Dominanisasi Spiritualitas Ruhiyah Puasa

Dominanisasi Spiritualitas Ruhiyah Puasa

Dominanisasi Spiritualitas Ruhiyah Puasa

Oleh: Dani Yanuar Eka Putra, S.E, A.kt, M.A

Kata malaikah adalah bentuk jamak dari kata malakun yang bermakna ar-rusul atau utusan. Dalam bahasa Indonesia, kata malaikat adalah bentuk tunggal, sedangkan bentuk jamaknya adalah malaikat-malaikat.  Malaikat adalah makhluk Allah Swt dengan berbagai nama-nama dan tugas-tugasnya. Masyhur di kalangan kita dijelaskan bahwa malaikat berjumlah sepuluh. Namun sebenarnya malaikat berjumlah sangat banyak. Di salah satu hadist disebutkan bahwa Nabi Muhammad Saw pernah melihat Nabi Ibrahim a.s yang bersandar di Baitul Ma’mur, di sana terdapat 70.000 malaikat (HR. Bukhari dan Muslim).

Beberapa di antara kita begitu hafal terhadap malaikat yang berjumlah sepuluh. Namun jika dihubungkan dengan 70.000 malaikat, tentulah tidak satupun dari kita menghafal dengan yang sejumlah tersebut. Beberapa ulama ada yang menyebutkan bahwa selain yang sepuluh, ada nama-nama malaikat lain yang memiliki nama-nama dan tugas-tugas tertentu yang jarang kita dengar. Diantaranya adalah malaikat Kiraman Kaatibin dan malaikat Hafazah (Yunahar Ilyas, 2018).

Buya Hamka dengan mengutip sebagian pandangan ulama menjelaskan bahwa Raqib, Atid, Kiraman Katibin, dan Hafazah adalah satu kesatuan malaikat dengan bidang yang berbeda-beda malaikat dengan kesatuan tugas berbeda-beda. Sebagian lainnya berpendapat semua itu berlainan (Hamka, 1956). Dalam kajian Aqidah, Malaikat menjadi bagian pembahasan. Karena Aqidah adalah tentang rukun iman. Iman kepada Malaikat merupakan rukun iman yang ke dua.

Penciptaan Malaikat dan Sifatnya

Dari Aisyah r.a berkata Rasulullah Saw bersabda, “Malaikat diciptakan dari cahaya, jin diciptakan dari api yang menyala-nyala dan Adam diciptakan dari sesuatu yang telah disebutkan (ciri-cirinya) untuk kalian.” (HR. Muslim). Hadist ini menjelaskan bahwa malaikat adalah makhluk Allah Swt yang diciptakan dari cahaya. Penciptaannya dari cahaya menunjukkan kemuliaannya yang selalu tunduk, patuh, menunjukkan jalan terang, menyelesaikan persoalan, dan menyampaikan berbagai amanah Allah Swt berkaitan dengan alam semesta.

Beberapa ciri atau sifat malaikat disebutkan di dalam Al-Qur’an dan hadist Nabi Saw. Malaikat memiliki sayap, ada yang dua, tiga atau empat (QS: Fathir (35):1). Bahkan dalam hadist Nabi Saw disebutkan malaikat Jibril memiliki sayap berjumlah enam ratus (HR. Muslim). Kepemilikan sayap oleh malaikat sebagai makhluk ruh yang ghoib dilarang digambarkan kecuali yang dijelaskan di dalam syara’ mutawatir. Wujud hakikatnya (termasuk sayapnya) hanyalah diketahui oleh Allah swt. Pertemuan Malaikat kepada para Nabi lebih banyak dalam wujud menyerupai manusia. Meskipun pada hadist di atas Nabi Saw bertemu dengan malaikat Jibril dengan sayapnya berjumlah enam ratus saat beliau dimi’rajkan.

Sifat lainnya, malaikat tidak makan, minum (QS: Hud (11): 70), berpasangan dan tidur (QS: Al-Anbiya (21): 20). Sehingga berdasarkan keterangan tersebut malaikat tidak memiliki rasa lapar, haus, berhasrat, berjenis kelamin dan merasa lelah. Mereka sepanjang masa mengkuduskan serta mentasbihkan Allah Swt.

