Shalat untuk Menjemput Rahmat (1)

Shalat Mikraj Mukmin Ilustrasi

Foto Dok Ilustrasi

Shalat untuk Menjemput Rahmat (1)

Oleh: Mohammad Fakhrudin dan Iyus Herdiyana Saputra

Salah satu fungsi shalat bagi muslim adalah sebagai penjemput rahmat. Allah Subhanahu wa Ta‘aala di dalam surat an-Nur (24): 56 berfirman,

وَاَقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتُوا الزَّكٰوةَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ

“Dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada Rasul supaya kamu diberi rahmat.”

Di dalam Tafsir al Azhar (hlm. 4966-4967), Hamka menjelaskan fungsi shalat pada ayat tersebut sebagai berikut: memperkuat iman, menghaluskan perasaan, memperkuat pribadi, menjadi waktu istirahat untuk mencari kekuatan baru, dan memperoleh petunjuk sehingga yang gelap menjadi terang kembali. Menurut beliau, shalat bukan tempat lari, melainkan untuk mencari kekuatan menghadapi tugas, meneguhkan iman dan memperkuat hubungan (human relation).

Beliau menjelaskan juga bahwa shalat berjamaah mempunyai fungsi kemasyarakatan sebagaimana dijelaskan di dalam surat asy-Syura (42): 38.

وَالَّذِيْنَ اسْتَجَابُوْا لِرَبِّهِمْ وَاَقَامُوا الصَّلٰوةَۖ وَاَمْرُهُمْ شُوْرٰى بَيْنَهُمْۖ وَمِمَّا رَزَقْنٰهُمْ يُنْفِقُوْنَ

“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhan dan melaksanakan salat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka dan mereka menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.”

Menurut beliau, shalat berjamaah lima waktu dalam sehari semalam merupakan bibit pertama disiplin. Di dalam shalat berjamaah, ada seorang imam. Sebelum memulai salat, ia mengatur saf makmum. Makmum tidak boleh mendahului imam, bahkan, melakukan gerakan pada waktu yang sama dengan imam pun tidak boleh.

Tentu masih banyak lagi manfaat shalat berjamaah. Pada zaman modern ini telah ada penelitian bahwa shalat berjamaah ternyata sangat bermanfaat bagi kesehatan.

Agar fungsi dan manfaat itu dapat kita peroleh, kita harus memahami dan mengamalkan dengan benar syarat sahnya shalat dan rukun salat. Bahkan, kita harus memahami dan mengamalkan sampai pada tuntunan yang bersifat sunah sekalipun.

Pakaian untuk Salat

Tampaknya masih cukup banyak di antara muslim yang shalat dengan pakaian hanya untuk memenuhi syarat fikih, yakni suci dan menutup aurat. Di antara mereka ada yang shalat dengan memakai kaos oblong, pakaian olahraga, atau pakaian yang sudah digunakan untuk tidur, padahal ketika menghadiri acara “keduniaan”, berpakaian tidak sekadar suci dan menutup aurat, tetapi juga bagus.

Bahwa Allah Subhanahu wa Taa‘aala tidak melihat tampilan lahir kita, itu benar. Namun, untuk mengerjakan shalat sebagai wujud rasa syukur kepada-Nya, kiranya muslim perlu pula mengamalkan sunah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Lebih-lebih lagi, kita diperintah oleh Allah Subhanahu wa Ta‘aala pergi ke masjid dengan pakaian yang bagus!

Allah Subhanahu wa Ta’aala berfirman di dalam surat al-A‘raf (7): 31

يٰبَنِيْٓ اٰدَمَ خُذُوْا زِيْنَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَّكُلُوْا وَاشْرَبُوْا وَلَا تُسْرِفُوْاۚ اِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِيْنَ

Wahai, anak cucu Adam. Pakailah pakaianmu yang bagus pada setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sungguh Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.”

Idealnya untuk shalat kebiasaan berpakaian suci, menutup aurat, dan bagus dilakukan sejak kecil. Sayangnya, cukup banyak orang tua yang kurang memperhatikan hal itu.

Sampai usia SMP/MTs pun anak kurang mendapat perhatian dalam hal berpakaian untuk salat. Akibatnya, boleh jadi celana dalamnya tidak suci. Berapa banyak orang tua yang memperhatikan  celana dalam anaknya yang bersekolah atau beraktivitas sampai sore?

Bagaimana halnya orang tua yang bekerja seharian? Semestinya, mereka mempersiapkan celana dalam untuk ganti sebagai kelengkapan bekal. Jadi, bekal berangkat ke tempat beraktivitas tidak hanya makan dan minum. Pakaian shalat pun harus disiapkan dengan baik.

Ada lagi hal yang perlu pula mendapat perhatian. Untuk shalat ketika di tempat bekerja, menuntut ilmu, atau bepergian (safar), di antara muslim ada yang lebih memilih pinjam mukena musala atau masjid di tempat bekerja, di sekolah atau kampus, atau rest area. Namun, bekal yang lain disiapkannya dengan lengkap.

