Membaca Makna Meraih Energi Kehidupan
Oleh: Agusliadi Massere
Kehidupan yang semakin modern, tidak serta merta memberikan kebahagiaan, kenikmatan, dan kesejahtreraan, atau hal-hal positif semata. Banyak anomali dan hal paradoks di dalamnya. Sebagaimana yang saya baca dalam buku Ibrah Kehidupan: Sosiologi Makna untuk Pencerahan Diri (2013), Dr. Haedar Nashir (Pada saat bukunya tersebut ditulis Haedar belum meraih gelar akademik tertingginya, Profesor) mengutip pandangan dan lukisan menarik dari Alvin Toffler, seorang futurolog terkait orang-orang modern.
Toffler (dalam Haedar, 2013) melukiskan “Hidup mereka seperti mengejar permainan roda putar. Setiap orang ingin menaiki alat canggih yang mampu berputar cepat dan menyenangkan siapapun yang menikmatinya. Semua berebut ingin menaikinya. Seperti anak-anak yang berebut mainan, semua tak mau saling mengalah dan ingin paling duluan. Lama kelamaan orang-orang itu lelah dan minta turun di tengah jalan”.
Menurut Haedar, seperti itulah (sebagian) lukisan Toffler sebagai metafora tentang pencarian orang-orang modern yang mengalami disorientasi nilai. Saya pun yakin bahwa para sahabat pembaca telah menemukan banyak fenoma kehidupan yang kurang lebih sama dengan yang digambarkan oleh Toffler tersebut.
Ada hal menarik untuk diperhatikan meskipun pada sisi lain sangat memprihatinkan. Ketika kita membaca buku Spirituality of Happiness: Spiritualitas Baru Abad 21 Narasi Ilmu Pengetahuan, Denny JA mengungkapkan berdasarkan data dari WHO bahwa, “Jumlah yang meninggal karena bunuh diri kini lebih banyak dibandingkan jumlah yang meninggal karena konflik, perang dan bencana alam digabungkan menjadi satu”. Setiap tahun sekitar 800 ribu hingga 1 juta manusia seluruh dunia mati bunuh diri.
Denny JA pun menegaskan “Ini ironi peradaban post-materialism. Ketika kemakmuran materi melimpah semakin banyak yang bunuh diri. Apapun penyebabnya, pastilah yang bunuh diri merasa hidup yang tak lagi berharga untuk dijalani. Pastilah ia lama tenggelam dalam rasa putus asa dan depresi”. Apa yang digambarkan oleh Denny JA, tentunya adalah gambaran kondisi kehidupan di dunia secara umum. Lalu, bagaimana dengan kondisi kehidupan sekitar kita?
Saya yakin, yang sederhana saja, kita akan menemukan dalam kehidupan ini betapa banyak orang yang dihantui rasa bosan, cepat merasa bosan. Ada yang bosan bekerja akhirnya berhenti. Sindrom kebosanan banyak merasuki orang-orang modern dalam berbagai determinan hidupnya. Bahkan tidak sedikit orang yang bosan hidup dengan istri/suaminya, akhirnya selingkuh.
Ada yang merasa hidupnya tidak berharga, kurang dihargai karena profesi atau pekerjaannya hanya biasa-biasa saja—pekerja serabutan, dan lain-lain penamaan yang pengistilahannya dilekatkan oleh mereka sendiri. Saya teringat—dan meskipun lupa buku apa tepatnya, buku Emotional Spiritual Quotient atau buku ESQ Power, dan pada halaman berapa—Ary Ginanjar Agustian mengisahkan pertemuan dan percakapannya dengan seroang tukang pipa atau ledeng.
Percakapannya kurang lebih, bahwa tukang pipa atau tukang ledeng itu, selalu dihantui rasa putus asa, hampir tidak ada lagi gairah hidupnya dalam bekerja. Dirinya (baca: tukang pipa) merasa hidup sama sekali tidak berharga baik bagi dirinya sendiri, orang lain, termasuk untuk keluarganya.
Ada juga fenomena kehidupan lain, di mana orang-orang—termasuk di antaranya ada yang berprofesi sebagai guru—dihantui rasa cemas dan kekhawatiran yang amat dalam, karena perkembangan teknologi khususnya Aritificial Intellegence (AI) diprediksi akan mengambil alih peran manusia, dalam berbagai dimensi kehidupan pada masa yang akan datang. Mereka khawatir akan kehilangan pekerjaan, apalagi—sebagai contoh sederhana—telah nyata dalam kehidupan seperti petugas-petugas retribusi tol, kini manusia telah digantikan oleh mesin cerdas.
