Mencari Jalan Digital IMM

Mencari Jalan Digital IMM

Mencari Jalan Digital IMM

Oleh: Ramadhanur Putra

Dalam beberapa tahun belakang, diskursus mengenai digitalisasi gerakan IMM menjadi sangat alot diperbincangkan, terkhusus di Jogja. Tulisan ini akan mencoba untuk mencari jalan digital IMM melalui model pengembagan Gerakan Sosial Profetik (baca; GSP). Lazim kita ketahui, bahwa Ilmu Sosial Profetik mendapatkan porsi khusus dalam tubuh IMM. Terkhusus dalam rangka mencari metodologi gerakan yang transformatif.

Kenapa harus bertransformasi di ruang digital? Ini pertanyaan yang perlu dijawab sebelum melanjutkan tulisan ini. Mafhum kita lihat, bahwa hari ini kita sedang berada di era-informasi. Hal ini ditandai dengan berkembangnya teknologi komunikasi berbasis digital. Sehingga, ini jualah yang mengakibatkan massifnya penggunaan media massa baru (online). Apalagi di era pasca-covid 19 ini.

Dari Informatif-Dokumentatif Menuju Informatif-Edukatif

Muhammad Fakhruddin dalam pengantar IMM Studies menyebutkan bahwa Kuntowijoyo membagi sejarah perkembangan umat islam Indonesia dalam tiga tahap; mitos-ideologi-ilmu (Azis, 2022). Kuntowijoyo beraggapan bahwa di masa yang modern dan plural yang ditandai dengan industrialisasi, islam harus dapat menjadi sebuah ilmu pengetahuan yang inklusif dan objektif agar dapat disentuh oleh seluruh umat manusia. Oleh karenanya, islam tidak boleh menjadi mitologi ataupun ideologi.

Dalam keperadaban umat manusia, Alvin Toffler membagi tiga era pokok kemanusiaan; agrasis-industrialis-informasi (Wuryantai, 2004). Sekarang, kita sedang berada di era-informasi sebagaimana yang dimaksud oleh Toffler. Era ini ditandai dengan dipermudahnya penyebaran informasi dengan adanya teknologi komunikasi yang mutakhir. Teknologi komunikasi digital yang lebih sederhana, cepat, dan praksis.

Perkembangan era-informasi ternyata juga merambat dalam budaya aktivisme IMM. Hal ini dapat ditandai dengan penggunaan teknologi komunikasi digital oleh beberapa pimpinan di IMM. Tipologi perkembangan era-informasi dalam tubuh IMM, khususnya penggunaan media massa baru berbasis digital bisa kita lihat dari dua hal.

Pertama, informatif-dokumentatif. Hal ini penulis lihat dari perkembangan media digital yang dimiliki oleh IMM. Pada masa awal, kesadaran bermedia digital hanya sebatas kesadaran untuk meninformasikan sebuah dokumentasi kegiatan ataupun menginformasikan sebuah kegiatan. Teknologi komunikasi dipakai sebagai alat untuk menyampaikan informasi-dokumentatif.

Kedua, informatif-edukatif. Hal ini ditandai dengan adanya konten-konten yang berbasis value untuk disebarluaskan. Untuk hal ini, masih menjadi tugas besar bagi kita semua. Sebab, dunia digital telah berhasil menjadi realitas baru kehidupan (Jean Baudrillard menyebutnya Hyperreality).

Hari ini, kemungkaran sebagai musuh besar IMM juga bersemayam di dalam dunia digital. Oleh karena itu, upaya-upaya liberasi, humanisasi, dan transendensi perlu mendapatkan porsi khusus dalam peran informatif-edukatif dari teknologi komunikasi berbasis digital

Media Digital Sebagai Gejala Objektif

Hal selanjutnya, perlu kita sadari bahwa media digital adalah sebuah gejala objektif baru. Pada masa industrialis, Kuntowijoyo menjadikan partai dan negara sebagai gejala objektif. Agaknya hari ini, media digital juga dapat dijadikan sebagai gejala objektif bagi jalan masuknya GSP.

Dalam hal ini, setidaknya ada tiga hal yang perlu diperhatikan untuk menjadikan media digital sebagai gejala objektif dan media alternatif gerakan sosial profetik. Hal ini dilandasi dari tiga corak umum gerakan sosial baru.

Pertama, Framing Isu (Branding Media). Dalam dunia digital yang plural, identitas kita hanya akan diketahui dengan isu apa yang membranding media kita. Orang tidak akan pernah peduli dengan siapa kita sebenarnya, keluarga kita, pendidikan kita, apalagi agama kita. Jadi, penekanan terhadap fokus gerakan atau isu yang digaungkan oleh media tertentu menjadi sebuah keharusan.

Dalam hal ini, IMM perlu membentuk identitasnya tersendiri dalam dunia digital. Identitas yang lebih melekat pada nilai-nilai yang dibawa, bukan pada simbol-simbol formalnya. Semisal, IMM perlu menghadirkan media media alternatif yang fokus pada isu-isu tertentu yang ingin diselesaikan.

Kedua, Menjaring Sekutu (Kolaborator). Dalam dunia digital, upaya upaya kolaborasi tetap harus diupayakan. Upaya kolaborasi ini adalah proses menjaring sekutu dalam dunia digital. Hal ini tentu nantinya akan berdampak luas pada penyebaran informasi-edukasi yang dilakukan. Sekarang, kita mengenal fitur-fitur kolaborasi seperti; kolaborator, tag, mention, repost, dan lainnya.

