Belajar ‘Move-On’ dari Kisah Rasulullah Muhammad Saw
Oleh: Agusliadi Massere
Michael H. Hart (1992; 2012) memilih dan menetapkan Rasulullah Muhammad Saw sebagai tokoh teratas dalam daftar paling berpengaruhi di dunia. Menurut Hart, meskipun mengejutkan sejumlah pembaca dan dipertanyakan oleh orang lain, dirinya memilih dan menetapkan Muhammad Saw berdasarkan argumentasi, berbagai variabel dan data yang lengkap. Hal ini kita bisa baca dari buku karya Hart 100 Tokoh Paling Berpengaruhi di Dunia.
Mengikuti cara pandang Diana Whitney & Amanda Trosten-Bloom dalam bukunya The Power of Appreciative Inquiry, salah satunya, “menemukan inspirasi dari orang-biasa sekalipun”, dan relevan dengan substansi karya Yudi Latif Mata Air Keteladanan—meskipun yang dimaksud Yudi bukan orang biasa—maka belajar dari Muhammad Saw, melampaui-jauh dari sekadar terma “layak”. Muhammad Saw harus menjadi suluh peradaban.
Tanggal 18 Februari tahun 2023 hari ini, diperingati sebagai Hari Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad Saw. Ada banyak peringatan di seantero dunia dan persada bumi Indonesia untuk memperingati Isra’ Mi’raj tersebut.
Dari peristiwa spektakuler yang melampaui nalar kemanusiaan dan rasionalitas peradaban tersebut, saya menemukan dan terinspirasi adanya satu ajaran dan nilai yaitu terkait “Move-on”. Saya pun terinspirasi dari Imam Shamsi Ali (yang dikenal sebagai Imam Masjid Besar dan Pendiri Pesantren Pertama di Amerika Serikat) terkait tulisannya—Isra’ Mi’raj adalah Fondasi Kebangkitan—tadi malam yang salah satu substansinya bahwa dirinya tidak bermaksud membicarakan lagi tentang who, what, how. Menurutnya membicarakan hal itu, selain bukan esensi utama dari sejarah, juga telah dibicarakan oleh banyak kalangan.
Imam Shamsi Ali yang hampir setiap hari mengirimkan tulisannya melalui chat pribadi via WhatsApp ke saya, maka sesuatu yang sangat layak dan bersifat algoritmik ketika diri ini terinspirasi. Saya pun melalui peringatan Isra’ Mi’raj tidak ingin fokus pada who, what, how, dan when, tetapi saya ingin mendapatkan satu pembelajaran dan nilai yaitu move-on.
Secara sederhana sebagaimana yang saya temukan dari buku karya Jamil Azzaini ON, pengertian move-on itu adalah bergerak. Sebelum membaca karya Jamil tersebut, telah lama saya memiliki cara pandang bahwa hakikat hidup di tengah hukum kosmik adalah bergerak. Bergerak menciptakan stabilitas, dan sebaliknya menimbulkan instabilitas.
Jamil dalam bukunya tersebut, memberikan analogi seperti naik sepeda, karena bergerak maka tetap stabil. Bumi yang kita diami itu tetap stabil karena masih terus bergerak. Andaikan tidak bergerak lagi atau diam, maka bisa dipastikan terjadi kekacauan di alam semesta. Meskipun, yang harus pula ditegaskan bahwa bergerak itu harus tetap di atas rel atau garis orbit yang telah ditetapkan pula. Gerak di luar dari itu, tetap menimbulkan kehancuran.
Dari banyak kisah kehidupan Muhammad Saw, di dalamnya ada ajaran dan nilai terkait relevansi, urgensi, signifikansi, dan implikasi besar dari suatu yang disebut “move-on” (bergerak). Dari peristiwa Isra’ Mi’raj pun, saya menemukan dibalik itu terkandung ajaran dan nilai move-on. Meskipun peristiwa ini, bukan satu-satunya yang mengandung nilai move-on. Sebelum Muhammad Saw dinobatkan sebagai nabi dan rasul, kebiasaannya untuk menyendiri, merenung di Gua Hira itu mengandung spirit move-on, begitupun ketika melakukan hijrah ke Madinah.
