Belajar pada Kata dan Peristiwa (8)
Oleh: Mohammad Fakhrudin
Menasihati dengan hati
mencegah kemunkaran
dengan keramahan
bukan dengan kemarahan
Tiap rumah tangga pasti menghadapi masalah, yakni kesenjangan antara harapan atau cita-cita dengan kenyataan. Kadang-kadang kesenjangan itu sangat lebar dan tidak dapat “disempitkan”. Jika hal ini terjadi, timbul konflik.
Masalah harus diatasi atau diselesaikan, bukan dihindari. Makin sering menghadapi masalah, sebenarnya orang makin sering pula berpikir cerdas secara komprehensif. Dengan kata lain, hakikatnya dia belajar. Jadi, sebenarnya ada hikmah di balik masalah.
Di dalam kenyataan ada keluarga yang mampu mengatasinya, tetapi ada pula yang gagal. Kegagalan mengatasi masalah di rumah tangga sering berakibat fatal. Mungkin terjadi perceraian. Jika hal ini terjadi, timbul efek domino pada keluarga itu.
Sumber atau akar masalah bermacam-macam. Secara garis besar, ada dua, yakni (1) internal dan (2) eksternal. Kedua-duanya dapat dirinci lagi. Baik sumber internal maupun sumber eksternal dapat berupa insani dan dapat pula noninsani.
Sumber internal insani adalah anggota keluarga. Meskipun keluarga itu hanya terdiri atas suami dan istri, masalah atau konflik itu dapat saja terjadi. Konflik antara suami dan istri pun dapat terjadi. Inilah konflik antarindividu. Jika anggota keluarga itu banyak jumlahnya, konflik dapat terjadi antara individu dengan kelompok.
Sumber masalah di dalam keluarga dapat berupa tabiat anggota keluarga. Di antara mereka, ada yang mempunyai kebiasaan berlama-lama di kamar mandi sambil bernyanyi, bersenandung, atau bersiul-siul. Berlama-lama di kamar mandi dengan melakukan aktivitas seperti itu bagi orang tertentu mungkin merupakan “keasyikan”.
Dia tidak berpikir bahwa hal itu membuat orang lain kesal. Tambahan lagi, bernyanyi di kamar mandi dilarang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Boleh jadi, dia melakukannya karena tidak mengetahuinya atau mengabaikan larangan itu. Jika karena mengabaikan, tentu sangat disayangkan.
Ada pula anggota keluarga yang mempunyai kebiasaan di kamar mandi seperti mengeluarkan dahak atau ingus, padahal sebenarnya dia baik-baik saja. Lebih parah lagi, manakala hal itu dilakukannya tanpa memedulikan orang lain, padahal boleh jadi, ada orang lain sedang makan atau minum.
Di antara anggota keluarga mungkin ada yang mempunyai kebiasaan meletakkan barang di sebarang tempat. Misalnya, handuk sehabis digunakan diletakkan di tempat tidur atau di kursi. Pakaian kotor, apalagi pakaian dalam, diletakkan di kursi.
Mungkin juga ada anggota keluarga yang “jegang” (bahasa Jawa ‘duduk dengan salah satu kaki bertekuk dengan posisi lutut terarah ke atas’) ketika makan. Dari segi sopan santun, cara duduk yang demikian bagi orang berpendidikan umumnya dipandang tidak sopan meskipun di rumah sendiri. Dari sudut pandangan kesehatan pun, jika makan dengan posisi seperti itu, kiranya kurang baik.
Sumber masalah internal noninsani dapat berupa keterbatasan kemampuan ekonomi keluarga. Karena keterbatasan kemampuan ekonomi, sering terjadi perselisihan antara suami dan istri. Bahkan, tidak mustahil perselisihan itu melebar pada pertengkaran antara orang tua dan anak.
Sumber masalah eksternal insani dapat saja berasal dari tetangga, teman, dan/atau saudara yang mempunyai kebiasaan atau tabiat berbeda atau malah bertentangan. Di antara sumber masalah eksternal noninsani misalnya lingkungan yang “kurang bersahabat.”
Seperti telah dipaparkan pada Belajar pada Kata dan Peristiwa (7) bahwa pada dasarnya untuk menyelesaikan masalah, diperlukan kemampun berkomunikasi. Di dalam kisah nyata yang disajikan pada edisi 2023/02/09 itu, suami memahami maksud istri dengan tuturan Kok, semang kundur? (‘Kok, pulang?’).
