Bahagia dan Gelisah karena Sandal

Bahagia

Foto Ilustrasi Unsplash

Bahagia dan Gelisah karena Sandal

Oleh: Bahrus Surur-Iyunk

Dalam Riyadhush-Sahalihin karya Imam An-Nawawi, dalam bab istihbab rak’atain ba’dal-wudhu’ disebutkan sebuah hadis yang bercerita tentang suara sandal Bilal yang telah sampai di surga,

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ لِبِلاَلٍ: «يَا بِلاَلُ، حَدِّثْنِي بِأَرْجَى عَمَلٍ عَمِلْتَهُ فِي الإِسْلاَمِ، فَإنِّي سَمِعْتُ دَفَّ نَعْلَيْكَ بَيْنَ يَدَيَّ في الجَنَّةِ» قَالَ: مَا عَمِلْتُ عَمَلًا أَرْجَى عِنْدِي مِنْ أَنِّي لَمْ أَتَطَهَّرْ طُهُوْرًا فِي سَاعَةٍ مِنْ لَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ إِلاَّ صَلَّيْتُ بِذَلِكَ الطُّهُورِ مَا كُتِبَ لِي أَنْ أُصَلِّ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ،وَهَذَا لَفْظُ البُخَارِي

Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah SAW berkata kepada Bilal, “Wahai Bilal, ceritakanlah kepadaku tentang satu amalan yang engkau lakukan di dalam Islam yang paling engkau harapkan pahalanya, karena aku mendengar suara kedua sandalmu di surga.” Bilal menjawab, “Tidak ada amal yang aku lakukan yang paling aku harapkan pahalanya daripada aku bersuci pada waktu malam atau siang pasti aku melakukan shalat dengan wudhu tersebut sebagaimana yang telah ditetapkan untukku.” (Muttafaqun ‘alaih. Lafal hadits ini adalah milik Bukhari) [HR. Bukhari, no. 443 dan Muslim, no. 715]. Ad-daffu adalah suara sandal dan gerakannya di atas tanah.

Inilah luar biasanya sandal Bilal. Karena begitu penasarannya dan ingin memberi pelajaran kepada para sahabatnya yang lain, Rasulullah bertanya rahasia kebiasaannya. Tentu saja, apa yang disampaikan oleh Rasulullah sangat membahagiakan Bilal. Bagaimana tidak, saat ia masih di dunia, sandal Bilal sudah nyampai duluan di surga. Sandal Bilal yang terbuat dari pelepah kurma bisa mengantarkannya ke surga, sesangkan sandal Firaun yang terbuat dari emas justru mengantarkannya ke neraka Jahannam.

Dari hadis ini juga ada beberapa hikmah. Pertama, bahwa amalan yang dilakukan dengan sembunyi-sembunyi (bisa jadi) lebih utama, karena keikhlasannya. Kedua, meski amalan itu kecil, tapi jika dilakukan dengan konsisten (istiqamah), akan berpahala besar dan utama di hadapan Allah. Ketiga, ada keutamaan besar bagi mereka yang menjaga wudhu dan disunnahkan shalat dua rakat setelah wudhu. Keempat, bahwa seseorang dibolehkan untuk bertanya dan menceritakan (tentunya) tentang amalan baik kepada seseorang dalam rangka memotivasi diri untuk beramal dan meneladani kebaikannya.

Berbeda lagi dengan apa yang dialami As-Sa’di Shirazi, sang sufi penyair (w. 1291). As-Sa’di adalah ulama yang hidup pada saat Jengis Khan menyerahkan kekuasaannya kepada anaknya. Ia juga mengalami kehidupan pahit yang dialami umat Islam saat itu. Ia biasa berkelana dari tempat ke tempat yang jauh.Tetapi, selama perjalanannya itu, ia justru tidak bergumul dengan para pembesar dan pejabat. Ia lebih senang duduk bersama rakyat biasa di warung-warung terpencil hingga larut malam. Ia suka bertukar pikiran dengan para pedagang, petani, pengkhutbah, musafir, pengemis, sufi dan bahkan pencuri. Hamper selama 20 tahun ia istiqamah melakukan dakwah, menasehati, belajar, dan memberikan pencerahan kepada masyarakat jelata.

Hingga suatu hari ia berkesempatan memiliki sandal baru. Agar berkah, dipakailah sandal itu pertama kali ke masjid. Selesai shalat dan hendak turun masjid, sandal itu tidak ditemukan. Ia kelilingi masjid itu, tapi tetap saja sandal itu tidak diketemukan. Maka, pulanglah Sa’di dengan perasaan gundah dan pikiran yang tetap mengingat sandal itu.

Karena merasa belum lengkap dalam pencarian, di tengah jalan Sa’di Kembali lagi ke masjid untuk mencari sandalnya. Sesampainya di masjid, ia bertemu dengan seorang laki-laki yang baru datang dari safar. Lelaki yang sedang beristirahat di teras masjid itu kehilangan satu kakinya. As-Sa’di lalu memandanginya. Ia berpikir balik ke dirinya yang kehilangan sandal, “Dia yang tidak memiliki satu kaki saja santai-santai saja, mengapa saya yang hanya kehilangan sandal saja gelisah dibuatnya.” Setelah itu, As-Sa’di pun pulang dengan lapang dan dilupakanlah sandalnya.

Inilah pelajaran bersyukur dari seorang As-Sa’di. Dalam sebuah hadis Rasulullah bersabda,

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: انْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ أَسْفَلَ مِنْكُمْ، وَلَا تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ، فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ لَا تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ. (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ).

Dari Abu Hurairah r.a. berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Lihatlah orang yang berada di bawah kalian (dalam kenikmatan dunia) dan jangan melihat orang yang berada di atas kalian, karena hal itu lebih pantas agar kalian tidak menganggap rendah nikmat Allah yang telah dianugerahkan kepada kalian.” (Muttafaq ‘Alaihi).

Lihatlah orang yang lebih rendah dalam nikmat dunianya. Saat engkau menaiki mobil yang mungkin agak jadul, maka lihatlah orang yang mengendarai sepeda motor yang kepanasan dan kehujanan. Saat engkau mengendarai sepeda motor, lihatlah orang yang menaiki sepeda onthel yang selalu didahului oleh pengendara bermotor. Saat engkau menaiki sepeda biasa, lihatlah begitu banyak orang yang bisanya hanya bisa berjalan kaki dengan dagangannya (lagi!). Wallahu a’lamu.

Exit mobile version