Boleh jadi, mukena di tempat-tempat itu, kurang terjaga kesuciannya karena pemakainya belum tentu ikut menjaga kesuciannya. Jika membawa mukena sendiri, ada manfaat ganda yang insya-Allah diperoleh, yakni (1) dijamin kesuciannya, (2) bernilai ibadah, dan (3) sesuai dengan ukuran dirinya sehingga tidak perlu memilih-milih.

Memang ada fenomena menarik yang dapat kita lihat juga. Pedagang jajanan keliling dan tukang reparasi keliling cukup banyak yang membawa pakaian khusus untuk shalat dan di antara mereka ada yang mandi lebih dulu sebelum salat. Masya-Allah!

Kesempurnaan Berwudu

Taharah merupakan salah satu syarat sahnya salat. Satu di antara taharah adalah berwudu. Jika wudu kita tidak sah, shalat kita pun tidak sah.

Kiranya cukup banyak di antara muslim yang kurang memperhatikan kesempurnaan berwudu. Kaifiat berwudu yang bersifat wajib pun kurang diperhatikan apalagi yang sunah.

Di dalam surat al-Maidah (5): 6 Allah Subhanahu wa Ta‘aala berfirman,

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا قُمْتُمْ اِلَى الصَّلٰوةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَاَيْدِيَكُمْ اِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوْا بِرُءُوْسِكُمْ وَاَرْجُلَكُمْ اِلَى الْكَعْبَيْنِۗ وَاِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوْاۗ وَاِنْ كُنْتُمْ مَّرْضٰٓى اَوْ عَلٰى سَفَرٍ اَوْ جَاۤءَ اَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَاۤىِٕطِ اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَاَيْدِيْكُمْ مِّنْهُ ۗمَا يُرِيْدُ اللّٰهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِّنْ حَرَجٍ وَّلٰكِنْ يُّرِيْدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهٗ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ

Hai, orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak mengerjakan salat, basuhlah atau cucilah wajahmu, tanganmu sampai ke siku, usaplah kepalamu, dan cucilah kakimu sampai kedua mata kakimu. Dan jika kamu junub, mandilah. Dan jika kamu sakit atau bepergian atau salah seorang di antara kamu datang dari jamban (buang air) atau kamu menyentuh perempuan (bersetubuh), dan kamu tidak memperoleh air, bertayamumlah dengan debu yang suci, yakni usaplah wajahmu dan tanganmu dengan debu itu. Allah tidak ingin menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak menyucikan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya kepadamu supaya kamu bersyukur”.

Di dalam ayat itu, dijelaskan pula kebolehan bertayamum dan cara bertayamum. Namun, kaifiat yang dijelaskan di dalam ayat itu merupakan pedoman umum. Pedoman teknisnya dijelaskan di dalam hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Oleh karena itu, untuk melaksanakan taharah, muslim berpedoman pada hadis juga.

Membasuh Wajah

Dari ayat tersebut, jelas bagi kita tata cara membasuh wajah, tangan, kepala, dan kaki. Dalam hal membasuh wajah, jangan-jangan ada di antara kita yang belum melaksanakan HR Abu Dawud yang artinya,

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengusap dua sudut mata dalam wudu.”

Berdasarkan hadis tersebut, ada bagian wajah yang perlu mendapat perhatian khusus, yakni mata. Sudut mata harus diusap. Tentu hal ini menyempurnakan kebersihan wajah.

Pada sudut mata orang dalam keadaan terjaga (tidak tidur) pun kadang-kadang terdapat kotoran. Apalagi, pada mata orang yang baru saja bangun tidur.

Ada lagi bagian wajah yang perlu mendapat perhatian. Di antara laki-laki ada yang berjanggut. Ketika berwudu, janggut pun merupakan wajah yang perlu dibasuh sebagaimana dijelaskan di dalam HR Tirmidzi yang disahihkan oleh Ibnu Khuzaimah, Daraquthni, dan Hakim. Bagaimana caranya? Janggut disela-selai dengan jari.

Mengusap Kepala

Bagaimana halnya dengan pelaksanaan kaifiat mengusap kepala? Di dalam ayat tersebut dijelaskan mengusap kepala, bukan sekadar mengusap sebagian kepala. Memang di dalam HR Muslim, Abu Dawud, dan Tirmidzi dijelaskan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam berwudu, lalu mengusap ubu-ubun dan atas surbannya. Berkenaan dengan itu, ada yang berpendapat bahwa dengan mengusap sebagian kepala pun wudu sudah sah.

Jika ada hadis sahih yang lebih lengkap, apakah tidak sebaiknya memilih cara mengusap kepala sebagaimana dijelaskan di dalam hadis muttafaq ‘alaih yang artinya,

Dan memulai dengan permulaan kepalanya sehingga menjalankan kedua tangannya sampai pada tengkuknya, kemudian mengembalikannya pada tempat memulainya”.

Mengusap kepala dan telinga ini satu rangkaian tanpa membasahi lagi telapak tangan untuk mengusap telinga dan semua itu dilakukan cukup satu kali saja. Mengusap kepala kita lakukan dengan dua telapak tangan dari ujung muka kepala hingga tengkuk, dan mengembalikan kedua telapak tangan itu seperti semula. Setelah itu, mengusap kedua telinga; sebelah luarnya dengan ibu jari, sedangkan sebelah dalamnya dengan telunjuk.