Selain itu, malaikat dapat menjadi limmah (penggerak hati) terhadap manusia untuk membisikkan pada kebaikan dan ketaatan, sedangkan syaitan membisikkan sebaliknya (HR. Tirmizi). Malaikat adalah makhluk ruh yang tidak pernah membangkang terus menerus melakukan ketaatan. Sedangkan berbeda dengan manusia yang diciptakan dengan dua potensi (fujur dan taqwa). Manusia jika Taqwa bisa lebih mulia dari malaikat dan manusia kedudukannya jatuh lebih rendah dari pada binatang ternak ketika akal sucinya tidak mampu membimbing nafsunya sekaligus menuruti ajakan syaitan.

Relasi Makhluk Ruh dan Ruhaniah Puasa

Ramadhan dengan shiyam adalah ibadah yang penekanan utamanya pada aspek spiritual ruhani. Manusia adalah makhluk yag terdiri atas jasmani dan ruhani. Keberadaan ruh manusia begitu dirasakan paling mudah pada saat kita bermimpi. Kencenderungan ruh secara fitrah sebenarnya pada ketaatan dan ketundukan. Itulah mengapa ruhani suci harus mampu mengendalikan tabiat buruk yang ada pada manusia. Sebagian ulama menyebutkan bahwa ruhani harus mampu mendominasi jasad. Shiyam adalah syariat Islam yang mengajarkan kepada orang beriman untuk dapat mendominanisasi ruhani terhadap jasmani yang dimiliki. Ketika ruhani suci dapat mengendalikan, maka niscaya yang tercermin dan terpancar dari manusia adalah sifat-sifat dan sikap-sikap yang utama dan berkeadaban.

Orang beriman, ketika Ramadhan diperintahkan untuk imsak (menahan diri) dari makan, minum, berhubungan suami istri di siang hari, bahkan mengurangi tidur (i’tikaf) di saat sepuluh hari terakhir Ramadhan. Ada kesamaan antara larangan puasa  dengan sifat dari makhluk ruh yang bernama malaikat sebagaimana dijelaskan di atas. Ketika malaikat tidak makan, minum, berpasangan, dan tidur, pelaku puasa juga melakukan hal yang sama. Relasi antara makhluk ruh dan penguatan ruhani pelaku puasa begitu nampak terlihat.  Seolah-olah Allah Swt melalui puasa memerintahkan orang beriman untuk mensifati malaikat yang selalu tunduk dan patuh kepada-Nya.

Ibroh Shiyam dan Sifat Malaikat

Melalui penciptaan malaikat dan sifatnya beserta pensyariatan shiyam kepada orang beriman maka Ramadhan mengedukasi atau mengajarkan kaum beriman untuk menguatkan spiritualitas ruhani melalui beberapa amalan saat Ramadhan. Pertama, spiritualitas Ramadhan mengantarkan sikap Ihsan. Ihsan atau akhlak adalah sifat yang sangat utama. Dari Umar bin Khattab, Nabi Saw menjelaskan bahwa yang dimaksud ihsan adalah “engkau beribadah seolah-olah engkau menyaksikan-Nya, namun jika tidak mampu menyaksikan-Nya (karena memang tidak mungkin secara hakikat), maka sesungguhnya Dia menyaksikan engkau”. (HR. Muslim).

Sikap ihsan adalah sikap yang melampaui dari pada itqan. Mengapa demikian, karena orang yang memiliki ihsan adalah pastinya akan melahirkan akhlak berwujud perilaku terbaik yang dilakukan dalam setiap fase kehidupan. Sedangkan itqan adalah sikap yang sebatas menjalankan perintah dan menjauhkan yang terlarang.

Sebagaimana dikutip melalui hadist di atas, seseorang bersifat ihsan dengan mewujudkannya dalam bentuk melahirkan perbuatan terbaik dikarenakan selalu merasakan bersama atau dibersamai Allah Swt. Baik menyaksikan keberadaannya, atau merasakan kehadirannya. Inilah yang diajarkan saat berpuasa. Puasa adalah ibadah yang bersifat sangat pribadi antara pelaku puasa dengan Allah Swt. Sifatnya yang sangat pribadi menjadikan dirinya termotivasi untuk melakukan segala sesuatu dengan yang terbaik. Itulah mengapa pahala puasa dibalas langsung oleh Allah Swt melampaui pahala dengan kelipatan tujuh ratus kali lipat. (HR. Bukhari).