Ketiga, Konsistensi Produksi Konten. Dalam GSB untuk melanggengkan wacana perlawanan dilakukanlah langgam pertentangan. Langgam pertentangan itu berguna untuk memberi efek kejut dan bahkan bersifat solutif dalam mengawal isu yang difokuskan.

Dalam dunia digital, untuk melakukan langgam pertentangan tersebut, konsistensi produksi konten adalah jawabannya. Konsistensi produksi konten dilakukan untuk memberikan edukasi secara bertahap dan konsisten. Sejalan dengan itu, konsistensi ini juga merupakan salah satu cara pengawalan isu di dunia digital oleh para netizen.

Membangun Metode Digitalisasi Gerakan Sosial Profetik

Dalam membangun metode gerakan sosial profetik. Kita dapat melakukan beberapa hal. 1) Internalisasi, hal ini merupakan syarat mutlak dalam membentuk digitalisasi gerakan. Mulai dari penyediaan fasilitas pokok dan pendukung, hingga ke pelatihan kemahiran dan sebagainnya. Sekolah Lentera PK IMM FAI UMY adalah salah satu bentuk internalisasi digitalisasi GSP ini.

2) Eksternalisasi, ini adalah proses pengimplementasian digitalisasi GSP. Hal ini dapat dimulai dari membangun strategi, pasar, media, dan, komoditas dari sebuah produk digital tersebut. Dalam bagian ini, ada satu hal menarik yang ingin saya terangkan, bahwa kita sangat membutuhkan Buzzer.

Ya, Buzzer yang selama ini kita maknai secara negative karena tingkahnya. Namun, dalam dunia digital mau tidak mau kita harus bisa bertindak seperti buzzer untuk kepentingan yang kita anggap baik. Dalam hal ini adalah humanisasi, liberasi, dan transendensi.

3) Objektifikasi, sebagaimana yang kita jelaskan diatas tadi. Bahwa dalam dunia digital ada realitas yang plural. Orang tidak akan peduli dengan background kita. Tapi, orang hanya akan fokus pada apa yang kita bawa pada media digital. Sehingga, nilai-nilai yang kita bawa itulah yang kemudian dengan sendirinya membentuk identitas kita.

Ketika hal itu terjadi, maka itulah yang disebut dengan objektifikasi. Ketika nilai-nilai yang kita bawa pada dunia digital diterima oleh orang lain. Tanpa harus mengetahui background kita. Dan oleh karena itu, dalam dunia digital tidak perlu pula untuk membawa simbol-formal organisasi yang pada akhirnya akan membatasi nilai guna informasi-edukasi di dunia digital.

Ruang Publik Media Baru; Cita-Cita Digitalisasi GSP

Transformasi profetik Kuntowijoyo dengan pilar humanisasi, liberasi, dan transendensi menginginkan masyarakat ideal yang dia sebut dengan garden city. Konsep masyarakat ini adalah perpaduan harmonis masyarakat agraris dan industrialis yang beragama. Dalam arti lain, garden city adalah tempat layak huni bagi manusia, baik itu secara ekologis, sosial, moral, dan spiritual (Sani, 2017).

Dalam kepentingan digitalisasi gerakan IMM pada era-informasi ini. Sepertinya kita bisa menilik kembali pandangan Jurgen Habermas dengan apa yang disebutnya sebagai public sphere (ruang publik). Mengingat, salah satu fungsi IMM adalah sebagai panoptik atau ‘pendisiplin’ para penguasa ditengah kompleksnya problematika sosial-politik. Media massa baru berbasis digital menjadi peluang dalam menciptakan partisipasi politik yang lebih koheren dan konsisten.

Dalam sejarahnya, Habermas melihat bahwa partisipasi politik hanya dimiliki oleh para elit penguasa dengan adanya media massa cetak pada zamannya. Oleh karena itu, untuk mewujudkan demokrasi yang deliberatif, Habermas menekankan perlunya ruang publik sebagai wadah untuk mewujudkan partisipasi politik masyarakat yang berdasar pada tindakan-komunikatif yang lebih berbobot (mutual understanding).

Habermas mempercayai adanya proses perkembangan masyarakat yang dia sebut dengan evolusi sosial (Listiyono Santoso, 2014). Evolusi sosial tersebut hanya akan terjadi jika ruang publik benar-benar menciptakan iklim demokrasi yang sehat. Agaknya, digitalisasi GSP ini harus memiliki orientasi yang jelas, yakni terciptanya ruang publik media baru berbasis digital yang sehat dan partisipan.

Ruang publik media baru bukanlah sebuah utopia yang sulit untuk digapai. Mengingat dunia digital adalah dunia yang sangat bebas, cepat, dan global. Sehingga, keterlibatan publik (khususnya IMM) dalam ranah politik sangat terbuka dalam mewujudkan transformasi profetik di ruang digital.

Kendatipun akhir-akhir ini kita melihat adanya diskriminasi ruang publik media baru atas hak-hak kebebasan berpendapat di ruang digital dengan adanya aturan-aturan tertentu. Tapi, itu sama sekali tidak menutup kemungkinan akan terciptanya ruang publik media baru dunia digital yang lebih demokratis.

Lihat saja misalnya, bagaimana peran netizen dalam mengawal kasus penembakan sesama ‘oknum’ polisi yang viral kemarin. Ini adalah bukti sekaligus peluang dalam mewujudkan cita-cita digitalisasi gerakan IMM itu.

Wallahu A’lam

Ramadhanur Putra, Ketua Umum PK IMM FAI UMY 2022-2023

 

Exit mobile version