dan ke kamar mandi.

Saya dengan serius minta maaf. Dia memahami penyebab keterlambatan saya. Saya katakan bahwa saya bertemu dengan Mas Gembong Lukito, dedengkot teater di Semarang waktu itu, yang selalu memberikan masukan (atau kritik) terhadap pementasan kami.

“Kami ngobrol tentang pementasan yang baru saja kami lakukan. Beliau minta maaf karena tidak dapat menonton, tetapi beliau memberikan masukan berdasarkan kesannya ketika menonton pementasan sebelumnya. Masukan itu sangat berharga buat pementasan selanjutnya. Kami asyik ngobrol sampai lupa waktu. Saya terkejut ketika melihat jam tangan ternyata sudah pukul 00.00. Saya dan Mas I’i menghentikan obrolan secara mendadak lalu pamit. Saya minta maaf atas kejadian itu.”

Istri saya dengan tenang dan sabar mendengarkan penjelasan saya. Hati saya makin nyaman.

Kok, dek bengi malah mesem nalika aku ngomong, ‘Ya, wis. Yen ora entuk bali, ya aku tak lunga meneh. Nanging, ya, diterke, ta.” (‘Kok, tadi malam malah tersenyum ketika saya berkata, Ya, sudah. Kalau tidak boleh pulang, ya … saya akan pergi lagi. Tetapi, ya, diantar, ta’)

Aku mbayangke. Yen panjenengan tindak mung ngagem celana cekak lan singlet, banjur aku nututi ana buri panjenengan, banjur kepethuk wong, luwih-luwih sing dikenal, rak ya, mesti dadi kedawa-dawa. Ya, ta?” (‘Saya membayangkan. Jika Mas pergi hanya memakai celana pendek dan singlet, lalu saya mengikuti di belakang Mas, bertemu dengan orang, lebih-lebih yang sudah kenal, tentu jadi masalah besar. Ya, kan?’)

Dia tertawa renyah. Saya pun demikian.

Wis, ah. Ora sah dirembug meneh.” (‘Sudah, ah. Tidak usah dibicarakan lagi’)

Dingapura, ya!” (‘Maaf, ya’) Lagi-lagi saya minta maaf sambil mencium keningnya.

Dia tersenyum. Saya merasa memperoleh asupan energi keseriusan yang luar biasa untuk berlatih.

Masalah terselesaikan dengan strategi penundaan tanpa pertengkaran. Kami makin yakin bahwa dengan merujuk pada al-Qur’an dan hadis, tidak ada masalah yang tidak dapat diselesaikan dan hasilnya dijamin baik. Persoalannya adalah ada tidaknya iktikad baik untuk menyelesaikan masalah!

Nah, bagaimana hasil Fstival Teater antar-Perguruan Tinggi Tingkat Nasional? Teater SS IKIP Semarang menjadi Juara III. Teater IKIP Bandung menjadi Juara II, sedangkan Teater Universitas Gadjah Mada menjadi Juara I.

Alhamdulillahi rabbil ‘aalamiin

Mohammad Fakhrudin, warga Muhammadiyah, tinggal di Magelang Kota

Exit mobile version