Dia memilih tidak langsung menimpali tuturan itu karena memahami konteksnya. Konteks tuturan tersebut kiranya dapat dijelaskan sebagai berikut. Istri di rumah pada malam hari sendirian sehingga kesepian. Bahkan, boleh jadi, dia ketakutan. Apalagi, dia sedang hamil. Ia hanya kesal karena suaminya pulang sangat terlambat.
Di dalam kenyataan, sering terjadi ketika orang sedang kesal atau marah diberi penjelasan, dia enggan menerimanya, bahkan, makin kesal dan marah. Suami memilih solusi menudan menjelaskan alasan keterlambatan pulang. Solusi itu ternyata sangat tepat. Pertengkaran tidak terjadi sama sekali.
Pentingnya Kemampuan Berkomunikasi
Dari segi sarana pengungkap gagasan, ada dua cara berkomunikasi. Kedua cara itu adalah lisan dan tulis.
Dalam kehidupan sehari-hari, komunikasi lisan lebih sering digunakan. Komunikasi lisan di dalam keluarga biasanya berbentuk percakapan, baik secara bersemuka tanpa media gawai maupun bersemuka dengan media gawai. Pelakunya dapat suami dengan istri atau orang tua dengan anak.
Komunikasi tulis di keluarga pada era gawai sekarang ini berlangsung misalnya melalui sms atau WhatsApp. Komunikasi tulis dengan surat cetak sepertinya sangat jarang dilakukan. Namun, untuk kepentingan kedinisan dan pendokumentasian surat tetap sangat penting.
Sangat mungkin ada perbedaan kebiasaan dan kesukaan suami dan istri dalam hal berbibicara. Ada suami yang suka berbicara seperlunya. Jika menyampaikan pendapat, hanya gagasan utamanya dengan asumsi bahwa istrinya pasti dapat memahami secara utuh. Hal itu dilakukan oleh suami karena suami dan istri sama-sama orang berpendidikan tinggi.
Sebaliknya, istri selalu bersemangat ketika menyampaikan pendapat atau menyatakan perasaannya. Dia suka menyampaikannya secara detail.
Ketika berkomunikasi, hal itu tentu dapat menimbulkan masalah. Suami tidak suka mendengarkan penjelasan istri yang demikian. Dia ingin agar istri berbicara dengan mengemukakan gagasan utamanya saja.
Sementara itu, ketika suami berbicara, istri berharap agar memperoleh penjelasan secara rinci. Istri yang demikian biasanya banyak bertanya, bahkan, menyela-nyela ketika suaminya berbicara.
Tidak tertutup kemungkinan juga ada keadaan yang sebaliknya. Ada suami yang suka berbicara rinci, bahkan berpanjang-panjang, sehingga ada ungkapan Lelaki kok cerewet kaya perempuan.
Pemahaman tentang gaya berkomunikasi yang bervariasi itu sangat penting. Dengan memahaminya, konflik dapat dihindari. Sangat disayangkan jika suami atau istri saling mempermalukan di depan orang lain dalam hal perbedaan gaya komunikasi. Bahkan, sangat disayangkan jika ayah atau ibu secara “murahan” saling mengkritik gaya komunikasi di depan anak-anak.
Timbul masalah besar jika suami atau istri merasa direndahkan di depan orang lain, termasuk di depan anak-anak. Oleh karena itu, jika ingin saling memperbaiki atau mengubah gaya berkomunikasi atau hal lain yang menurut standar umum kurang baik, mereka harus cerdas berkomunikasi. Kata kuncinya adalah berpikirlah lebih dulu sebelum berbicara.
Hal yang perlu dipahami dengan baik adalah bahwa kecerdasan berkomunikasi tidak saja ditentukan oleh kecerdasan intelektual, tetapi juga kecerdasan sosial, kecerdaan emosi, dan kecerdasan spiritual. Bagi orang beriman, kercerdasan spiritual itulah yang menjadi sandaran utama dalam berkomunikasi. Mereka yakin bahwa nilai-nilai sipiritual lebih menjamin kesuksesan secara maksimal.
Banyak orang yang cerdas otaknya, tetapi gagal melakukan komunikasi karena tidak mempunyai kecerdasan spiritual. Hal ini sangat buruk bagi pejabat publik.
