Relevansi Pandangan Fritjof Capra dan Peradaban Ilahiah Islam

Relevansi Pandangan Fritjof Capra dan Peradaban Ilahiah Islam

Relevansi Pandangan Fritjof Capra dan Peradaban Ilahiah Islam

Oleh: Agusliadi Massere

Wabah demi wabah, bencana demi bencana mengitari kehidupan manusia. Ini sebagaimana dikutip oleh Yuval Noah Harari (2015) bahwa para pemikir dan nabi menyimpulkan—semua itu, termasuk “perang”—sebagai dan menjadi “bagian integral dari rencana kosmis Tuhan”.

Kesimpulan sebagai bagian integral dan rencana kosmis Tuhan, bisa saja jawabannya “iya”, tetapi tidak bisa dimaknai secara sempit kemudian melahirkan sikap pasrah begitu saja. Allah menegaskan, jika merujuk pada QS. Ar-Rum [30]: 41, kerusakan yang terjadi di muka bumi (baca: darat dan laut) ini, akibat tangan manusia sendiri. Berarti manusia menjadi faktor, pelaku dan bertanggungjawab atas kerusakan yang ada.

Terma “tangan” dalam firman Allah tersebut—meskipun tidak bermaksud untuk menafsirkan dan saya bukan seorang mufassir—saya yakin tidak keliru jika hal itu dimaknai bukan hanya “tangan” secara harfiah. Terma “tangan” termasuk mencakup ilmu pengetahuan dan teknologi serta lebih utama sebagai pandangan, lebih tepatnya pandangan dunia yang dimiliki oleh manusia itu sendiri. Di sinilah salah satu starting point, saya menetapkan judul atas tulisan ini dengan “Relevansi Pandangan Fritjof Capra dan Peradaban Ilahiah Islam”.

Dari Capra, saya menemukan satu jenis pandangan yang bisa dipahami dan secara fungsional bisa menyelamatkan kerusakan bumi akibat kerakusan dan keserakahan manusia dengan dalil “kepentingan” kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta berbagai hal pragmatis lainnya. Begitu pun melalui karya Asep Zaenal Ausop, buku Islamic Character Building, saya menemukan sebuah konsepsi tentang “Peradaban Ilahiah” milik ajaran Islam yang bisa memberikan pencerdasan, pencerahan dan penyadaran bagi manusia dalam mengelola kehidupan, bumi, termasuk dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, tanpa kecuali yang ramah lingkungan.

Saya mendapat banyak pencerahan dan ini memiliki urgensi dan implikasi besar yang bersifat positif, produktif dan kontributif untuk menjaga kehidupan dunia termasuk bumi ini sendiri setelah membaca dua buku karya Capra, terjemahan bahasa Indonesia. Buku Titik Balik Peradaban (terj. dari The Turning Point) dan buku Jaring-Jaring Kehidupan (terj. dari The Web of Life). Untuk diketahui Capra adalah fisikawan Amerika kelahiran Austria, ahli teori sistem dan ahli ekologi mendalam. Membaca gagasan Haidar Bagir (2020), yang menarik dari Capra adalah ketertarikannya pada “kebijaksanaan timur”, tepatnya dunia Timur.

Sejak kurang lebih delapan tahun yang lalu, ada hal yang sedikit “menggelisahkan hati” saya. Seakan bisa menggerogoti dimensi keimanan dalam diri, namun pada dimensi lain ada argumentasi yang mengandung penguatan sakralitas tersebut yang menarik garis relasi pada fungsional (manfaat praktis) dalam ruang empiriknya.

Ilustrasi sederhananya bahwa, fungsi melekatkan hal sakralitas pada satu objek, seperti mitos “penghuni pohon”, dirasakan dan memberikan manfaat untuk menjaga kelestarian alam. Ada sejenis kepercayaan dan sekaligus melahirkan “ketakutan” masyarakat pada satu objek (pohon) sehingga masyarakat tidak bisa melakukan penebangan secara liar.

Pada dunia “mitos” atau pada rentang masa beberapa abad yang lalu, terutama sebelum pemikiran dan pandangan Cartesian-Newtonian menguasai alam berpikir atau mendominasi dan memengaruhi pandangan hidup manusia, sejenis “proteksi mistisisme” (pelekatan dan peletakan sakralitas yang berfungsi sebagai “penjaga”) di atas mungkin masih bisa saja berfungsi. Meskipun, dalam konteks sementara ini belum ditarik garis relasi dengan dimensi “tauhid”, apakah ini menyeret dalam perbuatan syirik atau tidak.

