Matinya Identitas Politik
Oleh : Immawan Wahyudi
JUDUL tulisan sederhana ini penulis kutip dari sub-topik buku Trans Politika – Dinamika Politik di dalam Era Virtual. Buku karya Yasraf A. Piliang ini diuraikan dengan dialketika yang ketat. Matinya identitas politik merupakan bagian awal dari prolog untuk memberikan gambaran apa yang sebenarnya dimaksud dengan budaya politik dalam era virtual. Disamping itu, secara pragmatis penulis juga menggunakan istilah ini untuk memberikan perimbangan narasi sumbang terhadap istilah politik identitas. Matinya identitas politik juga penulis pilih karena sarat dengan dialketika politik yang semakin terbelenggu oleh politik citra –masyarakat awam lazim menyingkatnya dengan istilah: pencitraan.
Autentisitas dan Popularitas
Pada awal era Reformasi –masyarakat mengalami euphoria luar biasa –dalam penggunaan istilah reformasi. Namun sejak itu mulai terkuak adanya aktor-aktor politik yang status komitmennya un-autentic (tidak otentik). Bahkan tokoh-tokoh yang tidak otentik ini semakin lama semakin kuat menguasai media. Lama kelamaan media sendiri tidak lagi kritis terhadap substansi yang dikomunkasikan oleh tokoh tidak otentik. Akhirnya ruang publik dikuasai nyaris sepenuhnya oleh aktor-aktor politik yang fasih menggunakan taktik pencitraan dan ”bermewah-mewahan” dalam instrumen komunikasi visual bernama baliho dan sejenisnya.
Semakin mahal dan tingginya biaya pencitraan maka nyaris tidak ada lagi ruang bagi aktor-aktor politik sejati –yang minim anggaran– untuk bisa ”berdebat” di ruang publik dengan baliho-baliho mewah. Sempurnalah sudah ruang publik dipenuhi oleh sampah visual –istilah Saudara Sumbo Tinarbuko. Akhir episode ini pencitraan memenangkan pertempuran secara telak. Buktinya, masyarakat tidak lagi merasa perlu untuk mengkritisi apa pencitraan ini akan sampai pada tujuan sebagaimana kata-kata bijak aktor politik dalam baliho-baliho. Autentisitas sepertinya diabaikan karena dipenuhi dengan spirit popularitas. Sukseslah taktik pencitraan.
Apa itu Politik Identitas?
Sementara itu kita justru diributkan bukan oleh matinya identias politik tapi oleh politik identitas. Namun keributan itu acapkali karena adanya contradicito interminis –kontradiksi dalam penggunaan istilah. Penulis pernah searching untuk mencari tahu apakah orang mancanegara juga menggunakan istilah politik identitas sebagaimana masyarakat Indonesia menggunakannya? Mari kita lihat perbedaan penggunaan istilah itu dalam beberapa media berikut ini.
Sebagian dari pengertian politik identitas yang lazim digunakan di dunia internasional menyebutkan bahwa, politik identitas bertujuan untuk mengamankan kebebasan politik dari kelompok konstituen tertentu. Anggota dari konstituen tersebut menegaskan untuk memperoleh kembali cara-cara memahami kekhasan mereka yang menantang karakterisasi dominan dengan tujuan penentuan nasib sendiri yang lebih besar.
Abdillah dalam DetikEdu (29-12-2022) mendefinisikan politik identitas sebagai politik yang dasar utama kajiannya atas dasar persamaan-persamaan tertentu, mulai dari etnis, agama, hingga jenis kelamin. Bisa disimpulkan bahwa politik identitas justru suatu proses politik yang dilakukan untuk merangkul dalam kesamaan-kesamaan tertentu. Misalnya perjuangan kaum Feminsme di Eropa dan gerakan kaum proletar di Amerika Latin, gerakan apartheid di Afrika, pergolakan zionisme vis a vis pengakuan bangsa Palestina (Wikipedia, dikutip 23-02-2023)
Sedangkan di Indonesia istilah politik identitas terbalik dari apa yang difahami dan terjadi di dunia internasional. Salah satu contoh adalah apa yang dikemukakan Prof. Abd. Rasyid Masri. Penulis kutip sebagai berikut; ”Politik identitas dalam pandangan penulis sebagai profesor yang menekuni ilmu sosiologi dan komunkasi melihat bahwa politik identitas dalam perspektif sosiologi akan terus hadir dalam narasi politik Indonesia menuju pemilihan presiden 2024.
