Apakah Kader Ortom yang Hendak Berangkat Muktamar Termasuk Mustahik Zakat?

Apakah Kader Ortom yang Hendak Berangkat Muktamar Termasuk Mustahik Zakat?

ilustrasi foto: ppmuh

Oleh: Nur Fajri Romadhon (Majelis Tarjih dan Tajdid PDM Kota Depok)

[artikel ini merupakan opini pribadi penulis, tidak mewakili pandangan organisasi]

Berbeda dengan pendanaan untuk berangkat Muktamar Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah yang ditopang dana besar, pendanaan untuk keberangkatan para pengurus Organisasi Otonom (Ortom) yang boleh jadi baru merintis karir, masih mahasiswa, atau masih siswa sekolah, tentu tidak sekuat itu. Semangat untuk hadir dalam Muktamar/Musyawarah Wilayah yang diadakan di pulau lain atau kota lain sering terbentur biaya ongkos perjalanan atau akomodasi yang tak sedikit, setidaknya dari sudut pandan siswa, mahasiswa, dan para pemuda-pemudi yang baru merintis karir sembari menjadi orang tua muda.

Kondisi ini sebetulnya membuka kemungkinan mereka ‘dimangsa’ oleh pihak tertentu untuk kemudian dibantu tapi dari pihak yang bantuannya lebih tepat dimaknai ‘utang jasa’. Bantuan yang besar kemungkinan membuyarkan idealisme dalam bersikap sesuai prinsip Kemuhammadiyahan. Bantuan yang membuat lidah kelu dari berpendapat sesuai bimbingan Islam. Bantuan yang namanya saja “bantuan”, namun hakikatnya ialah “risywah (suap)”[1] yang sudah dijelaskan dampak buruk dan keharamannya dalam putusan[2] serta fatwa[3] Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah.

Jika memang suap berkedok ‘bantuan’ semacam tadi belum pernah terjadi di Muhammadiyah beserta seluruh Ortomnya -dan sudah seharusnya tidak pernah dan takkan terjadi-, maka salah satu langkah sederhana mencegahnya ialah dengan mengalokasikan sebagian dana zakat di Lazismu setiap kota/kabupaten untuk membiayai keberangkatan para kadernya ke Muktamar/Musywil. Hal ini merupakan salah satu pengamalan Qs. At-Taubah: 60 yang mengamanatkan alokasi zakat ke golongan fī sabīlillāh. Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah sendiri sudah merilis dua fatwa yang dapat dipahami darinya bahwa pemberangkatan kader ke Muktamar/Musywil termasuk dari pengalokasian zakat yang dibenarkan.

 

Fatwa pertama:

“Jihad fi sabilillah di masa kini mencakup juga mendirikan sekolah, Islamic Center, lembaga/organisasi dakwah dan sejenisnya. Di mana misinya adalah memperjuangkan kepentingan umat Islam dan demi tegaknya syarait Islam.

Berangkat dari ijtihad seperti itu, maka bila masjid/ sekolah itu memang memiliki peran tersendiri dalam perjuangan menegakkan Islam, maka bisa saja dikategorikan sebagai fi sabililah. Apalagi bila masjid itu dibangun di wilayah minoritas Islam, atau di wilayah yang penduduknya muslim namun kurang sekali pengamalan Islamnya, sehingga keberadaan masjid itu memang menjadi sebuah nilai perjuangan tersendiri karena bermisi menegakkan Islam. Maka mengalihkan penyaluran zakat untuk pembangunan seperti masjid/atau sekolah diperbolehkan.”[4]

 

Fatwa kedua:

”Jadi zakat hendaknya hanya disalurkan secara terbatas kepada mereka saja. Kalau bisa semua golongan penerima zakat itu menerima zakat secara merata. Namun jika harta zakat tidak bisa mencakup mereka semua maka dibenarkan untuk diberikan kepada sebagian dari mereka dan didahulukan yang paling membutuhkannya.

Adapun penerima atau sasaran infaq dan shadaqah itu tidak ada batasannya seperti zakat di atas. Dengan demikian, Persyarikatan Muhammadiyah boleh menyalurkan atau menggunakannya untuk semua hal-hal yang baik seperti untuk keperluan dakwah, pendidikan, kesehatan dan lainnya.

Sedang jawaban pertanyaan kedua adalah seperti berikut: Bagian zakat fi sabilillah pada asalnya menurut para ulama adalah untuk berjihad atau berperang di jalan Allah. Namun karena kata fi sabilillah itu umum dan mencakup semua hal yang ditujukan untuk Allah, maka semua kebaikan yang ditujukan untuk Allah seperti dakwah, pendidikan, kesehatan dan lainnya itu juga dicakupinya. Dengan demikian maka Persyarikatan Muhammadiyah yang merupakan gerakan dakwah amar makruf nahi munkar dengan segala amal usahanya itu berhak dan layak mendapat bagian zakat fi sabilillah tersebut. Jadi dapat disimpulkan di sini bahwa, Persyarikatan Muhammadiyah itu berhak menerima zakat.”[5]

Kedua fatwa ini sejatinya merupakan sebagian penjabaran lebih lugas terhadap putusan Majelis Tarjih dan Tajdid terkait makna fī sabīlillāh. Dalam masalah keempat di Kitab Masalah Lima disebutkan bahwa “Sabilillah ialah jalan yang menyampaikan kepada keridlaan Allah, berupa segala amalan yang diiizinkan Allah untuk memuliakan kalimat (agama)-Nya dan melaksanakan hukum-hukumNya.”[6]

Apa yang difatwakan dan diputuskan oleh Majelis Tarjih dan Tajdid tadi bukanlah perluasan makna fī sabīllāh yang ganjil sebab memang sejumlah ulama lintas sejarah sudah ada yang memaknai demikian. Sebut saja salah satu ulama terbesar Mazhab Ḥanafiyy, Al-Imām Al-Kāsāniyy (w. 587 H), menuliskan:

وَأَمَّا قَوْله تَعَالَى: ((‌وَفِي ‌سَبِيلِ ‌اللَّهِ)) عِبَارَةً عَنْ جَمِيعِ الْقُرَبِ فَيَدْخُلُ فِيهِ كُلُّ مَنْ سَعَى فِي طَاعَةِ اللَّهِ وَسَبِيلِ الْخَيْرَاتِ إذَا كَانَ مُحْتَاجًا.

