Hilangnya Spirit Reformasi, Melemahnya Demokrasi

Immawan Wahyudi

Foto Istimewa

Hilangnya Spirit Reformasi, Melemahnya Demokrasi

Oleh: Immawan Wahyudi

DARI gambaran sejarah panjang demokrasi, Robert A. Dahl menyimpulkan bahwa demokrasi selalu hanya berada dalam proses. Dahl, berpendapat bahwa Demokrasi telah berproses demikian panjang. Demokrasi, juga telah memberikan kegunaan dalam politik pemerintahan. Namun demokrasi juga menimbulkan perbedaan pendapat. Oleh sebab itu  demokrasi telah diberi makna yang berbeda-beda bagi orang yang bebeda, pada waktu dan tempat yang berbeda pula. Robert A. Dahl, (Perihal Demokrasi–Menjelajahi Teori dan Praktik Demokrasi Secara Singkat, halaman 5).

Apakah pada akhirnya demokrasi akan punah? Tentu ini suatu pertanyaan yang sangat rumit dan krusial. Tidak mungkin dijawab atas dasar pemikiran semata. Bahkan tidak juga dapat dijawab dengan grounded research yang lama. Namun demikian ada gejala-gejala yang dapat diamati baik dalam wacana teoretik ataupun dalam praktik dunia nyata.

Secara teoretik demokrasi dapat saja dilukiskan demikian rupa namun, kata Dahl, itu hanyalah janji karena hal-hal yang penting masih belum terdapat dalam kenyataan. Dahl mengemukakan argumentasi sebagai berikut. Pertama,  di negara-negara yang memiliki permulaan  menonjol, berbagai ketidaksamaan yang menyolok merupakan kendala besar bagi demokrasi: perbedaan antara hak, kewajiban, pengaruh dan kekuasaan atas budak dan orang merdeka, kaya dan miskin, memiliki tanah dan tidak, tuan dan anak buah, laki-laki dan perempuan.  Kedua, bahkan di mana majelis dan parlemen itu ada, semuanya itu masih sangat jauh dari standar demokrasi yang minimum.  Ketiga, wakil-wakil “rakyat” itu tidak sungguh-sungguh mewakili seluruh rakyat. Hal itu antara lain karena orang-orang yang merdeka itu adalah laki-laki. Keempat, sampai abad ke-18 dan setelahnya, gagasan dan kepercayaan demokrasi itu belum sama-sama dimiliki atau bahkan belum dipahami dengan baik. Di semua negara, logika persamaan itu hanya efektif di kalangan sejumlah kecil orang saja, itupun sejumlah kecil orang  yang mempunyai hak istimewa. (Ibid., hal. 32-33.)

Kemunduran Demokrasi

Banyak sinyalemen dari kalangan ilmuwan, bahwa tanda-tanda demokrasi  mengalami kemunduran. Prof. Ni’matul  menyebut bahwa dewasa ini demokrasi mengalami kemunduran. Judul buku  karya Prof. Ni’mah secara langsung menyebut; ”Kemunduran Demokrasi Pasca Reformasi.” Argumentasi teoretiknya merujuk pendapat Steven Levitski dan Daniel Ziblatt yang meyatakan selama ini orang berfikir bahwa kematian demokrasi disebabkan adanya kekerasan politik, kekuatan militer kedikatatoran yang mencolok dalam ujudnya berupa fasisme, komunisme, atau kekuasaan militer. Sejak akhir perang dingin, sebagian besar kehancuran demokrasi bukan disebabkan oleh para jenderal dan serdadu, melainkan oleh pemerintah hasil pemilu. Kemunduran demokrai hari ini dimulai dari kotak suara. (halaman 141).

Argumentasi sosiologis  Prof. Ni’matul Huda antara lain menyoroti peran Mahakamah Konstitusi (MK) yang telah melemahkan lembaga-lembaga negara melalui putusannya tentang  UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR),  UU Komisi Yudisial (KY) dan UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menurut hemat penulis semua contoh itu telah menjadi problema real melemahnya  demokrasi. Bahkan dalam berbagai kasusus pembentukan undang-undang oleh DPR RI seringkali hasilnya bertentangan dengan harapan masyarakat.

Contoh paling real dalam konteks kemunduran demokrasi adalah  gagasan tentang perpanjangan jabatan Presiden dan wacana masa jabatan Presiden menjadi 3 periode.  Selanjutnya munculnya tunututan  Kepala Desa se Indonesia yang meminta perpanjangan jabatan menjadi 9 tahun dari sebelumnya hanya 6 tahun. Apakah ini suatu kamuflase ataukah test on the water atau sekadar sebagai warming up, yang jelas fenomena ini mendukung tesis  bahwa watak kekuasaan senantiasa memikirkan perpanjangan jabatan.

Apakah hal demikian etis atau tidak, dapat kita baca pandangan lain tentang demokrasi dikemukakan dari Carol C. Gould, ia menguraikan;

”Demokrasi merupakan bentuk kelembagaan yang terbaik dan benar, yang mengekspresikan nilai-nilai kehidupan dan kebebasan-positif –yang sama. Oleh karena itu, demokrasi pembuatan keputusan memiliki status etis yang harus dipahami secara serius dan hanya dalam kondisi-kondisi khusus dapat atau perlu dipersoalkan ulang. Hanya saja, nilai kehidupan dan kebebasan secara etis memang lebih utama daripada demokrasi… ”(Carol C. Gould, Demokrasi Ditinjau Kembali,  hal. 284.)

Merusak Cara Berfikir

Apa yang penulis maksudkan dengan cara berfikir adalah cara berfikir yuridik. Dalam hukum positif dikenal  semacam adagium bahwa apa saja yang dibentuk oleh kekuasaan yang sah maka produk hukumnya juga sah dan harus ditegakkan. Sebab itu maka  pemerintahan hasil pemilihan umum seharusnya melaksanakan apa yang digariskan oleh UUD NRI 1945. Namun yang kita dengar  adalah gencarnya pelabelan bahwa UUD NRI 1945 hasil amandemen liberal. Selalu memasalahkan UUD NRI sebagai liberal atau bahkan terlalu liveral, jadi terasa  sebagai pembenaran untuk tidak memberlakukan UUD NRI 1945.

Judul tulisan sederhana ini sengaja penulis gunakan kata reformasi –istilah “sakti” pada zaman awal tumbangnya Orde Baru yang sudah tidak pernah lagi diucapkan. Mengapa spirit reformasi harus ditengok, karena bangsa Indonesia harus ingat bahwa sumber utama ditumbangkannya kekuasaan Orde Baru adalah karena kekuasaan tanpa ada batasan periode yang pasti. Maka dikukuhkanlah norma hukum dalam konstitusi sebagaimana termaktub  dalm Pasal 7 UUD NRI bahwa Presiden memegang masa jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan. Gagasan perpanjangan dan/atau penambahan periode kekuasaan Presiden seakan-akan  mengoreksi terhadap buah Gerakan Reformasi. Bukan untuk memperbaiki, melainkan untuk mendorong surut ke belakang.

Immawan Wahyudi, Doen Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan (UAD)

Exit mobile version