Pada faktanya dalam kehidupan empirik, kita menemukan fenomena yang menegaskan, apa yang saya istilahkan sebagai proteksi mistisisme di atas, tidak lagi berfungsi. Hutan (salah satu contoh saja), pepohonannya telah dibabat habis tanpa dihantui dan dihalangi lagi oleh kepercayaan dan ketakutan tentang “penghuni pohon” tersebut. Karena alam pikiran para pelakunya didominasi oleh pandangan “rasionalitas”,”instrumental” dan “pragmatik”.

Perilaku dan tindakan merusak lingkungan di atas, salah satu dampak nyata yang bisa dilihat adalah, pegunungan yang sudah gundul dan gersang. Dampak lanjutannya adalah tanah longsor dan banjir. Ini hanya penegasan saja, bahwa dalam kehidupan masyarakat yang (bisa saja) masih melekat dalam dirinya cara pandang mitos “penghuni pohon”, tidak lagi mampu membendung sikap dan perilaku yang berbasis pada pandangan yang rasional dan pragmatik.

Pandangan apa yang menarik dari Capra dan bisa memberikan manfaat dalam kehidupan ini, terutama dalam menjaga kehidupan, bumi, dan kelestarian alam? Yang menarik adalah tentang pandangannya terkait “ekologi dalam”. Dan setelah membaca perspektif Asep, ternyata memiliki relevansi dengan yang disebutnya “Peradaban ilahiah”.

Sebelum mengulas terkait pandangan Capra dan perspektif Asep, yang perlu dipahami bahwa ada satu rentang waktu, tepatnya “Di abad ke-16 dan ke-17 pandangan dunia abad pertengahan yang didasarkan pada filsafat Aristoteles dan teologi Kristen, berubah secara radikal” (Capra, 2002: 32). Capra kembali menegaskan abad pertengahan yang salah satunya ditandai dengan pengertian alam semesta yang organik, hidup dan spiritual, pada abad ke-16 dan ke-17, ini berubah drastis dan digantikan dengan pengertian dunia sebagai sebuah mesin.

Cara pandang abad ke-16 dan ke-17 bukan hanya ditandai dengan pemikiran Cartesian-Newtonian, penekanan pada pemikiran rasionalisme dan empirisme, revolusi ilmiah semata, tetapi termasuk pemisahan antara res cogitans dan res extensa. Selain itu yang sedikit berbahaya, adalah sebagaimana cara pandang Galileo yang hanya fokus pada hal-hal yang bisa diukur dan dikuantifikasi, dan mengabaikan kualitas, etis, nilai-nilai, kesadaran dan jiwa.

Yang lebih kejam daripada hal di atas, adalah pemikiran Francis Bacon, yang mengubah konsep kuno tentang bumi sebagai ibu yang menyusui, menjadi sebagai perempuan yang segala isinya bisa diambil paksa. Selain itu ketika sebelumnya, tujuan ilmu untuk mencari kearifan, dengan memahami tatanan alam dan kehidupan yang harmonis, berubah menjadi upaya untuk menguasai dan mengendalikan alam. Capra menyimpulkan pemikiran dan kecenderungan Bacon dengan “ilmu maupun  teknologi digunakan untuk tujuan-tujuan yang sama sekali anti-ekologis”.

Kecenderungan pemikiran abad ke-16 dan ke-17 di atas, meskipun tetap banyak dampak positif yang bisa dirasakan, meninggalkan dan memberikan pengaruh yang sangat kuat sampai pada kehidupan hari ini. Tdak sedikit pengaruhnya, menimbulkan dampak negatif khususnya dalam kehidupan dan kelestarian alam, serta kondisi bumi yang semakin mengkhawatirkan. Termasuk dimensi kehidupan lainnya, yang tidak sempat menjadi poin urgen dalam tulisan sederhana ini.

Atas dasar pemahaman yang terakhir ini, maka urgensi dan implikasi pemahaman Capra penting untuk dihadirkan dan dipahami meskipun dalam konteks tulisan ini, sifatnya masih sangat sederhana dan cakupannya masih sangat sempit. Ini menjadi penting, sebagaimana saya pahami dari QS. Ar-Rum [30]: 41, Allah menegaskan kerusakan itu akibat tangan manusia sendiri. Yang sekali lagi apa yang dipahami sebagai “tangan”, dalam pandangan saya bukan hanya secara harfiah, tetapi bisa berupa pemikiran, cara pandang atau pandangan dunia, termasuk sifat dan karakter ilmu pengetahuan dan teknologi yang mendominasi manusia dan kebudayaannya.

Capra menawarkan cara pandang yang disebutnya sebagai “ekologi dalam”. Dalam cara pandang ekologi dalam ini, melahirkan kesadaran ekologis yang mendalam yang “mengakui kesalingtergantungan fundamental semua fenomena dan fakta bahwa, sebagaimana individu dan masyarakat, kita sekalian terlekat dalam (dan bergantung secara mutlak pada) proses siklis alam”. Ini penegasan Capra (2002: 16).