“Adapun firman-Nya ta’ālā: ‘dan fī sabīlillāh’, maka ia mencakup seluruh bentuk kebaikan yang mendekatkan diri kepada Allah. Maka masuklah di dalamnya orang yang berusaha dalam ketaatan kepada Allah di beragam jalan kebaikan jika memang membutuhkan.” [7]

Sebelum masa Al-Imām Al-Kāsāniyy di abad ke-6 Hijriah, sebetulnya penafsir terkenal yang dimiliki umat Islam, Al-Imām Ar-Rāziyy (w. 606 H), telah kutipkan pendapat yang identik dari sejumlah pakar fikih di sekitar abad ke-4 H. Beliau nyatakan:

وَاعْلَمْ أَنَّ ظَاهِرَ اللَّفْظِ فِي قَوْلِهِ: ‌وَفِي ‌سَبِيلِ ‌اللَّهِ لَا يُوجِبُ الْقَصْرَ عَلَى كُلِّ الْغُزَاةِ، فَلِهَذَا الْمَعْنَى نَقَلَ ‌الْقَفَّالُ فِي «تَفْسِيرِهِ» عَنْ بَعْضِ الْفُقَهَاءِ أَنَّهُمْ أَجَازُوا صَرْفَ الصَّدَقَاتِ إِلَى جَمِيعِ وُجُوهِ الْخَيْرِ مِنْ تَكْفِينِ الْمَوْتَى وَبِنَاءِ الْحُصُونِ وَعِمَارَةِ الْمَسَاجِدِ، لِأَنَّ قَوْلَهُ: ‌وَفِي ‌سَبِيلِ ‌اللَّهِ عَامٌّ فِي الْكُلِّ.

“Ketahuilah bahwasanya lahiriah teks dari firman-Nya: ‘dan fī sabīlillāh’ tidaklah mengharuskan pembatasan jatah zakat ini untuk para tentara jihad militer. Karena pemaknaan seperti inilah Al-Qaffāl (w. 417 H) menukilkan dari sebagian pakar fikih bahwasanya mereka membolehkan alokasi zakat kepada seluruh bentuk amal kebajikan, semisal pengadaan kain kafan bagi jenazah, membangun benteng, dan membangun masjid. Itu karena firman-Nya ‘dan fī sabīlillāh’ maknanya umum, mencakup semua hal kebaikan.”[8]

Bahkan seorang ulama kalangan ṣaḥābah, ‘Abdullāh bin ‘Umar raḍiyallāhu ‘anhumā (w. 73 H), ketika ditanya apakah membantu orang berhaji pun “termasuk” fī sabīlillāh, beliau menjawab:

أَمَا إِنَّهُ مِنْ سُبُلِ اللَّهِ

“Ketahuilah bahwa sungguh ia termasuk fī sabīlillāh.”[9]

Kata “termasuk” dalam pernyataan Ibnu ‘Umar ini perlu digarisbawahi. Artinya, dapat dipahami bahwa menurut Ibnu ‘Umar makna fī sabīlillāh itu lebih luas. Pasukan militer dalam jihad dan haji hanyalah “termasuk” di dalam maknanya yang luas.

Akhir kata, mengalokasikan sebagian zakat untuk membiayai keberangkatan kader Ortom ke acara Muktamar/Musywil merupakan hal yang benar serta solutif sebagai langkah pencegahan dari ancaman serius risywah dalam bentuk yang sehalus apapun sebab apa yang sedang dilakukan para kader Ortom tersebut termasuk fī sabīlillāh. Bukankah sebagian penggalan mars salah satu Ortom kita ialah “Qur’an dan Sunnah dasar hidup kita, membangun dengan ilmu dan amal, dalam jihad fī sabīlillāh, teguhkan sikap hidup kita, amar ma’ruf nahi munkar.”?

——————-

[1] MTT PP Muhammadiyah, Fikih Antikorupsi Perspektif Ulama Muhammadiyah (Jakarta: Pusat Studi Agama & Peradaban, 2006), 60-62.

[2] MTT PP Muhammadiyah, Himpunan Putusan Tarjih III (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2018), 117.

[3] MTT PP Muhammadiyah, Tanya Jawab Agama I (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2017), 182-185.

[4] Fatwa MTT PP Muhammadiyah tanggal 15 Januari 2010.

[5] Fatwa MTT PP Muhammadiyah 25 Januari 2013.

[6] MTT PP Muhammadiyah, Himpunan Putusan Tarjih I (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2017), 279.

[7] Al-Kāsāniyy, Badāi’ aṣ-Ṣanāi’ II (Kairo: Syarikah Al-Maṭbū’āt Al-‘Ilmiyyah, 1328 H), 45.

[8] Ar-Rāziyy, At-Tafsīr Al-Kabīr XVI (Beirut: Dār Iḥyāit Turāṡ, 1420 H), 115.

[9] Abū ‘Ubaid, Al-Amwāl II (Riyadh: Dārul Faḍīlah, 1428 H), 292.

Exit mobile version