Berlebih-lebihan dalam Beragama (2)
Oleh: Tito Yuwono
Berlebihan dalam beragama
Membuat kaum dahulu binasa
Oleh karenanya
Dilarang oleh Nabi ﷺ tercinta
Berlebihan dalam beragama
Banyak penyebabnya
Semangat tinggi, namun ilmu tiada
Fanatik madzhabiyah dan taqlid buta
Pada artikel sebelumnya telah disampaikan peringatan untuk tidak berlebih-lebihan dalam beragama, baik dari Alquran dan Assunnah. Hancurnya ummat-ummat terdahulu adalah karena berlebihan dalam beragama. Termasuk berlebihan dalam beragama adalah mempersembahkan sesembahan kepada orang shalih seperti para nabi dan orag shalih lain. Berdoa kepada Nabi, berdoa kepada orang shalih, menyandarkan tawakkal kepada mereka. Juga mengada-adakan amalan baru dalam agama, sehingga akan memberatkan, karena sejatinya agama Islam ini adalah agama fithrah, sehingga tidak berat untuk dilaksanakan.
Berlebihan dalam beragama dari sisi muamalah juga sering ditemukan. Di antaranya adalah merasa kelompoknya paling benar kemudian menganggap kelompok lain salah. Karena menganggap kelompok lain salah maka dakwah kelompok lain tersebut berusaha untuk dihalang-halangi dengan berbagai macam cara.
Termasuk berlebihan dalam beragama dalam bidang muamalah juga adalah perbedaan pendapat dalam urusan fikih kemudian sampai berdampak pada rusaknya persatuan Ummat Islam. Juga berdampak pada lepasnya adab pergaulan. Meninggalkan menebarkan salam kepada sesama Muslim, dan juga tidak menjawab salam antar sesama Muslim.
Disamping itu, berlebihan dalam beragama adalah sikap takfir yang tidak pada tempatnya. Mengkafirkan orang lain dikarenakan perbedaan madzhab maupun perbedaan urusan cabang (fikih).
Dari contoh-contoh sifat ghuluw di atas, maka sifat ghuluw secara sosial juga meretakkan masyarakat dan memecah persatuan ummat.
Penyebab Berlebihan dalam Beragama
Menurut pengamatan penulis, ada beberapa sebab kenapa punya sikap berlebihan dalam beragama yang justru dilarang oleh agama kita, yakni Islam:
Pertama, terlalu Semangat, namun ilmu kurang. Semangat dan ghirah dalam beragama sangat bagus karena bisa menjadi penggerak dalam menjalankan tuntunan agama ini dengan baik. Namun harus diimbangi dengan ilmu agama yang luas dan mapan. Kekurangan ilmu dan sempitnya wawasan akan mengakibatkan bertindak tidak proporsional. Menganggap apa yanga ada pada dirinya adalah terbaik dan yang ada pada orang lain kurang baik, jika berbeda. Obat dari penyebab pertama ini adalah terus menerus menuntut ilmu, dan hendaknya tidak hanya memfokuskan dengan satu guru. Sehingga mendapatkan pandangan-pandangan lain.
Kedua, berlebihan dalam ta’asub madzhabiyah atau fanatisme kelompok. Fanatisme yang berlebihan pada madzhab dan kelompok akan memicu sikap ghuluw. Menganggap kelompoknya, komunitasnya, organisasinya adalah satu-satunya yang terbaik dan terbebas dari kesalahan. Sementara kelompok lain dianggap penuh kekurangan. Sehingga menimbulkan sikap arogan organisasi atau kelompok. Padahal kalau kita baca kisah-kisah ulama Imam Madzhab begitu besar rasa tasamuh atau toleransinya dan saling berkasih sayang.
Ketiga, taqlidul a’ma, yakni taqlid buta. Taqlid buta juga sering menjadi pencetus sifat dan perilaku berlebihan dalam agama. Taqlid buta ini merupakan sikap mengekor saja dalam beragama tanpa ada usaha untuk mempelajari lebih dalam terkait dengan hujah ataupun argumentasi dan dalil dari perkara agama. Maka kewajiban para dai adalah untuk mengajak masyarakat menjahui taqlid buta ini. Sebagaimana pesan Imam Syafi’i, yang maknanya jika perkataan atau pendapat Beliau bertentangan dengan hadis Nabi (Sunnah) maka tinggalkan pendapat Beliau. Ini adalah teladan yang semestinya dicontoh oleh dai-dai kita untuk menyampaikan supaya tidak taqlid kepada dirinya.
Keempat, penyebaran agama Islam ke berbagai penjuru dunia. Kita bersyukur bahwasanya Islam, agama rahmatal Lil ‘alamin ini menyebar ke berbagai penjuru dunia. Dan kita pahami bersama bahwa sebelum Islam masuk sesuatu wilayah, terkadang wilayah tersebut sudah memiliki tradisi ritual maupun tradisi sosial. Sehingga akibatnya adalah bercampurnya Islam dengan tradisi-tradisi tersebut. Tentu jika permasalahannya adalah masalah aqidah dan ibadah maka kita harus bisa memisahkan dan memilih mana yang ajaran Islam sesungguhnya dan mana yang bukan. Sikap ghuluw dalam beragama terjadi ketika seseoarang tidak bisa memilah dan memilih inti ajaran Islam. Sehingga dia melakukan sesuatu yang dianggap bagian dari agama Islam padahal bukan, sehingga sering terasa berat, disamping juga termasuk dalam perbuatan mengada-adakan dalam Islam bahkan terkadang termasuk ke dalam kesyirikan.
Dalam kaitannya ini juga, sikap ghuluw/berlebihan adalah anti terhadap budaya yang tidak bertentangan dengan Islam. Misalkan anti terhadap pakaian-pakaian adat walaupun menutup aurot.
Demikian tulisan singkat terkait dengan contoh-contoh ghuluw/berlebihan dalam agama serta penyebabnya. Semoga Allah Ta’ala berikan hidayah kepada kita untuk istikamah beragama dengan posisi pertengahan (wasatiyah), tidak berlebihan dan juga tidak meremehkan perkara agama.
Wallahu a’lamu bishshowab. Nashrun minallahi wa fathun qarib.
Tito Yuwono, Dosen Jurusan Teknik Elektro-Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, Sekretaris Majelis Dikdasmen PCM Ngaglik, Sleman, Ketua Joglo DakwahMu Almasykuri Yogyakarta