Manusia mengalami banyak musibah, bencana, kesengsaraan, anomali, paradoks kehidupan, dan tidak sedikit menempuh solusi jalan pintas dengan mengakhiri hidupnya, atau minimal terkurung dalam penjara keputusasaan. Tersungkur, pasif, dan berdiam diri dalam penjara psikologis ini, membuat hidup semakin jauh dari raihan energi kehidupan.
Lalu, apa yang harus dilakukan agar kita bisa meraih kembali energi kehidupan tersebut? Untuk hal ini kita bisa membaca buku karya masing-masing dari Prof. Haedar Nashir, Dr. ‘Aidh al-Qarni, Viktor E. Frankl, Ary Ginanjar, Yuval Noah Harari, dan termasuk buku karya Denny JA. Tentunya, masih banyak buku lainnya, hanya saja yang disebutkan penulisnya ini adalah buku-buku yang saya baca untuk menemukan referensi dalam rangka menyelesaikan tulisan berdasarkan judul di atas.
Saya sepakat dengan seorang senior, Koordinator Wilayah Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) Sulawesi Selatan, Asratillah, bahwa berbeda dengan binatang, manusia bukan hanya hidup dalam konteks vegetatif (nutritive, reproduksi, dan tumbuh) maupun dalam konteks animalia (instingtif, sensasional, dan mobile), tetapi hidupnya pun harus dalam pencarian makna hidup (the meaning of life).
Dalam pencarian makna hidup tersebut tentunya dibutuhkan kemampuan untuk membaca makna di balik setiap dinamika kehidupan yang terjadi. Saya memandang, di sinilah kita pun kembali menemukan ruang relevansi dari perintah iqra (membaca). Tentunya, membaca bukan hanya membaca dalam bentuk tekstual termasuk pula konteks dari setiap yang melatari dinamika kehidupan.
Dari apa yang dibaca, pada hakikatnya termasuk dalam ilmu semiotika—yang saya pahami, meskipun masih sangat minim—adalah menemukan “maknya”-nya. Signifikansi dan implikasi besar dari kemampuan menemukan makna atas setiap dinamika kehidupan yang dijalani, kita bisa banyak belajar dari Frankl.
Membaca buku Man’s Search for Meaning karya Viktor E. Frankl kita akan menemukan satu kondisi kehidupan yang mungkin, dan saya yakin para sahabat pembaca belum pernah mengalami keganasan hidup seperti yang di alami Frankl, lima puluh tahun terakhir dalam kehidupan ini. Frankl pernah berada di empat kamp kematian Nazi yang berbeda, termasuk Auschwitz, antara tahun 1942 dan 1945.
Frankl mampu bertahan hidup, sementara orang tuanya, saudara laki-laki, dan istrinya yang tengah hamil akhirnya tewas dalam kamp tersebut. Ternyata kunci utama yang membuat Frankl mampu bertahan hidup adalah kemampuan dirinya menemukan makna, dan diorientasikan untuk masa depan.
Sebagaimana teori Frankl yang disebutnya “Logoterapi” pada dasarnya bisa dipahami bahwa untuk bisa bertahan hidup termasuk dalam menghadapi ganasnya kehidupan, dibutuhkan kemampuan mencari makna, dan diorientasikan untuk masa depan. Atas dasar ini sehingga penerapan logoterapi Frankl, yang sama sekali berbeda dengan psikoanalisis, metodenya tidak terlalu restrospektif maupun introspektif.
Senada dengan hal tersebut di atas, Haedar menegaskan bahwa sesungguhnya Islam telah menawarkan oase bagi kegalauan nilai manusia modern. Haedar dalam bukunya Ibrah Kehidupan tersebut pada subjudul “Kehilangan Makna” mengutip banyak ayat: QS. Al-Qashash: 77, QS. Ad-Dhuha: 4, QS. Ali-Imran: 159, QS. Al-Furqan: 58, QS. Az-Zumar: 53-58, dan beberapa ayat lainnya.
Haedar pun menegaskan urgensi penemuan makna dari firman Allah dalam Surat Al-Hajj ayat 46, bahwa “…sesungguhnya bukanlah mata manusia itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang terhunjam di dalam dada”. Lalu, manusia menjadi kehilangan makna dan arah jalan dalam hidupnya.
Kembali pada kisah Ary Ginanjar di atas bersama dengan tukang pipa tersebut. Ary Ginanjar mengarahkan untuk membaca dan menemukan makna dibalik pekerjaan si tukang pipa yang seakan tidak pernah dihargai.
