Teror Sampah dan Sekaratnya Modal Sosial Kita?
Oleh: David Efendi
Sadah lebih dari tiga dekade bukti kerja kerja pembangunan ramah lingkungan masih jauh pangang dari api. Bahkan paradok kian dinormalisasi sebagai ideal baru ketika yang ideal tak dapat direngkuh. Sebagai daerah padat orang cerdik pandai, situasi jogja kerap dipaksa berdamai dengan normal baru berupa pemakluman akan situasi yang berkebalikan dengan yang ideal. Teknologi sederhana saja tak berkembang untuk keamanan masyarakat dari bencana persampahan (konsekuensi kota pelajar dan kota wisata?). Beragam pembenaran seringkali diam-diam diaminkan. Nada kritis dimarjinalkan.
Dilaporkan bahwa drama membanjirnya sampah di Yogyakarta juga terjadi saat libur lebaran 2022 mungkin juga saat pandemi. Peningkatan signifikan sampah di Kota Yogyakarta pernah dilansir di repjogja.republika.co.id (9/5/22), sebesar 15 persen atau dari sebelumnya 360 ton per-hari menjadi lebih dari 400 ton per-hari seiring dengan gelombang kedatangan wisatawan dan pemudik. Ini adalah eskalasi dan akumulasi yang terus menerus jika tak ada pengolahan atau pengendalian sampah secara radikal.
Tempat pembuangan akhir sampah di Piyungan pertama kali beroperasi sekira tahun 1996 dan sudah puluhan kali diblokade warga sebagai bentuk protes keras atas tragedy of the common di kota propinsi pusat kampus mentereng ini.
Selama ini TPST Piyungan menampung sampah dari tiga wilayah di Yogyakarta: Kota Yogyakarta, Sleman, dan Bantul yang notabene adalah pusat pariwisata nasional bahkan internasional. Tercatat estimasi setiap harinya, sekira 630 ton sampah ditumpahkan ke TPST yang memiliki luas 12,5 ha tersebut. Faktanya bisa jauh lebih banyak dari perhitungan di atas karena data pemerintah seringkali tak akurat bahkan sering menyembunyikan kebenaran. Saya hendak mengakses dana pengelolaan sampah dari APBD sulit ditemukenali. Apakah ada korupsi?
Menurut Pak Maryono dampingan MPM PP Muhammadiyah bahwa faktanya, tidak ada pengolahan sampah yang dilakukan di TPST ini. Jelas sekali, pengolahan yang tersemat dalam nama TPST ini hanya slogan tak bermakna. Jika tak ada kesungguhan, memang bencana bagi masyarakat luas hanya menunggu serius malapetakanya.
Berdamai dengan paradok bisa jadi normal baru: apbd besar, kemiskinan tinggi, modalitas sosial tangguh, solidaritas terganggu, perguruan tinggi termaju tata kelola lingkungan terburuk. DIY, do it yourself. Begitulah ekspresi bahwa urusan penyelamatan lingkungan seolah dikembalikan kepada warga. Negara lebih memilih posisi “datang dan lihat lihat saja.”
Ambisi menggenjot apbn apbd dengan menistakan alam lestari. Bahlulnya, pajak pajak yang dikumpulkan diembat oknum. Alam rusak hancur lebur, uang negara pun kabur.
Nyatanya, ekonomi berdamai dengan lingkungan hidup menjadi mitos belaka sehingga pembangunan berkelanjutan lebih pada jargon bukan amal perbuatan. Wajar saja Vandana shiva, sarjana terkemuka ekofeminisme, lebih memilih membebaskan manusia dan alam dari pembangunanisme.
Tulisan ini hendak memberikan gagasan bagi kemaslahatan alam di tengah tata kelola sampah di DIY yang rungkad ambyar. Di jogja ada pelajaran utama, bagaimana modalitas sosial bisa tak kuasa bekerja urusan lingkungan hidup wabil khusus ancaman tragedi sampah (tragedy of the common, meminjam bahasa Garret Hardin, 1968).
Mendayagunakan modal sosial, membendung tragedi publik
Beberapa pemikiran barangkali berdaya ubah untuk hentikan roda lepas menggelinding akibat over populasi sampah yang mengancam kesehatan publik dan ekologi. Pertama, diperlukan sejenis densus gabungan pentahelik untuk atasi sampah. Densus kerja 24 jam seperti laskar laskar pandawalima atau sejenis laskar perang melawan sampah. Kedua, densus tadi bekerja dengan basis perda atau kebijakan Pemda yang kuat dan mengikat sehingga tak ada problem pendanaan atau lainya. Danais dapat digunakan untuk membuktikan mantra hamemayi hayuning bawana baik di daratan, gunung, dan lautan.
Ketiga, kelompok ormas agama perlu dilibatkan sebagai modalitas dahsyat yang musti dipekerjakan secara TSM. Di DIY ada R20 untuk respon iklim, di Muhammadiyah dan aisyiyah punya majelis atau lembaga lingkungan hidup yang sudah bersemi banyak praktik baik misal sekolah sungai, sedekah sampah, dana zakat untuk perbaikan lingkungan, dan sebagainya.
Keempat, kekuatan perguruan tinggi yang ratusan hebat dan unggul hemat saya harus melekat tanggungjawab moral ekologis dan politik untuk sebesar besarnya kebaikan, keadilan, dan k3l3starian bumi jogja. Dana hibah dan riset baik dari pemda dan kementerian perlu direalokasikan dan disumbangsihkan untuk atasi teror bencana sosioekologis akibat abai pada tata kelola sampah yang baik dan benar. Kritik pedas pada insan cendekia di civitas akademia seolah menjauh dan tutup mata dari realitas, tak ubahnya sektor bisnis yang tak mau peduli, sehingga kembali ditempatkan kaum intelektual menara gading atau puncak merapi.
Abainya pada upaya mencari solusi atas tragedi sampah di jogja bisa menjadi malapetaka baru yaitu pengkhianatan intelektual. Sepuluh tahun terakhir ini sumbangan kampus dinilai negatif lantaran jadi tukang legitimasi proyek pembangunan yang nirekologis yang bernilai menggiurkan. Menghadapi persoalan sampah kampus berkelas dunia tak mampu itu ibarat pepatah: duit disebrang lautan nampak, tumpukan lalat di depan kelopak mata tak nampak.
Kekuatan demokratis dapat diuji dari bekerjanya modal sosial di sebuah bangsa. Jika kekuatan solidaritas sosial tidak dapat bekerja merespon persoalan ketimpangan sumber daya, bencana, dan agenda aktual bersama, maka jaringan ekosistem sosial itu telah lumpuh. Sekaratnya modalitas yang besar tak berguna atasi praktik pengabaian yang sistemik adalah alarm serius akan matinya demokratisasi kesejahteraan di masa depan. DIY salah satu daerah yang super paradoksal perlu menjadi perhatian segenap kekuatan demokratis berbasis civil society.
Kekuatan organisasi masyarakat sipil sebagai kekuatan perubahan perlu singsingkan lengan baju bersama cancut taliwondo. Sementara kekuatan tradisi menjadi modal budaya dengan legitimasi politik tak tertandingi perlu leading transformasi pembangunan dari padat sampah menjadi padat daya kreatif untuk keadilan semesta manusia. Dua kerajaan istimewa menjadi penyangga segala modalitas sosial dan ekonomi untuk menopang keseimbangan alam Ngayogyakarta Hadiningrat.
David Efendi, Sekretaris LHKP PP Muhammadiyah