Pada dasarnya ada dua hal yang biasanya membuat manusia tidak bisa “move-on”: berada dalam zona nyaman; dan berada dalam kegelapan, himpitan hidup, dan kesengsaraan. Yang terakhir ini, sering terjadi karena terkadang menjatuhkan pilihannya kepada keputusasaan.
Dalam zona nyaman pun, idealnya kita tidak boleh diam, kita harus bergerak (move-on). Apalagi kita telah memahami bersama bahwa kehidupan ini tidak ada yang abadi, semua terus bergerak dan mengalami perubahan. Sehingga satu-satunya yang dipandang “abadi” di dunia ini adalah perubaha itu sendiri.
Jika meminjam cara pandang Rhenald Kasali dalam buku Change (2005) dan selanjutnya diinterpretasi ualng, orang yang berada dalam zona nyaman seperti seseorang yang berada dalam ruangan dengan cahaya yang terang benderang. Semua yang ada di luar ruangan tempatnya berada sangat gelap. Dirinya tidak akan pernah mampu melihat penderitaan dan/atau peluang yang lebih baik, sehingga dirinya tidak memiliki visi yang lebih besar dan/atau empati serta kesadaran kritis.
Orang yang berada dalam zona nyaman, dirinya dibutakan oleh cahaya yang terang benderang. Belajar dari kisah Muhammad Saw, sebelum masa kenabiannya, jika kita membaca sejarah dirinya bisa dipandang sudah berada dalam zona nyaman. Muhammad Saw punya seorang istri yang kaya raya. Dirinya adalah salah satu keturunan suku yang sangat disegani: suku Quraisy.
Muhammad Saw sering menyendiri di Gua Hira, meskipun dirinya bisa dipandang sudah berada dalam zona nyaman. Hal itu dilakukannya, bukan karena hal itu adalah kebiasaan suku Quraisy, melampaui dari itu Muhammad Saw memiliki visi—mengutip pandangan Eko Prasetyo, penulis buku Kitab Pembebasan: Tafsir Progresif atas Kisah-Kisah dalam Qur’an—“menciptakan tatanan sosial yang adil”.
Dari kebiasaan menyendiri meninggalkan zona nyaman yang dilakukan Muhammad Saw dalam rangka mendapatkan nubuat, saya memandang perspektif Jamil Azzaini mendapatkan preseden historis dan profetik, bahwa “dibalik move-on, salah satunya harus ada visi-on”. Dan ini pun, saya bisa menarik garis relasinya ke pandangan Bobbi Deporter & Mike Hernacki, pentingnya “AMBak (Apa Manfaatnya Bagiku), jika ingin bergerak atau melakukan sesuatu”.
Lalu, bagaimana dengan peristiwa Isra’ Mi’raj Muhammad Saw? Bagi saya, di dalamnya pun mengandung spirit dan nilai move-on, meskipun konteksnya bukan dalam kategorisasi zona nyaman, tetapi pada saat itu Rasulullah mengalami kesedihan yang amat dalam. Sebagaimana yang saya baca dari tulisan Imam Shamsi Ali tadi malam, masa-masa tersebut yang dialami Muhammad Saw disebut “aamul huzni” (tahun kesedihan).
Ada sejumlah ajaran agama Islam, termasuk dalam al-Qur’an yang salah satu substansinya, Allah melarang kita untuk berputus asa seberat apapun musibah yang menimpa kita. Idealnya dan ruang terbaik ketika mendapatkan masalah adalah melakukan move-on (bergerak) baik gerak horizontal maupun gerak vertikal sebagaimana nilai yang bisa ditemukan dalam peristiwa Isra’ Mi’raj.
Kita semua, termasuk para sahabat pembaca tulisan ini bukan nabi apalagi rasul, maka jangan menunggu untuk mengalami peristiwa serupa yang dialami oleh Muhammad Saw ketika sedang berada pada masa-masa kesedihan. Namun, spirit dan nilai peristiwa itu bisa “dibumikan”—meminjam istilah Quraish Shihab, ‘Membumikan Al-Qur’an’—agar ajaran dan nilannya memberikan mekanisme fungsional dalam kehidupan.