Penjelasan Ary Ginanjar sebagai bentuk penemuan maknanya, kurang lebih seperti ini “betapa banyak orang bisa berwudhu dengan baik dan mudah untuk melaksanakan shalat, itu karena adanya Bapak yang telah bekerja sebagai tukang pipa/ledeng”. Setelah ini tukang pipa itu, merenung, menangis, dan akhirnya hari-hari berikutnya semakin bergairah bekerja karena telah menemukan makna luar biasa di balik pekerjaannya.
“Banyak yang bisa mandi, dan menikmati air bersih tanpa repot lagi menimba dan/atau mengangkat air dari tempat yang jauh, itu karena adanya seorang tukang pipa”. Ini salah satu makna tambahan.
Sama halnya mengapa saya sampai detik ini masih terus bertahan dan berupaya untuk melahirkan tulisan-tulisan, meskpun mungkin masih sederhana dan tentunya bukan pekerjaan mudah (bagi kebanyakan orang), karena ada makna yang saya temukan dibalik aktivitas menulis ini yang diarahkan untuk memberikan alternatif solusi menghadapi kehidupan dan sekaligus meraih masa depan yang lebih baik. Bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi muaranya pun diharapkan bagi orang lain.
Membaca buku La Tahzan: Jangan Bersedih karya Dr. Aidh al-Qarni, bagi saya, kita akan bisa menemukan petunjuk praktis dalam membaca dan menemukan makna atas setiap fenomea kehidupan yang dialami. Sudah sangat layak, jika buku karya Aidh al-Qarni ini menjadi buku terlaris di Timur Tengah.
Sebenarnya jika kita memahami dengan baik buku-buku karya Ary Ginanjar, kita pun akan sampai pada satu kesimpulan bahwa sesungguhnya kemampuan membaca, mencari dan menemukan makna kehidupan itu berada dalam ranah kecerdasan emosi dan kecerdasan spiritual. Meskipun, hal ini terkait dan harus diawali dengan kemampuan membaca penanda sebelum petanda, maka kecerdasan intelektual tetap penting di baliknya.
Pandangan Ary Ginanjar di atas bisa memperkuat dan menjadi solusi atas apa yang diungkapkan oleh Yuval Noah Harari, di mana terkesan bahwa kini di era modern ini di mana doktrin humanisme semakin kuat yang seakan ingin melepaskan diri dari kesadaran bahwa, Tuhan—saya lebih senang menyebutnya Allah—sebagai sumber makna dan otoritas, diupayakan bergeser dan semakin kokoh bahwa manusialah sumber utama dan tertinggi makna.
Terkait perdebatan sumber utama makna ini: apakah Tuhan atau manusia, saya sedang tidak fokus untuk membahas dalam tulisan ini. Saya hanya ingin mengajak diri ini dan para sahabat pembaca tulisan-tulisan saya untuk marilah kita menemukan makna di balik setiap fenomena kehidupan yang kita hadapi.
Bukan hanya dalam kehidupan yang menyenangkan, di balik penderitaan pun ketika kita mampu menemukan maknanya, maka bisa dipastikan, kita akan mampu bertahan dan cepat atau lambat semuanya akan terlewati atau keluar dari penjara psikologis itu. Pernahkah kita merasa sangat sial dan jengkel, yang disebabkan ban motor meletus—belum jauh dari rumah—pada saat berangkat kerja ke kantor?
Bagi orang-orang yang terbiasa mencari makna, atau dalam istilah yang relevan dari Haedar “menemukan ibrah” atau dalam perspektif Ary Ginanjar itu bagian dari “kecerdasan spiritual”, maka kita tidak akan merasa jengkel apalagi sial. Idealnya itu dimaknai sebagai satu potensial bahwa bisa jadi itu skenario pertolongan Allah, yang sengaja menunda beberapa menit pemberangkatan kita, karena di depan sana ada potensi musibah yang lebih besar.
Untuk kepentingan di atas, kita bisa meminjam satu kesimpulan yang merupakan satu interpretasi dari pandangan Denny JA, bahwa dalam kehidupan modern pun kita masih perlu menikmati lezatnya hidangan spiritualitas. Hal ini akan memberikan kemampuan membaca untuk meraih kembali energi kehidupan.
Marilah, setiap diri kita masing-masing untuk menemukan secara spesifik makna hidup atas setiap kejadian yang kita alami agar tetap bisa bertahan dan bisa meraih energi hidup.
Agusliadi Massere, Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng. Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023