Gratifikasi Ibarat Ember Bocor
Oleh: Immawan Wahyudi
WAJAH PNS (pegawai negeri sipil) itu nampak tidak nyaman. Tapi bukan karena marah atau kesal. Lebih mirip dengan rasa hawatir atau mungkin malah takut. Terus terang saya lupa siapa nama PNS itu. Tapi dia dari bagian keuangan. Lebih Nampak gelisah ketika saya tanya, “Mas kemarin Anda memberikan saya uang Rp 3.000.000,- ya?” “Iya pak” jawabnya. “Apa jumlahnya sudah benar ya?” penulis tanya lagi. “Maksud bapak?” “Kalau saya hitung uang itu ada Rp 3.000.000,-. Tapi waktu kemarin saya baca sekilas kuitansi angkanya tidak seperti itu. Rasanya Rp 2.300.000 ya?. “Benar pak.” Jadi begini mas, karena angka sebenarnya cuma Rp 2.300.000 maka sampaikan saja sejumlah itu. Kenapa ditambahi?”. Wajah PNS itu sudah mulai membaik setelah tahu arah pembicaraan. Dengan agak pede dia bilang “Biar genap pak.” Penulis agak percaya dengan jawaban itu. Walaupun sesunguhnya tetap menebak-nebak –bahkan sampai saat ini.
Potongan dialog diatas terjadi saat-saat awal penulis diamanahi Pak Amien Rais untuk menggantikan Ibu Hj. Badingah selaku Wakil Bupati. Segera setelah pembicaraan selesai wajah PNS itu menampakkkan rasa lega. Dengan sikap yang pede dia keluar dari ruang kerja penulis. “Jadi mas, lain kali kalau ada sesuatu yang akan Anda sampaikan kepada saya sampaikan saja apa adanya. Jangan ditambah atau dikurangi.” “Iya pak. Mohon maaf.”
Uang, Batu Uji Pertama
Terus terang penulis salut dengan rekan-rekan staff di Pemda Gunungkidul. Umumnya sopan-sopan. Mungkin bermaksud “meningkatkan” rasa hormat atau sopan maka honor yang diberikan ditambah. Mungkin ada alasan lain yang penulis tidak tahu.
Peristiwa ini mengingatkan penulis kepada peristiwa lain, di tempat yang berbeda. Ada bagian uang penulis yang tidak penulis ambil. Penulis enggan menerima uang itu karena ketidakjelasan: dari siapa dan untuk apa. Sebenarnya ini adalah sikap dasar yang wajar. Ternyata tidak seperti itu sikap orang. Saya diberitahu bahwa “jatah” untuk penulis telah diambil seseorang, kata kasir yang biasa melayani di kantor itu. “Ooo nggih. Sampun. Ning ampun dicatet kulo sing mendet nggih”. Kasir itu menjawab “siap bapak.”
Perilaku pada cerita pertama penulis terjemahkan sebagai sikap sopan santun PNS kepada pimpinan. Tapi dia kurang memahami adanya larangan gratifikasi. Dalam hal yang kedua tidak penulis kategorikan sebagai sikap tidak sopan. Sebab sepenuhnya penulis memamklumi bahwa ada orang yang berpedoman apabila diberi uang maka ambillah. Dari manapun datangnya. Pandangan seperti ini agak umum, walaupun sebenarnya ya tetap tidak umum. Karena pandangan seperti inilah penulis pernah disebut sebagai politisi naif. “Lha gimana pak sampeyan, wong uang tinggal nrima kok tidak mau. Ini gerutu salah seorang rekan.
Sebenarnya penulis akui berperilaku seperti itu memang agak naif. Kata orang ya “tidak umum.” Ada cerita lain dalam hal berbeda. Seorang rekan datang ke rumah dengan wajah sumringah. Mungkin karena merasa akan memberikan kepada penulis uang Rp 1.000.000. Waktu itu penulis masih jadi pembantu Prof. Noeng Muhajir almarhum. Dengan sangat meyakinkan dia katakan, “Mas ini bukan karena mark up, atau komisi.
Tapi ini pemberian saya karena beberapa bulan ini saya banyak memperoleh keuntungan.” Singkat cerita apapun kata rekan tadi, memang kelihatan wajar, karena ada kerja sama dengan UAD di bidang media. Namun begitu teman itu pulang, muncullah diskusi internal dalam diri penulis. Kesimpulannya, uang itu besok pagi-pagi harus penulis serahkan kepada Prof. Noeng Muhajir almarhum. Pesan beliau, “Nanti kalau saudara memerlukan, silahkan pinjam kepada pak Tanto (Ahmad Sutanto almarhum). Waktu itu pak Tanto bendahara UAD.
Menjaga Mindset dan Mentalset
Cerita lain lagi yang agak seru. Ada seseorang beranggapan bahwa penulis berhasil menggoalkan masuknya dana APBN ke beberapa daerah dengan nominalnya yang lumayan besar. Mungkin sekali dia betul-betul merasa terbantu. Padahal penulis cuma dimintai tolong untuk memberitahukan dengan menelpon bahwa ada kepedulian pemerintah pusat untuk program ini dan itu. Faktanya berhasil. Sebab itu dia mau menyampaikan ucapan terima kasih. Tetapi penulis tidak merasa berhak untuk menerima itu. Maka ketika dia menghubungi, penulis lebih memilih “berbohong.” Penulis menjawab telpon orang itu dengan mengatakan, penulis sampaikan sedang ada acara di luar kantor.
Ini juga cerita yang lain lagi. Seseorang mau menemui di rumah. Nampaknya ingin mengucapkan terima kasih telah dipasangkan dalam suatu Pilkada dan menang. Feeling penulis ini ada sesuatu. Nada bicaranya gembira. Maka penulis sampaikan “saya sedang tidak di rumah. Mau rapat partai. Tidak tahu sampai jam berapa.” Itu jawaban penulis kepada penelepon karena seseorang yang diutus itu mendesak ingin bertemu.
Semua kisah diatas tidak penulis rasakan sebagai suatu konsep kehidupan. Itu hanyalah hal-hal biasa yang harus dicermati menurut ukuran kepatutan seorang muslim. Kalau soal penulis membutuhkan uang pasti membutuhkan. Tuntutan menjaga sopan santun harus dijaga dengan siapa pun penulis berinteraksi. Disinilah perlunya sikap menjaga mindset dan mentalset untuk memilih jalan yang baik. Shahabat Ali bin Abi Thalib mengibaratkan, kebutuhan terhadap kekayaan seperti ember bocor. Diisi berapapun banyaknya tidak akan pernah penuh.
Immawan Wahyudi, Dosen Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan (UAD)