Atasi Perkawinan Anak dengan Target Spesifik dan Sinergi Multipihak

Atasi Perkawinan Anak dengan Target Spesifik dan Sinergi Multipihak

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Isu perkawinan anak yang sudah dibincangkan sebelum Indonesia merdeka yakni pada Kongres Perempuan Indonesia pada tahun 1928 hingga kini masih menjadi PR bangsa Indonesia. Hal tersebut disampaikan oleh Sekretaris Umum Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah, Tri Hastuti Nur Rochimah pada Webinar dengan tema “Problem Dispensasi Perkawinan Anak dan Meningkatnya Praktik Perkawinan Anak : Bagaimana Kita Menyikapi?” yang dilaksanakan dalam rangka peringatan Hari Perempuan Internasional tahun 2023 oleh Program Inklusi ‘Aisyiyah.

Dalam acara yang dilaksanakan secara hybrid pada Rabu (15/03/2023) ini Tri menyebutkan bahwa kini angka perkawinan anak di Indonesia masih menduduki peringkat ke-2 tertinggai di ASEAN dan peringkat ke-8 di dunia. “Perkawinan anak masih menjadi PR besar kita, perkawinan anak ini juga merupakan suatu tantangan bagi pemerintah dalam mewujudkan generasi emas Indonesia,” ujar Tri.

Tri sangat menyayangkan masih banyak yang beranggapan bahwa menikahkan anak dengan segera akan mengurangi beban ekonomi keluarga padahal bukan memutus kemiskinan, perkawinan anak menurutnya justru akan memperpanjang dan memperumit rantai kemiskinan itu. Perkawinan anak disebutnya juga akan menghilangkan generasi masa depan anak. “Kita akan kehilangan generasi masa depan karena anak kita harusnya mendapatkan ijazah malah mendapatkan ijab sah. Kita akan kehilangan generasi masa depan di saat kita membicarakan generasi emas,” terang Tri.

Pemerintah disebut Tri sudah mengupayakan kebijakan untuk menurunkan angka perkawinan anak ini dengan melakukan perubahan usia perkawinan melalui UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dimana batas minimal usia perkawinan dari 16 tahun menjadi 19 tahun. Akan tetapi sayangnya Tri menyebut masih banyak masyarakat yang belum mengetahui kebijakan ini. “Oleh karena itu kita harus bekerja sama secara massif dengan berbagai macam saluran informasi untuk menginformasikan bahwa batas minimal perkawinan adalah 19 tahun,” tegas Tri.

Batas minimal usia perkawinan ini disebut Tri sejatinya adalah batas yang paling minim yang bisa ditolerir. “Banyak yang kemudian malah menyatakan, yasudah kalau sudah 19 tahun kan sudah boleh, ini kan batas minimal, padahal kematangan organ reproduksi menurut kesehatan kan minimal 20 tahun, ini yang harus kita diskusikan lebih lanjut.”

Permasalahan lain terkait perkawinan anak menurut Tri adalah tingginya angka pengajuan dispensasi perkawinan dimana ini didukung dengan beberapa problem seperti prosedur dispensasi belum dilakukan sesuai ketentuan, Pengadilan Agama yang cenderung mengabulkan dispensasi karena alas an Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD). Selain itu Tri juga mencatat minimnya upaya pendampingan bagi remaja dalam perkawinan anak.

Begitu kompleksnya situasi perkawinan anak di Indonesia ini menurut Tri memerlukan sinergi multipihak dan kolaborasi untuk dapat mengurainya. “Sinergi multipihak, kolaborasi kita semua penting sekali dalam rangka mewujudkan Indonesia Emas, dalam rangka menurunkan angka perkawinan anak yang terus meningkat.”

Rohika Kurniadi Sari, Asisten Deputi PHA atas Pengasuhan dan Lingkungan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menyebut bahwa pada perkawinan anak dampaknya tidak hanya anak itu sendiri tapi juga orangua, masyarakat, negara. “Karena capaian SDM, manusia yang berkualitas dan berdaya saing tidak akan kita dapat kalau ada perkawinan anak,” terang Rohika. Ia menjelaskan bahwa saat anak harus tumbuh dengan baik tetapi terdapat pelanggaran karena terjadi perkawinan anak.

Lebih lanjut Rohika menjelaskan bahwa dampak perkawinan anak ini adalah ancaman pembangunan manusia. Keberlanjutan pencapaian SDGS juga tidak akan didapat karena anak yang mendapat perkawinan anak menghadapi berbagai ancaman seperti putus sekolah, kesehatan reproduksi yang buruk, dan adanya risiko Angka Kematian Bayi dari kehamilan perkawinan anak. Lebih lanjut Rohika juga menjelaskan bahwa ancaman lain adalah dari aspek sosial seperti adanya KDRT, kemiskinan, dan ancaman lain yang menghambat tumbuh kembang mereka.

Rohika juga menekankan bahwa perkawinan anak akan membawa dampak yang lebih besar bagi anak-anak perempuan. “Dampak perkawinan anak pada anak perempuan lebih multi beban, lebih multi burden, anak perempuan mempunyai risiko seperti dari kesehatan reproduksi yang lebih tinggi, risiko kontraksi rahim yang tidak optimal, Angka Kematian Ibu, dan ancaman stunting bagi anak perempuan lebih banyak diterima.”

Dengan adanya perkawinan anak ini disebut Rohika terjadi pelanggaran hak anak, pengabaian atas perlindungan yang seharusnya diterima oleh anak. Oleh karena itu dengan tegas Rohika mengajak sinergi multipihak untuk penghentian perkawinan anak ini. Pencegahan perkawinan anak ini menjadi krusial untuk dapat kita putus mata rantainya supaya tidak terjadi anak-anak yang terlanjur mengalami perkawinan usia anak. “Kita sepakat bahwa ini PR kita bersama, tidak hanya negara sendiri saja tetapi juga melibatkan masyarakat, kami berterimakasih’Aisyiyah dengan anggotanya sepakat juga melindungi anak dan memastikan anak mendapatkan hak-haknya.”

Dalam acara ini juga dipaparkan praktik baik yang telah dilakukan dalam upaya pencegahan perkawinan anak oleh pemerintahan di dua Kabupaten yakni Lahat dan Bone. Hadir menyampaikan pemaparan adalah Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kabupaten Lahat, Nurlaela serta Direktur LPP Kabupaten Bone yang juga merupakan Sekretaris Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kabupaten Bone, Ratnawati. (Suri)

Exit mobile version