Kedua, Shiyam adalah ibadah yang menguatkan  spiritual yang mengantarkan pada terbiasa bahagia terhadap yang sederhana. Shiyam atau puasa mengajarkan pada setiap harinya terbiasa berbahagia dengan sesuatu yang sederhana namun sangatlah berharga. Sesuatu yang sangat sederhana tersebut berupa nikmat makan dan minum. Nikmat makan dan minum saat Ramadhan adalah kenikmatan yang begitu besar dan sangat berharga. Nikmat makan dan minum seringkali tidak kita perhatikan ketika di luar Ramadhan. Itulah mengapa Nabi Saw memberikan berpesan bahwa bagi pelaku puasa mendapatkan dua kebahagiaan. Kebahagiaan pertama saat makan (berbuka atau beridul Fitri) dan kebahagiaan kedua adalah saat bertemu Tuhannya. (HR. Muslim).

Ketiga, spiritualitas puasa mengantarkan untuk hidup sederhana sekaligus bersahaja yang terhindar dari Isrof (berlebihan). Imsak harus dibawa hingga berganti hari (malam). Kendali tetap dibawa terhadap yang halal dalam bentuk menghindari berlebihan meskipun telah berbuka. Ramadhan mengedukasi kepada orang beriman untuk tidak terbawa oleh hawa nafsu berlebihan (apalagi berkolaborasi dengan ajaka syaitan) meskipun telah dihalalkan. Beberapa hari terakhir kita dipertontonkan oleh segelintir elit negara yang begitu bangga dan berbahagia semu dengan memamerkan berbagai macam kekayaannya yang diperoleh melalui keringat rakyat di saat jutaan orang berusaha keras berjuang untuk melanjutkan hidup. Sungguh yang demikian sangatlah bertentangan dengan pengajaran Ramadhan terhadap orang beriman.

Fakta lainnya, tahun 2023 Bank Indonesia telah menyiapkan kebutuhan uang tunai selama Ramadhan dan Idul Fitri 1444 sebesar 195 trilyun. Jumlah tersebut mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya 8.2% dengan porsi terbesar pada pulau jawa yaitu 119.6 trilyun. (https://nasional.kontan.co.id/news/bi-siapkan-uang-tunai-rp-195-triliun-untuk-kebutuhan-ramadan-dan-idul-fitri). Hal ini menggambarkan kepada kita bahwa begitu tingginya kebutuhan kaum muslimin (karena agama mayoritas Indonesia) saat Ramadhan.

Keadaan tersebut menyelisihi tentang shiyam bermakna menahan/menahan disertai sikap qanaah yang diajarkan saat berbuka dengan apa yang ada. Meskipun keadaan tersebut menunjukkan keadaan positif dalam bentuk geliat ekonomi, namun yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa hidup kaum muslimin menjadi lebih konsumtif ketika bulan Ramadhan dan Syawal jika dibandingkan dengan bulan yang lain. Sementara saat bersamaan, puasa yang diperintahkan adalah menahan/mengendalikan.

Demikianlah relasi makhluk ruh dan spiritualitas puasa di dalam Ramadhan. Ramadhan adalah satu bulan yang diciptakan sekaligus ditentukan sebagai satu bulan dengan pengajaran utama yang terletak pada peningkatan spiritualitas. Spiritualitas yang tinggi sangatlah diperlukan untuk berhadapan dengan realita kehidupan yang begitu kompleks. Kompleksitas kehidupan dunia haruslah dapat dikendalikan dan diarahkan oleh spiritualitas ruhani yang selalu memiliki kecenderungan untuk tunduk dan patuh kepada kepada Allah Swt dan melahirkan berbagai kebajikan. Wallahu a’lam.

Dani Yanuar Eka Putra, S.E, A.kt, M.A, Ketua Korps Mubaligh Muhammadiyah Kota Depok

Exit mobile version