Potret Singkat Dakwah Kultural KH Ahmad Tawalla
Oleh: Multazam Ahmad
KH Ahmad Tawalla atau sering kami sapa dengan sapaan Buya Ahmad Tawalla, adalah sosok yang umum oleh masyarakat dikenal sebagai tokoh dan ulama Muhammadiyah Sulawesi Selatan.
Sepanjang hidupnya, Buya Ahmad dikenal masyarakat sebagai ulama yang gigih membela Islam dan teguh memegang prinsip serta aqidah.
“Kita buktikan bahwa ditangan Allah rezki umatnya (baca: muballigh) diatur!” tegas Buya ketika diutus ke lokasi terpencil Papua untuk berdakwah.
Salah satu contoh ketegasan memegang teguh aqidah beliau ketika beliau menjadi sosok terdepan dalam membentengi umat di kabupaten Gowa khususnya di dataran tinggi terhadapa misionaris yang mengiming-imingi umat dengan harta untuk keluar dari aqiah Islam.
Selain dikenal prinsipil, dalam pergaulan sosial yang masyarakat cukup banyak tahu, khususnya kami yang dekat dengan beliau adalah Buya sebagai sosok yang ramah, menggembirakan dan humble dalam membangun relasi kepada siapapun, selama relasi yang dijalin tidak menginjak hal yang sifatnya prinsipil dan mengusik keyakinan umat atau aqidah umat Islam.
Perjalanan Singkat Dakwah Kulturan Buya Ahmad Tawalla
Sejak remaja, Buya dan aktivitas dakwahnya sudah mendarah daging, Buya sudah sangat sangat dekat dengan aktivitas tersebut sehingga jika Khatib Jumat yang telah ditentukan berhalangan hadir ketika waktu khutbah sudah akan dimulai maka Buya remaja dengan sigap yang akan menggantikan Khatib Jumat tersebut. Begitupula jika masyarakat disuatu desa butuh penceramah, Buya remaja kembali tampil sebagai muballigh nya. Kondisi masyarakat yang dihadapi Buya kala itu adalah kondisi masyarakat sekitar yang kekurangan muballigh sementara ladang dakwah begitu luas dan akses terbatas.
Di kabupaten Gowa (domisili Buya Remaja) sendiri terdiri atas dataran tinggi dan dataran rendah, di titik inilah Buya remaja sering berkeliling menyampaiakan pesan-pesan Agama dengan kekuatan sedanya, beberapa tempat bisa diakses dengan menggunakan kendaraan seadanya, selebihnya lebih banyak berjalan kaki, khususnya jika tujuan safarai atau perjalanan dakwah terletak di lereng serta lembah dataran tinggi Kabupaten Gowa.
Tantangan dakwah yang cukup berat dihadapi Buya remaja kala itu mendapat dukungan dari Ayah Buya yang banyak meringankan pada sisi materil perjalanan Dakwah. Tidak seperti pendakwah sekarang yang kadang diberikan apresiasi berupa “salam tempel”, pendakwah kala itu harus bertaruh materi pribadi demi untuk memastikan ayat-ayat Tuhan, pesan-pesan suci Allah sampai kepada umatnya ke seluruh sudut bahkan pelosok negeri.
Tantangan Dakwah makin hebat dihadapi Buya setelah Buya memutuskan menikah, dan ketika Ayah Buya meninggal dunia. Buya memikul dua tanggung jawab, tanggung jawab sebagai pendakwah atau muballigh yang menyampaiakan pesan kepada umat sekitar yang sangat membutuhkan dan tanggung jawab sebagai kepala rumah rangga. Sebelum Ayaha Buya meninggal dunia, kebutuhan materi untuk dakwah yang tidak sedikit jumlahnya bisa sedikit diringankan oleh alm. Ayaha Buya, sepeninggal alm.
Ayah Buya, Buya sendirilah yang menanggung kebutuhan dakwah tersebut dengan bertani. Tidak sampai di situ, Metode Buya yang bergerak berdakwah secara kultural dengan mengajak beberapa Muballigh atau penceramah Muhammadiyah ternyata tidak disetujui oleh beberapa pihak diinternal struktural Muhammadiyah karena beberapa alasan. Beberapa pelatihan Muballigh yang Buya adakan bersama beberapa kawan seperjuangan dibubarkan oleh Pimpinan Muhammadiyah sendiri. Namun tantangan demi tantangan jalan dakwah yang ditempuh Buya Ahmad Tawalla tidak menyulutkan api semangat beliau dalam menyampaiakn pesan Agama kepada masyarakat atau umat.
