Menggugat IMM Studies Amin Azis
Oleh: Ramadhanur Putra
Pertanyaan-pertanyaan ini timbul seketika saat penulis menyelami pikiran Amin Azis lewat bukunya. Setelah purna membaca, penulis mencoba untuk menganalisa, mengkaji, dan merefleksikan tawaran konsep dan gerakan menuju Akademia IMM yang dimaksud oleh Amin Azis.
Mengenal Muhammad Amin Azis
Pada bagian awal ini, penulis ingin mengajak kita bersama untuk mengenali Amin Azis. Latar belakang keluarga, pendidikan, dan kegiatan harian beliau. Hal ini dimaksudkan agar kita dapat memahami faktor-faktor yang membuat Amin Azis melahirkan bukunya, IMM Studies.
Amin Azis lahir dan dibesarkan dari keluarga Muhammadiyah di Padangsidimpuan, Sumatera Utara. Pendidikannya dari Taman Kanak-Kanak hingga Kuliah-pun masih berada dalam naungan pendidikan Muhammadiyah. Bahkan, ketika menempuh pendidikan MA dia sudah beranjak ke Yogyakarta, tempat Muhammadiyah dilahirkan.
Latar belakang pendidikan Muhammadiyah itu semakin diperkuat ketika Amin Azis memulai karir berorganisasinya di IPM Mu’allimin Yogyakarta, dan IMM di Fakultas Agama Islam UMY. Ini adalah hipotesa pertama yang bisa kita ambil, bahwa Amin Azis bisa dikatakan sebagai ‘orang Muhammadiyah (insyaallah) tulen’.
Kemudian, Amin Azis tampaknya adalah seorang yang serius menekuni bidang keilmuan. Ini terbukti dengan beberapa kali ia diamanahi sebagai Ketua Bidang RPK. Apalagi Amin Azis berkiprah di Yogyakarta yang dinamika keilmuannya sangatlah kompleks. Selain itu, Amin Azis juga pernah menjadi kepala redaksi media digital serta menjadi penulis lepas.
Terakhir, geneologi pemikiran Amin Azis -sangat dipengaruhi dari tempat ia berkembang, khusunya PK IMM FAI UMY. Ini terbukti dengan sub-bab dalam tulisannya yang terilhami dari ISP Kuntowijoyo. Memang, di PK IMM FAI UMY, ISP Kuntowijoyo dijadikan sebagai model dalam merumuskan gerakannya.
Pertanyan-Pertanyaan Untuk Amin Azis
Pertama. Dimana letak relevansi judul ‘IMM Studies’ dengan isi buku? Agaknya frasa ‘studies’ yang diambil oleh Amin Azis terlalu berat untuk dipikul oleh substansi bahasan yang ada dalam buku. Hal ini penulis lihat dari tidak adanya kejelasan dari maksud yang diinginkan Amin Azis dengan apa yang dia tuliskan.
Apakah IMM Studies mencoba hadir sebagai pure sciences yang akan menjadi ‘pagar’ diskursus Ke-IMM-an atau applied sciences yang hanya berkutat pada persoalan bangunan keilmuan IMM? Atau, jika kita coba tarik pada pikiran Thomas S. Kuhn, apakah IMM Studies adalah sebuah paradigma atau sebuah teori?
Dalam research programme, ada yang disebut dengan hard core atau inti ajaran dan ada juga yang dimaksud dengan protective belt yang terdiri dari ajaran-ajaran yang dikembangkan dari intinya. Amin Azis kiranya perlu memperjelas orientasi yang ia maksud, agar para pembaca tidak salah kaprah dalam memahami apa yang ditawarkan olehnya.
Kedua. Tidak jauh dari pertanyaan pertama. Apakah sudah apple to apple Islamic Studies dengan IMM Studies? Jika boleh berasumsi, menurut hemat penulis Islamic Studies bisa dikatakan dengan sebuah paradigma untuk membangun pondasi keilmuan islam.
Pada akhirnya, dalam sebuah paradigma Islamic Studies bermunculan teori-teori yang saling berdialektis dan anomalis dari para islamolog. Entah itu dari para orientalis islam ataupun pemikir muslim sendiri.
Nah, apakah kehadiran IMM Studies bermaksud untuk hal demikian? Jika kehadiran IMM Studies juga sebagai paradigma layaknya Islamic Studies, maka konsep akademia IMM dan bagan penelitian yang ditawarkan hanyalah akan mempersempit makna paradigma.
Sebab Islamic Studies bercirikan universal, dipelajari dari dalam dan luar sebagaimana yang diterangkan oleh Amin Azis. Mungkin kita juga bisa pertanyakan, apakah ada pula para orientalis IMM, yang giat dan serius mempelajari IMM dari luar?
Ketiga. Bagaimana konsep revitalisasi ideologi? Pada bagian I buku “IMM Studies; Konsep dan Wacana”. Ada sebuah sub-bab yang membahas terkait perlunya revitalisasi ideologi. Dari apa yang dijelaskan oleh Amin Azis penulis tidak menemukan tawaran atau konsep yang jelas terkait revitalisasi yang dimaksud.
Pada bagian II buku ini, “Interpretasi Konsep Menuju Gerakan”, tercetus akademia IMM dan pentingnya penelitian di IMM. Mungkin jawaban terkait revitalisasi ideologi tadi dituliskan oleh Amin Azis disini. Namun, sebagai sebuah akademia yang siap menjadi ‘pabrik’ nya intelektual IMM, dimanakah letak dimensi matafisik, epistemologi, dan etik sebagai fondasi sebuah ilmu yang akan diproduksi?
Hal ini tentunya sangat perlu dipertanyakan. Sebab jika letak fondasi tadi tidak jelas rimbanya, maka akademia IMM hanya akan memproduksi ilmu pengetahuan yang rapuh dan cacat. Apakah akademia IMM hanya akan memproduksi pengetahuan IMM atau pengilmuan IMM? Ini perlu dipertegas oleh Amin Azis, agar akademia IMM tidak sekedar utopis.
Keempat. Masih relevankah bingkai Gerakan Sosial IMM yang ditawarkan? Amin Azis mencoba untuk mengintegrasikan ISP dan Teologi Al-Ma’un untuk dapat dijadikan bingkai gerakan sosial IMM.
Namun, dizaman yang sudah sangat berbeda ini. Apakah ISP Kuntowijoyo masih relevan? Mengingat kelahiran ISP tidak lepas dari faktor industrialisasi di zamannya. Dan hari ini, persoalan industrialisasi -jika masih- kita sudah semakin kompleks dan berlipat ganda. Apalagi, dalam dinamika perkembangan Islamic studies sudah banyak pula teori-teori yang berkembang dalam pengkajian keislaman. Wallahu a’lam.
Purna-Kata
Pada bagian akhir ini, kita perlu mengakui satu hal, bahwa Amin Azis mencoba memukul ‘pantat’ IMM agar lebih intens dalam memproduksi wacana keilmuan. Mengingat perkembangan zaman yang semakin cepat dan kompleksnya problematika sosial-politik kebangsaan hari ini.
Hal ini pulalah yang digaungkan oleh Amin Azis pada bagian akhir bukunya. Yaitu tentang wacana digitalisasi IMM dan gerakan ekologi. Tampaknya, menjelang Milad ke-59 IMM ini, kita perlu merenungi lagi cita-cita kelahiran IMM dan nilai-nilai yang dibawannya. Sebab, sejarah umat telah menuntut bukti!
Ramadhanur Putra, Ketua Umum PK IMM FAI UMY