Pertengkaran pun Berhenti
Pukul 23.30. Terdengar seperti suara piring jatuh ke lantai. Sebentar kemudian terdengar juga seperti bala pecah jatuh ke lantai. Terdengar juga suara orang bertengkar.
Seisi rumah kami terkejut dan terbangun dari tidur yang baru saja berlangsung satu jam. ART yang tidur di lantai dua turun, sedangkan kami yang tidur di lantai bawah akan menuju ke lantai dua untuk mengetahui asal suara itu. Namun, kami akhirnya kami tahu. Suara itu berasal dari rumah tetangga sebelah.
Saya ingin memastikan apakah pertengkaran itu terjadi pada adegan sinetron di televisi atau bukan, maka gorden saya buka sedikit. Ternyata suami istri yang tinggal di sebelah kami sedang bertengkar.
Saya teringat dan ingin mengamalkan firman Allah Subhanahu wa Ta’aala dalam al-Quran surat al-Hujurat (49): 10,
اِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ اِخْوَةٌ فَاَصْلِحُوْا بَيْنَ اَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللّٰهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ
“Sesungguhnya, orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.”
Saya teringat dan ingin mengamalkan juga pada firman Allah Subhanahu wa Ta’aala pada surat an-Nahl (16): 125).
اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۗ
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.”
Timbul niat untuk menasihati mereka dengan hadir di rumah kontrakannya. Namun, ada kekhawatiran terjadi salah paham. Oleh karena itu, niat itu saya urungkan meskipun sudah berjalan sampai pintu rumah kontrakan kami. Kami memang sama-sama “kontraktor” alias pengontrak dari pemilik yang sama. Rumah kontrakan kami hanya dipisahkan oleh gang yang lebarnya sekitar dua meter.
Dalam keadaan seperti itu, saya teringat firman Allah Subhanahu wa Ta’aala di dalam al-Qur’an surat al–A’raf (7): 204,
وَاِذَا قُرِئَ الْقُرْاٰنُ فَاسْتَمِعُوْا لَهٗ وَاَنْصِتُوْا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ
“Dan apabila dibacakan al-Qur’an, dengarkanlah (baik-baik) dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.”
Akhirnya, saya memilih alternatif yang saya yakini paling tepat, yakni merujuk ke surat al–A’raf (7): 204 . Saya mengambil al-Qur’an dan mengaji dengan suara yang cukup keras agar tetangga yang bertengkar dapat mendengarnya. Alternatif ini saya pilih karena tahu persis bahwa tetangga yang bertengkar adalah muslim yang tahu bahwa jika mendengar pembacaan ayat al-Qur’an harus menyimak dan tenang.
Tiga ayat sudah saya bacakan. Mereka belum juga berhenti. Oleh karena itu, saya berpindah tempat. Saya beralih ke ruang tamu. Lampu ruang tamu saya nyalakan.
“Masak orang mengaji kalah dengan orang bertengkar. Ayo siapa yang bertahan.” Saya bicara pelan. Istri saya mendengarnya.
“Ah, Bapak!” Istri saya merespons sambil tersenyum
Saya mengaji lagi. Volume suara saya keraskan sedikit agar mereka tahu bahwa saya mendadak mengaji pada waktu yang tidak lazim. Saya membacanya dengan tartil.
Alhamdulillah! Baru dua ayat saya bacakan pertengkaran itu berakhir. Saya dan istri saya tersenyum lega.
Tiga hari setelah “adegan” tersebut berlangsung, istri tetangga silaturahim di rumah saya. Saya tiba di rumah dari kampus setelah dia sempat ngobrol dengan istri saya.
“Assalamu ‘alaikum.”
“Wa ‘alaikumussalam” Istri saya dan istri tetangga saya menjawab kompak.
Hati saya curiga. Jangan-jangan telah terjadi kekerasan. Mata saya menyelidik. Benar! Pipi istri tetangga saya agak biru lembam. Namun, saya memilih bersikap pura-pura tidak tahu. Boleh jadi, warna make up-nya memang begitu.
“Ah, saya jadi malu, Pak Dhe.” Begitu dia menyapa saya. “Orang bertengkar sampai dingajikan.”
“Ah, tidak apa-apa. Dinamika keluarga kadang-kadang memang begitu.” Saya memilih minta izin untuk ganti pakaian. Tidak lama kemudian, dia pun pamit.
Alhamdulillahi rabbil ‘aalamiin
Mohammad Fakhrudin, warga Muhammadiyah tinggal di Magelang Kota