Hal itu dijelaskan di dalam HR Abu Dawud dan Nasa’i, disahihkan oleh Ibnu Khuzaimah yang artinya,

Lalu, mengusap kepalanya dan memasukkan kedua telunjuknya pada kedua telinganya dan mengusapkan kedua ibu jari pada kedua telinga yang luar, serta mengusapkan kedua telunjuk pada kedua telinga yang dalam.”

Jangan-jangan di antara kita ada yang berwudu tanpa mengusap telinga bagian dalam dengan telunjuk dan tanpa mengusapkan ibu jari pada telinga bagian luar seperti yang dijelaskan di dalam hadis tersebut.

Di dalam HR Abu Hurairah pada riwayat Muslim dijelaskan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Kamu sekalian bersinar wajah, kaki, dan tanganmu pada hari kemudian sebab menyempurnakan wudu, maka siapa yang mampu di antara kmu supaya melebihkan sinarnya.” Jadi, berdasarkan hadis tersebut, wajah, kaki, dan tangan kita tidak bersinar jika wudu kita tidak sempurna.

Membasuh Tangan

Di dalam surat al-Maidah (5): 6 sangat jelas diterangkan bahwa membasuh tangan sampai siku, bukan dari siku. Hal itu berarti bahwa air dialirkan dari telapak tangan ke siku. Namun, dalam pelaksanaannya, cukup banyak muslim yang mengalirkan air justru dari siku ke telapan tangan.

Hal itu tentu tidak sesuai dengan petunjuk al-Qur‘an sebagaimana telah dikutip. Secara teknis, kaifiat membasuh tangan dijelaskan di dalam HR al-Bukhari yang artinya,

Dari Humran, hamba sahaya Utsman bin Affan, bahwasanya dia melihat Utsman bin Affan minta dibawakan bejana (tempat air wudu), lalu beliau menyiramkan air dari bejana itu ke kedua tangannya lalu membasuh keduanya tiga kali, lalu beliau memasukkan tangan kanannya ke bejana, beliau berkumur, mengisap air ke hidung dan menyemburkannya, kemudian membasuh wajahnya tiga kali dan membasuh kedua tangannya sampai kedua sikunya masing-masing tiga kali, mengusap kepalanya, membasuh setiap kakinya tiga kali, kemudian berkata, aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallamw. wudu seperti wuduku ini, dan beliau bersabda, ‘Barang siapa yang berwudu seperti wuduku ini, kemudian shalat dua rakaat, yang antara keduanya tidak membicarakan dirinya, maka Allah mengampuni dosanya yang telah lampau.” (HR al-Bukhari)

Hal lain yang perlu mendapat perhatian pula adalah cara membasuh tangan tidak sekadar mengalirkan air agar tangan basah. Di dalam HR Ahmad yang disahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dijelaskan bahwa membasuh tangan dilakukan dengan cara menggosok lengan.

Membasuh Kaki

Membasuh kaki, sebagaimana dijelaskan di dalam ayat yang telah dikutip, dilakukan sampai mata kaki. Dengan demikian, semestinya air dialirkan dari jari-jari ke mata kaki, bukan dari mata kaki ke jari-jari.

Sama halnya dengan membasuh tangan, membasuh kaki pun dilakukan dengan menggosok. Hal ini dijelaskan di dalam HR Ahmad.

Dalam hubungannya dengan membasuh kaki, menyela-nyelai jari kurang mendapat perhatian. Bahkan, ada di antara muslim yang hanya membasahi kaki, bukan membasuhnya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mewajibkan kita membasuh kaki secara sempurna. Tumit merupakan bagian kaki yang wajib dibasuh secara sempurna juga.

Masih ada lagi yang belum dilaksanakan dengan sempurna dalam berwudu, yakni mengisap air melalui lubang hidung. Di dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Nasa‘i, Tirmidzi, dan Ibnu Majah dijelaskan, “Sempurnakanlah wudu, selai-selailah di antara jari-jari dan sempurnakan di dalam mengisap air, kecuali kamu sedang berpuasa.” Di dalam hadis yang diriwayatkan oleh Daulabi yang disahihkan oleh Ibnu Qaththan dalam isnadnya, “Apabila kamu wudu, sempurnakanlah dalam berkumur-kumur dan mengisap air, kecuali kalau kamu berpuasa.”  Cukup banyak di antara muslim yanga hanya mengusap permukaan lubang hidung.

Abai terhadap kaifiat berwudu menyebabkan ketidaksempurnaan wudu. Jika wudu tidak sempurna, bagaimana mungkin shalat dapat berfungsi secara sempurna sebagai penjemput rahmat?

Allahu a‘lam

Mohammad Fakhrudin, warga Muhammadiyah tinggal di Magelang Kota

Iyus Herdiyana Saputra, dosen Al Islam dan Kemuhammadiyahan Universitas Muhammadiyah Purworejo

 

 

Exit mobile version