Sekelumit Keputusan Menjelang Musywil Muhammadiyah Sulsel
Beberapa Bulan sebelum Musyawarah Wilayah Muhammadiyah Sulawesi Selatan yang dicanangkan pada saat pandemi 2022, Buya “ditunjuk” untuk mengurus pondok pesantren Darul Arqam Gombara, pondok yang dulu menjadi kebanggaan masyarakat muhammadiyah Sulawesi Selatan karena prestasinya yang gemilang, dan karena lulusan-lulusannya banyak yang berhasil dan suskses di hampir semua sektor, santri-santrinya yang sangat piyawai dalam berdakwah dan segudang prestasi lain yang ‘menggunung’. namun belakangan ditempa konflik internal, karena begitu kompleks pada akhirnya pondok tersebut terbagi menjadi pondok Darul Aman dan pondok Darul Aqram Gombara yang masih bertahan hingga kini.
Di pondok yang disebutkan terakhir tadilah Buya Ahmad Tawalla diminta mengabdi sebagai pimpinan pondok dengan harapan oleh pimpinan wilayah amanah tersebut diberikan kepada Buya untuk membenahi beberapa hal yang mesti (jika tidak ingin mengatakan mendesak) serta perlu dibenahi demi membawa pondok Darul Arqom gombara maju dan menjadi kebanggaan masyarakat muhammadiyah Sulawesi Selatan dan masyarakat pada umumnya.
Dengan karakter Buya yang sangat prinsipil serta tegas, amanah sebagai kepala pondok yang sangat prinsip tersebut dijalankan dengan merombak beberapa struktur pimpinan yang ada, merekrut pembina baru yang dipandang profesional demi mempercepat terwujudnya visi pondok, menaikkan upah beberapa jabatan, tenaga, atau pengurus “akar rumput” agar lebih profesional dalam bekerja, serta mendistribusikan (kalau tidak ingin mengatakan menurunkan) upah beberapa jabatan, tenaga, atau pengurus (upah jabatan ya, bukan upah person) “elit” pondok yang dipandang perlu untuk diturunkan.
Serta mengalokasikan dana yang seharusnya dialokasikan kepada pembangunan dan hal-hal lain yang menunjang kemajuan pondok. Hasilnya sangat drastis, pembangunan beberpa bagungan kembali terlihat, reqrutmen tenaga pengajar baru membawa ghirah baru menuntut ilmu untuk para santri, para tenaga makin profesional dalam bekerja, dan banyak hal positif lain yang terus bermunculan.
Rupaya pembaharuan yang cukup pesat diinternal pondok mengusik kelompok-kelompok atau oknum tertentu, pembaharuan di internal Muhammadiyah dimusuhi oleh oknum Muhammadiyah sendiri. Buya akhirnya ditekan dari berbagai arah sehingga menyebabkan Buya jatuh sakit, berbulan-bulan Buya membawa dan memikul sakit yang diderita karena tekanan beberapa oknum yang menggerakkan perangkat dari dalam dan di luar pondok. Pada akhirnya karena alasan kesehatan keluarga meminta Buya digantikan dari pimpinan dan diminta untuk istrahat total demi pemulihan kesehatan.
Setelah pulih total, menjelang Musyawarah Wilayah Muhammadiyah Sulawesi Selatan bergulir, sejumlah masyarakat Muhammadiyah meminta Buya untuk mencalonkan diri sebagai kandidat formatur, nama Buya sempat dirumorkan menjadi salah satu kandidat kuat, dimasukkan dalam daftar calon formatur, namun dengan penuh sadar Buya mengirimkan surat tidak bersedia untuk mencalonkan.
Alasan Buya untuk tidak mencalonkan sederhana, Buya ingin mengurus Muhammadiyah Sulawesi selatan dari luar, bukan dalam struktur, tapi dari sisi kultur. Muhammadiyah setidaknya butuh sosok yang melihat dari luar kekurangan, untuk diisi dikemudian hari, dan Buya ingin di posisi itu, di posisi luar struktur Muhammadiyah.
Buya sangat berharap formatur yang nantinya terpilih di Muhammadiyah legowo menerima masukan dan kritik ketika memimpin, tidak merasa benar sendiri, serta jika memungkinkan untuk menjadikan amanah Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sulawesi Selatan sebagai satu-satunya amanah yang dititipkan Allah untuk mengurus Muhammadiyah Sulawesi Selatan dengan Kompleksitas masalahnya, agar lebih fokus mengurus umat.
Multazam Ahmad, Kader Muhammadiyah Sulsel