Ramadhan yang Menggembirakan
Oleh: Dani Yanuar Eka Putra, S.E, A.kt, M.A
Ramadhan menjadi mulia karena Allah Swt memilihnya sebagai satu-satunya bulan yang disyariatkan untuk berpuasa sebulan penuh pada 10 Sya’ban dua tahun setelah Nabi Saw melaksanakan hijrah ke Madinah (QS: Al-Baqarah (2): 183). Ramadhan menjadi mulia karena di dalamnya terdapat peristiwa diturunkannya Al-Qur’an di malam penuh keberkahan (QS: Ad-Dukhan (44): 3). Kemuliaan Ramadhan bukan diakibatkan oleh bulan itu sendiri, namun kemuliaan karena berbagai sebab peristiwa yang terjadi padanya.
Bulan ke-9 dengan nama Ramadhan adalah nama bulan yang secara bahasa terambil dari kata ramidha-yarmadu yang bermakna panas, kering, terik, dan membakar. Mengapa demikian, karena dalam sejarahnya Ramadhan menjadi bulan dimana di jazirah Arab mengalami musim panas sebelum terjadi perubahan iklim yang menyebabkan ketidakteraturan cuaca. Jika dimaknai secara luas, Ramadhan adalah bulan “pembakaran/penempaan” dengan puasa pada kaum beriman selama satu bulan untuk mengantarkan pada insan bertakwa hingga menjadi pribadi muhsin yang mendapat kebahagiaan dunia akhirat.
Kegembiraan Ramadhan
Hari-hari menjelang Ramadhan, kaum muslimin bersiap menyambut Ramadhan dengan berbagai kegiatan. Mulai dari pengajian, melakukan kerja bakti pada masjid, hingga pawai menyambut Ramadhan. Hal tersebut dilakukan menunjukkan bahwa Ramadhan adalah bulan yang kehadirannya membawa semangat kegembiraan dan ketaatan sekaligus. Hal tersebut bukan tanpa alasan, bahkan alasan teologis keagamaan pernah diutarakan oleh Nabi Saw, “Bagi pelaku puasa mendapatkan dua kebahagiaan, pertama, kebahagiaan pada saat berbuka, kedua, kebahagiaan pada saat bertemu dengan Robnya.” (HR. Muslim).
Pesan keagamaan yang disampaikan oleh Nabi Saw ingin menegaskan bahwa, berpuasa dengan segala macam amalan utama di dalamnya adalah kegembiraan dalam beragama. Sehingga meskipun beberapa orang tidak memahami bahwa Nabi Saw pernah berpesan demikian, namun nuansa kegembiraan tersebut telah nampak bagi para kaum muslimin yang menyambutnya dengan berbagai ekspresi tersebut di atas.
Kegembiraan atau kebahagiaan tersebut adalah otentik yang terbukti selalu berulang di setiap tahun saat kehadiran Ramadhan tiba di tengah-tengah kaum muslimin. Jika ada di antara kaum muslimin yang justru malah bersedih dengan kehadirannya, maka patut dipertanyakan spiritualitas dirinya. Kegembiraan hadirnya Ramadhan adalah fitrah bagi kaum muslimin yang masih memiliki iman di dalam dirinya.
Kegembiraan saat Berbuka
Jika merujuk pada filsafat atau ilmu mantiq, setiap manusia memiliki berbagai ukuran masing-masing dalam kebahagiaan. Sebagian menganggap bahwa dia akan bahagia ketika telah mencapai jabatan tertentu. Pihak lain menganggap bahwa bahagia adalah ketika berhasil memiliki rumah dengan tipe tertentu atau mobil merk tertentu. Beberapa yang lain menganggap bahwa kebahagiaan adalah ketika dirinya mencapai ini dan itu. Setiap orang akan mengukur kebahagiaan berdasarkan pada apa yang meliputi pikiran dan hatinya.
Namun mari kita perhatikan hadist yang diriwayatkan oleh Muslim di atas tentang kebahagiaan atau kegembiraan yang pertama. Nabi Saw ingin menegaskan sekaligus melalui syariat ini ingin mengajarkan bahwa kegembiraan itu sebenarnya sangat mudah. Melalui Syariat berpuasa Ramadhan kita diajarkan kegembiraan yang sederhana. Namun faktanya kita seringkali melupakannya ketika tidak berada di luar Ramadhan atau tidak sedang berpuasa. Kegembiraan itu berupa anugrah nikmat dari Allah Swt berupa dapat makan dan minum.
Sehari tidak bertemu makan dan minum karena ketundukan kita untuk imsak (menahan) menjadikan kita begitu rindu kepada keduanya. Kerinduan yang teramat lalu tertunaikan pada saat kita berbuka. Lalu kerinduan begitu memuncak terobati dengan begitu gembira ketika lisan melafalkan “bismillahirrahmaanirrahiim” lalu meneguk minuman manis dilanjutkan dengan membaca “dzahaba ad-dzomau wa ab-tallati al-‘uruqu wa tsabata al-ajru, insya Allah” (HR. Abu Dawud).
Itulah salah satu puncak kegembiraan yang diajarkan Ramadhan. Ramadhan mengajarkan kepada kita untuk begitu mudahnya bergembira sekaligus mengekspresikan kesyukuran yang tertinggi atas nikmat bisa makan dan minum. Apalah artinya rumah bagus, mobil mewah, jabatan tinggi, dan berbagai hal lainnya ketika Allah Swt mencabut kenikmatan makan dan minum. Semua menjadi tak bernilai ketika makan dan minum tidak enak. Makan dan minum begitu sangat berharga ketika puasa dijalankan.
Pada beberapa hari terakhir kita banyak disuguhkan dengan berbagai tayangan dan informasi tentang beberapa elit bangsa yang hidup isrof (berlebihan) mengekspresikan kegembiraan semunya dengan memamerkan berbagai fasilitas dari rakyat yang dimilikinya. Sungguh tak patut hal yang demikian dilakukan di saat sebagian besar anak bangsa terus berusaha berjuang untuk melangsungkan kehidupan. Ini seolah ingin menegaskan dan membuktikan apa yang telah disampaikan oleh lembaga negara bahwa ada segilitir orang yang dapat mengakses kekayaan dan kesejahteraan Indonesia begitu besar dibandingkan anak bangsa yang lain.
Jika dihubungkan dengan Ramadhan, sungguh sikap isrof sangatlah bertentangan dengan spiritualitas Ramadhan tentang konsep kegembiraan penuh kebersahajaan yang diajarkan. Ramadhan mengajarkan untuk terbiasa mensyukuri nikmat sederhana dengan tetap menahan diri dari hal-hal yang dilarang selama puasa Ramadhan. Jika yang halal saja dapat kita kendalikan, maka tentulah yang terlarang pasti dapat kita tinggalkan. Mari terus memupuk keimanan untuk terbiasa gembira terhadap yang sederhana namun sangatlah berharga dan dibenarkan oleh Allah Swt. Semoga kegembiraan Ramadhan mengantarkan kita pada derajat itqan dan ihsan. Wallahu a’lam.
Dani Yanuar Eka Putra, S.E, A.kt, M.A, Ketua Korps Mubaligh Muhammadiyah Kota Depok