Cerita Ramadhan: Menjaga Durabilitas Spiritual

Qiyam Ramadhan

Foto Ilustrasi

Cerita Ramadhan: Menjaga Durabilitas Spiritual

Oleh: Adrian Al-fatih 

Seperti umumnya mahasiswa rantau, pulang menjadi tradisi wajib setiap memasuki awal bulan Ramadhan, kami menyebutnya ammuntuli bulang. Memastikan santap sahur bersama dikampung halaman dengan orang-orang terkasih adalah kemewahan yang tidak boleh terlewatkan.

Sebagai mahasiswa dengan latar akademik pendidikan agama islam memberikan semacam beban moril yang lebih berat, terlebih ditengah masyarakat kita ‘dinggap serba tahu’ terkait perkara-perkara agama. Ini seperti ujian terbuka dalam universitas kehidupan yang semakin menggugah kesadaran bahwa bertanggung jawab secara kompetensi gelar akademik adalah keharusan. Meski tentu dalam beberapa hal saya sering disclaimer dan terbuka untuk sesuatu yang memang saya belum ketahui. Nda tau juga saya pak/bu… hahaha

Menjelang waktu isya diberanda masjid saya dibisikilah oleh sepupu yang kebetulan panitia meminta kesediaan mengisi ceramah taraweh, refleks saya senyum dan ketawa tipis-tipis sambal berfikir bagaimana caranya supaya yang lain saja bukannya menyiapkan apa kira-kira poin subtantif yang penting untuk disampaikan sebagai materi ceramah.

Dan akhirnya dengan segala keterbatasan saya mengisi ceramah taraweh yang beberapa poinnya akan ditulis disini. Fyi, ini cukup traumatik karena pernah beberapa tahun silam di interupsi oleh salah satu jamaah (ibu saya sendiri) dan diminta berhenti. Sudami dulu nak, lain kalipi lagi… (kurang lebih bahasanya begitu), kejadiannya sekitar tahun 2013 atau 2014. Sangat memorable hahaha

Membuka dengan Do’a Malaikat Jibril as.

Diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah ra. Kurang lebihnya begini, pernah suatu waktu Malaikat Jibril datang dan menyampaikan tiga do’a dan langsung disambut oleh Rasulullah Saw. dengan Amiin…Amiin…Amiin. Lalu para sahabat bertanya apakah yang sedang diaminkan oleh Rasulullah. Salah satu do’a yang diaminkan itu adalah “Celakalah, celakalah ummatmu Muhammad yang berkempatan bertemu dengan bulan Ramadhan tapi dia sama sekali tidak mendapatkan ampunan dari Allah Swt.” Dalam Riwayat yang lain (HR.Muslim) Rasululullah Saw. Bersabda “Barangsiapa yang bertemu bulan Ramadhan kemudian berlalu begitu saja dan dia tidak mendapat ampunan dari Allah Swt. Maka celaka dia, celakalah dia!”

Ramadhan adalah lautan magfirah (ampunan) yang sungguh merupakan kerugian amat besar ketika tidak memaksimalkan diri untuk memperoleh magfirah-Nya. Tempaan Ramadhan harusnya menjadikan kita pribadi yang semakin mendekatkan diri kepada Allah Swt. (taqarrub ilallah) dengan amalan-amalan yang meperkokoh fitrah kita sebagai hamba –abdillah- (QS.51:56).

Ketika ramadhan dalam makna etimologisnya adalah membakar (ramida, ar-ramad), sedang perintah puasa sebagai ibadah istimewa didalamnya dalam makna etimologinya adalah menahan (shiyam, shaum) maka api Spririt Ramadhan yang harus senatiasa kita kobar dan rawat-aktualkan adalah dengan menjadikannya madrasah ruhani sebagai sarana dalam mendidik diri mengeliminir dan menundukan syahwat biologis kita (bashariyun) dan segala bentuk penguasan yang buruk (fujur) menuju fitrah kemanusian kita yang otentik (insaniyah-taqwa).

Semangat amaliyah Ramadhan adalah fastabiq al-khaerat (berlomba-lomba dalam kebajikan), mengupayakan dengan daya optimal kebajikan-kebajikan (‘amalun shalihah) dengan kualitas yang ahsanu ‘amala. Kiranya yang ingin kita capai bukan sebatas kenikmatan spiritual individualistik saja tetapi spritualitas yang mengkristal menjadi kebermanfaatan dan berorientasi kepada kemaslahatan sosial. Boleh jadi kata ‘celaka’ yang dimaksud Jibri as. Dalam Riwayat diatas adalah mereka yang hanya tenggelam dalam ritus personal tetapi abai menangkap nilai pembebasan Ramadhan dalam melatih empati social kita sebagai bentuk holistic dari spritualitas yang harus kita gali kedalamannya sehingga mengalir-deraskan magfirah (ampunan) dalam balutan Rahman-Rahim-Nya.

Dari ibadah ritual ke ibadah social

Kita mengimani bahwa setiap syariat yang diperintahkan -utamanya yang pokok dalam agama- tidak hanya berdiri sebagai sesuatu yang vertical-ilahiyah atau semerta bentuk hubungan kepada Tuhan semata (habluminallah) tetapi secara bersamaan wujud relasi ilahiyah itu mengandung nilai yang seimbang (balance) dengan hubungan horizontal kita kepada sesama makhluk (habluminannas, habluminal ‘alamin).