Sebagaimana Capra memahami dari Norwegia Anre Naes, yang berbeda dengan “ekologi dangkal” yang bersifat antroposentris, “ekologi dalam” tidak memisahkan nilai  manusia—atau apapun dari lingkungan alamiah. Pandangan ekologi-dalam tidak melihat dunia sebagai objek-objek yang terpisah.

Ekologi dalam tidak didasarkan atas antroposentrisme, tetapi pada nilai-nilai ekosentris. Memahami lebih mendalam pandangan Capra, kita pun akan mendapatkan satu bentuk kesadaran bahwa, “Hubungan antara persepsi ekologis atas dunia dengan perilaku yang sesuai dengannya bukanlah hubungan logis melainkan hubungan psikologis”.

Capra menjelaskan lebih lanjut, untuk mudah dipahami “Logika tidak menuntun kita dari kenyataan bahwa kita adalah bagian integral dari jaringan kehidupan menuju norma-norma tentang bagaimana seharusnya hidup kita. Akan tetapi, jika kita mempunyai kesadaran ekologis-dalam, atau pengalaman menjadi bagian dari jaringan kehidupan, maka kita akan (yang berbeda dengan harus) cenderung memperhatikan segenap alam hidup.

Dengan pemahaman dan implementasi sikap dari cara pandang Capra ini, maka manusia tidak akan rakus dan serakah membabat habis kekayaan bumi dan merusak kelestarian lingkungan alam dengan alasan dan kepentingan ilmu pengetahuan, teknologi dan kebutuhan pragmatis lainnya sekali pun. Sikap dan perilakunya ini, bukan pula atas dasar—apa yang saya istilahkan di atas—“proteksi mistisime” atau mitos “penghuni pohon” yang kemungkinan besar akan merusak bangunan keimanan dalam diri. Atau dengan bahasa lain, sikap dan perilakunya menjaga bumi, menjaga kelestarian lingkungan, atas dasar kesadaran sebagai bagian dari mandat kosmis “khalifah”, serta antara manusia dan alam bisa dipandang sebagai “unity of creation” yang memiliki manfaat dan nilai untuk kepentingan jangka panjang.

Apa yang menjadi cara pandang Capra, meskipun ulasan saya dalam tulisan ini masih sangat terbatas karena keterbatasan ruang, kita pun harus menyadari bahwa itu memiliki relevansi dengan konsepsi “peradaban ilahiah” Asep. Ini pun memiliki cakupan yang sangat luas, sehingga dalam ruang ini pun, hanya sebagian kecil yang bisa saya uraikan.

Peradaban ilahiah (Asep: 2014, 441-476), pada dasarnya memantik kesadaran hubungan integralistik antara peradaban, kebudayaan, dan lengkap dengan berbagai unsur-unsur pendukungnya, termasuk urgensi dan signifikansi peran besar ilmu pengetahuan, teknologi dan seni di dalamnya.

Selain itu peradaban ilahiah adalah konsep peradaban yang menjadikan tauhid sebagai core values. Konsepsi peradaban ilahiah pun menegaskan tentang pentingnya persatuan dan kesatuan—atau dalam bahasa Capra kesalingtergantungan keseluruhan fenomena dan fakta—selain rasionalisme dan toleransi.

Asep memahami, bahwa fungsi tauhid dalam peradaban bukan hanya dimensi metodologis tetapi termasuk dalam konten. Dalam dimensi konten inilah, ada kesamaan atau relevansi dengan pandangan Capra yaitu bahwa “tauhid menjadi prinsip utama aksiologi peradaban” yang melahirkan sikap dan cara pandang menjadikan bumi ini sebagai “kebun buah” yang produktif dan taman yang indah serta mewujudkan peradaban yang kreatif. Jadi ini berbeda pula dengan cara  pandang Bacon di atas yang anti ekologis.

Peradaban ilahiah Asep ini mengandung pula apa yang diistilahkannya dengan “amal ekosistem”. Yakni amal ibadah untuk meningkatkan keterkaitan anara semua anggota ekosistem, seperti manusia, flora, fauna, dan energi. Dan Asep memberikan contoh terkait ini dengna “menanam pohon”, “ menyantuni hewan”, “menghemat energi”, “mengelola pertambangan dengan sebaik-baiknya” dan termasuk “mengelola sampah”. Selama ini kita hanya fokus pada “amal individu”, “amal populasi”, dan “amal komunitas” dan lupa “amal ekosistem”.

Untuk memahami lebih jauh, saya merekomendasikan kepada pembaca, untuk memiliki dan membaca tiga buku yang saya sebutkan dalam tulisan ini.

Agusliadi Massere, Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng. Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023

Exit mobile version