Kenapa? Karena kondisi mental dan karakter mayarakat Indonesia belum terlepas dari sentimen primoridalitas dan sektarianisme yang masih kuat mengakar dalam budaya masyarakat Indonesia sekalipun sudah hidup di era demokratisasi dan era digitalisasi modern. Istilah politik identitas sudah lama dikonstruksi sebagai narasi politik oleh kelompok elit politik tertentu di Indonesia sebagai wacana instrumen untuk menggambarkan rasa kebencian dan ketakutan kalah pada pihak lawan politiknya agar bisa menurunkan citra dan menyudutkan pigur tertentu yang biasanya dinilai kuat dan berpotensi menang, bisa mengalahkan lawan lainnya sehingga perlu disudutkan dengan narasi tidak nasionalis dan intoleran.” Sengaja penulis kutip lengkap dari unggahan beliau pada 08 November 2022 pada media Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar.
Sementara itu Profesor Askar Salim berpendapat sebaliknya. Bahkan beliau memberikan judul ”Kesalahpahaman tentang Politik Identitas” dalam unggahannya Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta di koran Sindo pada 11 November 2022, penulis kutip pada sub judul kalrifikasi konseptual, Prof. Askar salim menulis sebagai barikut; ”Dari sejumlah tulisan opini terkait politik identitas di Indonesia, terdapat sejumlah kesalahpahamn konseptual antara lain: (1) Politik identitas bisa dimainkan oleh kelompok mayoritas, (2) Politik kebangsaan juga mengusung politik identitas, dan (3) Politik praktis sebenarnya juga merupakan politik identitas.
Penjelasan untuk point (1) Prof Askar menyatakan bahwa politik identita tidak lazim dimainkan oleh kelompok mayoritas. Point (2) politik identitas berbeda dengan politik kebangsaan yang berorintasi pada upaya agar kelompok mayorita maupun minoritas bisa berikap inklusif. Sedang politik identitas salah satu kelompok bersikap dan menuntut hak eksklusif. Point (3) politik praktis belum tentu membawa politik identitas. Secara fitrah pelaku politik praktis adalah anggota masyarakat dengan kesamaan identitas tertentu. Namun demikian akhir tulisan Prof. Askar juga mengingatkan bahwa politik identitas yang cenderung menuntut hak ekslusif (karena merasa diberlakukan tidak adil, pen.) berpotensi sebagai ancaman bagi persatuan dan kesatuan.
Politik Tanpa Identitas
Di luar perdebatan pro kontra politik identitas yang acapkali tidak kalah tendensiusnya dengan istilah politik identitas itu sendiri, kita masih punya ”pe-er” sebagaimana ditulis Yasraf Piliang pada tahun 2005. Pada intinya aktor politik yang sejati akan membingkai diri dalam identitas politik sebagai haluan perjuangan yang otentik dan tidak tenggelam dalam kubangan pencitraan politik. Bahkan dalam hazanah politik Islam dikenal adagium ”as-siyaasah al-hud’ah” politik nyaris identik dengan tipu daya. Menurut hemat penulis daripada berdebat pada dialektika dan retorika politik identitas perlu kita sadari bahwa yang berbahaya adalah politik tanpa identitas –sepenuhnya mengandalkan pencitraan.
Immawan Wahyudi, Dosen Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan (UAD)