Nawaitu dalam Perspektif Amal
Oleh: Masud HMN
Beberapa puluh tahun yang lalu Mohamad Natsir berpesan agar jangan berhenti tangan berkayuh. Anjuran Natsir itu meski amal belum diterima dan ditolak kiranya amat penting disadari. Berkaitan amal dengan banyak bermal tetapi tidak sukses.
Tokoh Islam mantan Ketua Umum partai Masyumi itu memberi spirit tidak menyerah. Natsir tidak ingin umat itu terjangkit putus asa. Karena putus asa adalah dosa,Umat harus berusaha terus tanpa henti (Suara Muhamadiyah Online 4, Februari 2021).
Ibnu Qayyim seorang pemikir Islam klasik menyatakan hubungan amal sukses atau tidak adalah berkaitan dengan latar belakang yang menjadi sebab amal tertolak. Menyadari sebab nya mengapa ditolak, atanya seperti di kutip Hudaya, sukses menjadi nikmat bila gagal menjadi fitnah atau sangka buruk. Yang jelas kata Ibnul Qayyim gagal itu karena dosa.
Kajian yang menghubungkan nawaitu dalam perpektif amal lantaran ada yang diterima dan amal yang ditolak. Hingga amatlah perlu menjadi perhatian agar amal itu maksimal dalam pelaksanaan. Agar tercapai sesuai apa yang diinginkan dan yang dikerjakan. Bukan sebaliknya apa yang diusahakan lain yang didapat. Bila yang diupayakan tak juga berhasil. Berarti gagal dalam bekerja
Oleh sebab itu berusahalah dengan baik dan cermatlah berkerja. Hal itu sangat sesuai dengan anjuran agama yaitu senantiasa menjaga dan mengawal usaha. Apa pun pekerjaan yang dilakukan. Anda lakukanlah dengan benar.
Ada tanda amal yang ditolak, mekipun amalnya banyak. Oleh karena itu seharusnya amal yang kita buat memenuhi syarat yang ditentukan. Agar amal yang dilakukan mendapat imbalan yang diharapkan.
Seperti yang terdapat dalam Al-Qur’an, Allah dengan yang baik pula, Bukan amal saja bercampur dosa. Bukankah kita beramal mengharapkan balasan dari Allah tentu sejalan amal yang dibuat. Yang baik dibalasi (diijabah) dengan baik. Sejalan dengan janji Allah dan takkan memungkirinya.
Jangan lupa ada syarat syaratnya harus dipenuihi dan tidak boleh dilupakan, maksudnya jangan ditinggalkan. Dijelaskan ada tiga hal. Yaitu (1) yang beramal dengan ridha Allah ikhlas (2) yang ada aturannya menurut apa petunjuk dari nabi (3) yang berkelanjutan terus menerus kontinu. Ketiga syarat itu adalah simultan, terikat satu dengan yang lainnya
Pertama syarat amal yang diijabah yang dikabulkan adalah mencari ridha Alla. Bukan karena hal lain semisal ingin dihormati lantaran suka memberi, menyumbang, Suka atau dengan senang dibilang baik hati. Pokoknya diiringi degan niat selain dari ridha Allah.
Soal ini terkait dengan nawaitu atau niat seseorang. Amal haruslah dengan nawaitu mengharapkan imbalan dari Allah semata. Seperti dijelaskan oleh agama bahwa amal sesuatu tergantung niat atau nawaitunya.
Kedua,amal yang tiada ilmunya, ditolak tak sesuai apa yang diajarkan. Jadi ada hukum yang harus diikuti apa yang dikerjakan nabi. Umpamanya shalat harus ikut yang diajarkan nabi. Kata nabi, sollu raituushalli, holatlah kamu seperti aku shalat.
Artinya hukum yang harus ditegakkan tidak boleh di luar hukum hukum yang berlaku. Beramal yang menurut hukum itu wajib dilakukan. Beramal itu harus berrilmu.
Ketiga, terus menerus atau kontinu. Beramal itu harus berkelanjutan, maksudnya tidak boleh setengah-setengah hati. Seperti kadang-kadang mau kadang tidak mau.
Dengan meminjam ungkapan filsafat yaitu Forenstan, tidak berupaya untuk berkelanjutan,atau kontinuitas jangan hanya bila ada kesempatan
Demkianlah seharusnya jika amal ingin diijabah atau dikabulkan. Syarat dan rukunnya dipenuhi. Kalau tidak, amal tidak dikabulkan karena tidak memenuihi kriteria.
Karenanya kita tidak ingin amal ditolak. Beramallah seuai dengan niat,rukun dan berkelanjutan. Inilah kreteria amal yang sukses dan berhasil.
Akhirnya marilah setiap amal perbuatan ikuti syarat dan rukun. Dengan ihklas, berkalanjutan. Demikianlah syarat yang harus ditunaikan. Berniat yang benar, berilmu sungguh-sungguh. Sukses akan dating, Insya Allah.
Dr Masud HMN, Dosen Pascasarjana UHAMKA Jakarta.