Perintah puasa misalnya, secara umum adalah aktifitas menahan diri dari perbuatan yang berupa syahwat perut dan kemaluan serta hal-hal yang membatalkannya sesuai yang ditetapkan syariat sampai waktu yang telah ditentukan (QS.02:187). Disaat yang sama kita seperti diperintahkan untuk membaca perintah puasa ini melampaui teksnya (bayani), pesan pastinya tentu saja bagaimana puasa ini melatih sensitivitas social kepada yang berkekurangan, puasa adalah ritus yang mengarahkan keberpihakan kita secara moril kepada sesama yang membutuhkan (dhuafa).

Kita juga melihat bahwa adapun orang-orang yang dalam kondisi tertentu memenuhi persyaratan tidak berpuasa (sakit, uzur dan lainnya) maka selalu ada dispensasi dan punishment yang diberikan pun adalah sanksi-sanksi yang punya kebermanfaatan social secara langsung seperti membayar fidyah keorang miskin atau memberi makan orang-orang lapar. Itulah mungkin yang dimaksud oleh Ali Syariati dalam bukunya islam dan sosialisme bahwa ritus puasa adalah bagaimana belajar menjadi orang miskin dan belajar kelaparan. Belajar setara dan merasakan saat tak punya.

seperti halnya puasa, ibadah primer yang lain tentu mengandung dimensi social (habluminannas) yang tak kalah kuat. Ketika Allah Swt. memerintahkan shalat maka sesungguhnya itu adalah perisai yang idealnya menjadi tameng untuk kita terhindar dari hal-hal yang merusak -diri dan kehidupan social- (tan-haa ‘anil-fahsyaai wal-mungkar) dan segala bentuk penyebab patologi social yang lain (QS.29:45). Zakat pun demikian, sebuah konsep pemeratan dan distribusi keadilan yang islam tawarkan untuk menjawab ketimpangan social dan ekonomi. Satu dari kompleksnya problem kemanusiaan yang kita hadapi.

Pengamalan nilai-nilai ‘ubudiyah harus mulai dinaik kelaskan dari sesuatu yang sifatnya ritus-formil menjadi praksis-sosial dimana pancaran cahaya dimensi esoteric (batiniah) dari ibadah yang dilakukan menjadi navigator sekaligus stimulator segala tindakan eksoterik (lahiriah) kita sehingga menghasilkan kehidupan yang saling mengasihi, menebar kedamaian, kebermanfaatan, membantu sesama yang membutuhkan, dan tidak memberi ruang sedikitpun kepada apapun yang merusak keharmonisan social kemanusian.

Dengan ini derajat kehambaan kita pacu untuk selalu bergerak maju menuju kesempurnaan kemanusiaan (insan kamil) sebagai fitrah dari kesempurnaan penciptaan (ahsanu taqwin) dan menghidarkan diri dari segala bentuk yang menjerumuskan kita kepada kerendahan dan kehinaan kehidupan (asfala safilin). Khairunnas anfauhum linnas, Sebaik-baik manusia adalah mereka yang paling bermanfaat kepada yang lain (HR.Ahmad).

Merebut mahkota Taqwa

Seringkali kita mendengar pengandaian bulan Ramadhan sebagai bulan kompetisi untuk mengejar predikat taqwa. Lewat mimbar-mimbar masjid provokasi kabaikan itu tersampaikan sehingga hasrat beramal semakin terpacu demi mendapatkan predikat muttaqien (QS.02:183). Dalam banyak hal Ramadhan memang kadang menyuguhkan fenomena kekagetan spiritual, tentu saja ini hal yang positif tetapi problem selanjutnya kadang menyisakan durabilitas spiritual yang lemah. Boleh jadi penyebabnya ada pada kualitas pengayaan amaliyah kita yang rendah sehingga nafas konsistensi pengamalan Ramadhan kita juga tidak berkelanjutan (sustainable).

Dalam kamus keagamaannya, Prof. Quraish shihab menerjemahkan taqwa sebagai upaya menjaga diri dari segala yang membahayakan (bentuk Masdar dari ittaqa-yattaqi). Beliau melanjutkan bahwa taqwa mengandung pengertian menjaga diri dari segala perbuatan dosa dengan meninggalkan segala yang dilarang Allah Swt. dan melaksanakan segala yang diperintahkan-Nya. Taqwa dalam analogi al-qur’an disebut sebagai pakaian (libaasut-taqwaa, QS.07:26). Sementara dalam salah satu kajian, Prof. sukidi (intelektual muda Muhammadiyah) menyebut taqwa sebagai upaya pendayagunaan akal secara optimal.

Ramadhan adalah momentum yang paling tepat untuk merajut Kembali fitrah taqwa dalam diri melalui amaliyah-amaliyah (‘amalun shaliha) dengan kualitas paling terbaik (ahsanu ‘amala) dari yang kita miliki sebagai upaya totalitas (kaffah) dalam mengaktualkan kehambaan kita kepada Allah Swt. Sehingga nilai Ramadhan ini menjadi pakaian ketaqwaan yang memproteksi kita dari apapun yang menjerumuskan kita keluar dari fitrah penciptaan sebagai khalifatullah (QS.02:30) dan Abdullah (QS.51:56).

Karena sesungguhnya mental ibadah dari madrasah ruhani Bernama Ramadhan ini tidak hanya berakhir dalam hitungan hari saja tetapi memiliki kontiniuitas (istiqamah), menjadi habitus dan kita sama-sama mengharap Ridha-Nya untuk menjadi bagian dari hamba-Nya yang muttaqien. Amiin…

Adrian Al-fatih, Kader IMM

Exit mobile version