Lalu, bagaimana caranya? Kita membangun relasi kemanusiaan sebagai gerak horizontal dan relasi ketuhanan dengan gerak vertikal menyentuh langit teologis untuk sampai pada dimensi transendental.
Move-on dengan relasi kemanusiaan, bisa secara sederhana melakukan curhat kepada orang yang dinilai mampu membantu. Jikapun tidak mampu membantu minimal bisa menunjukkan solusi melalui perantara orang lain. Selain itu, dan dalam pandangan saya ini yang paling utama adalah memaksimalkan do’a kepada Allah sebagai Yang Maha Kuasa lagi Maha Pengasih.
Untuk menemukan penguatan, kita pun bisa menarik garis relasi ke ajaran agama Islam yang lain. Seperti kedahsyatan shalat tahajud, tanpa kecuali sebagai wadah curhat kepada Allah atas segala himpitan hidup. Kedahsyatan shalat tahajud, yang perintahnya pada malam hari dan lebih afdalnya sepertiga malam, bukan tanpa alasan ilmiah.
Meskpun saya tidak dan/atau belum menemukan dalam al-Qur’an, argumentasi ilmiah atas “kedahsyatan shalat tahajud” relasinya “waktunya diperintahkan pada malam hari”, tetapi jika kita memahami ilmu “Gelombang Otak”, sungguh kita akan sampai pada kekaguman amat dalam bahwa betapa semuanya berada dalam Kuasa Allah, dalam prinsip keesaan.
Malam dalam kajian “Gelombang Otak” bisa dipahami sebagai waktu terbaik untuk teraktivasinya gelombang otak yang dahsyat. Ternyata Isra’-pun, sebagaimana tulisan Imam Shamsi Ali artinya “perjalanan di malam hari”.
Selain itu sebagai penguat atas spirit move-on dari peristiwa Isra’ Mi’raj dan relasinya dengan konteks yang melatari kehidupan Muhammad Saw pada saat itu yang disebut “aamul huzni” (tahun kesedihan), Muhammad Saw pun menerima perintah shalat.
Dan kita ketahui bersama bahwa dalam ajaran agama Islam atau dalam al-Qur’an, Allah secara tegas menggambarkan dan mengajak kita untuk “Salat” dan “Sabar” sebagai penolong. “Jadikanlah sabar dan salat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu” QS. Al-Baqarah [2]: 45.
Ketika Jamil Azzaini menegaskan dalam buku karynya On, bahwa untuk bisa atau memaksimalkan move-on, harus ada visi-on, acti-on, passi-on, collaborati-on, dan akhirnya sampai pada conclusi-on, maka pada diri Muhammad Saw atau dalam kisah hidupnya, semua itu ada. Hal inilah, saya memandang bahwa karya Jamil Azzaini terkait buku On, bisa mendapatkan preseden historis dan profetik dari Muhammad Saw.
Visi-on dari move-on Muhammad Saw, bisa dilihat dari kebiasaannya menyendiri di Gua Hira, termasuk pula proses hijrah yang dilakukan ke Madinah. Acti-on Muhammad sudah sangat jelas, bahwa dalam karakternya itu adalah al-Qur’an. al-Qur’an bukan hanya tertulis sebagai kitab, tetapi pada diri Muhammad Saw juga tercermina secara nyata melalui akhlaknya.
Passi-on dari move-on Muhammad Saw, sangat nyata. Semua dilakukan penuh semangat dan cintanya yang tak terbatas. Collaborati-on dari move-on Muhammad Saw, kita pun bisa menemukannya, khususnya pada saat hijrah, itu dilakukan bukan seorang diri dan orientasinya pun bukan untuk kepentingan diri semata.
Spirit dan nilai move-on Muhammad Saw, telah melahirkan banyak perubahan sehingga peradaban hari ini bercahaya, tanpa kecuali Barat dan Eropa pada saat itu mendapatkan cahaya dari hasil spirit move-on yang dilakukan Rasulullah Muhammad Saw.
Agusliadi, Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng. Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023