Puasa Ramadhan, Takwa, dan “Forgiveness as Love”

puasa sunah

Foto Ilustrasi Unsplash

Puasa Ramadhan, Takwa, dan “Forgiveness as Love”

Oleh: Wildan, Nucholid Umam Kurniawan, dan Ida Rubaida

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas

kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas

orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”

(QS Al-Baqarah [2] : 183).

Adapun kata “puasa”, yang sering kita pakai, diambil dari bahasa Sanskerta dan memiliki arti yang sama dengan kata shawm, yang diambil dari bahasa Arab, yakni pengendalian diri. Pengendalian diri yang dimaksud adalah dalam pengertian dasar-nya, yakni pengendalian diri atas dorongan berlaku tamak (Madjid, 1998).

Menurut Ibnu Katsir dalam bukunya “Al-Bidayah wa An-Nihayah”, terjemahan (2017), masuk Tahun 2 H diwajibkan puasa Ramadhan. Pada tahun ini juga Rasulullah Saw. memerintahkan kepada manusia untuk menunaikan zakat fitrah. Rasulullah melaksanakan shalat ‘Id bersama dengan umat Islam yang keluar bersama-sama dengan beliau menuju ke lapangan tempat shalat. Ini adalah shalat ‘Id yang pertama kali dikerjakan oleh Rasulullah Saw.

Menurut Nurcholish Madjid (1998), dalam bukunya “30 Sajian Ruhani, Renungan di Bulan Ramadhan”, dalam firman yang memuat perintah Allah kepada kaum beriman untuk berpuasa sebagaimana kutipan di awal tulisan ini, dijelaskan bahwa tujuan puasa adalah untuk menjadi lebih bertakwa.

Takwa adalah kesejajaran “iman” dan “tali hubungan dengan Allah” – dengan kata iain merupakan dimensi vertikal yang benar. Perlu diingat bahwa seluruh isi kitab suci Al-Qur’an dimaksudkan sebagai petunjuk bagi mereka yang bertakwa.

Dalam ayat-ayat pertama surah Al-Baqarah dapat kita baca bahwa orang yang bertakwa itu adalah mereka yang beriman kepada yang gaib, menegakkan shalat, mendermakan sebagian harta – karunia Tuhan kepada mereka, percaya kepada ajaran yang diturunkan kepada Nabi Saw. dan yang diturunkan sebelum beliau, dan yakin akan Hari Akhirat.

Kelima ciri takwa itu dapat ditafsirkan sebagai beriman secara an sich (menerima adanya kenyataan gaib), beribadah sebagai usaha pribadi melakukan pendekatan kepada Tuhan, mengakui adanya kontinuitas dan kesatuan ajaran kebenaran dalam agama-agama sepanjang zaman, dan kesadaran tentang tanggung jawab pribadi di hadapan Tuhan pada Hari Kemudian.

Dari kelima unsur yang menjadi ciri ketakwaan itu, unsur pertama, yaitu keyakinan kepada yang gaib, mendapat penanaman dan peneguhan yang utama melalui ibadah puasa.

Dari semua bentuk ibadah, puasa adalah ibadah yang paling pribadi, personal, atau private, tanpa kemungkinan bagi orang lain untuk dapat sepenuhnya melihat, mengetahui, dan – apalagi – menilainya. Sebuah hadis-qudsi (Firman Allah dengan pengkalimatan Nabi Saw.) menuturkan : “Puasa adalah untuk-Ku semata, dan Akulah yang menanggung pahalanya”. Artinya, pada dasarnya tidak ada yang tahu bahwa seseoroang berpuasa, selain Allah (dan dirinya sendiri).

Mengapa orang berpuasa, padahal dia dapat membatalkan atau menggugurkannya kapan  saja dia  mau, pada saat dia sedang sendirian? Mengapa orang bersedia menahan lapar dan dahaga serta segala pemenuhan biologis lainnya, padahal dia dapat melakukan itu semua kapan saja secara pribadi dan rahasia atau sembunyi-sembunyi, tanpa diketahui orang lain? Jawabnya tidak lain karena ia mempunyai keyakinan bahwa Tuhan selalu menyertai, melihat, dan mengawasinya.

Ia tidak akan melanggar suatu larangan sekalipun ia dalam keadaan sendirian tanpa ada sesama manusia yang tahu, karena Dia yang secara gaib selalu hadir bersamanya, yaitu Allah subhan-aAllah-u wa ta’ala. Ia sepenuhnya menyadari bahwa apa pun yang ia lakukan, baik ataupun buruk, biar pun hanya seberat dzarrah (atom), Allah akan mengetahui dan memperhitungkannya (QS Al-Zalzalah [99] : 7 – 8). Sebab Allah beserta manusia di mana pun ia berada, dan Allah mengetahui segala sesuatu yang ia kerjakan (QS Al-Hadid [57] : 4). Lebih lanjut, Allah mengetahui apa pun yang ada di semua langit dan apa pun yang ada di bumi.

Tidak ada bisikan antara tiga orang kecuali Dia yang keempat, tidak lima orang kecuali Dia adalah yang keenam, tidak kurang dari itu atau pun lebih dari itu, kecuali Dia bersama mereka di mana pun mereka berada. Kemudian pada Hari Kiamat, Dia akan beberkan kepada mereka segala sesuatu yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Mahatahu atas segala sesuatu (QS Al-Mujadalah [58] : 7).

Karena inti, pangkal atau sumber takwa ialah keimanan yang mendalam  kepada Allah, dan kesadaran tanpa ragu sama sekali akan kehadiran-Nya dalam hidup dan segala kegiatan manusia, maka puasa sebagai ibadah yang sangat private itu merupakan latihan dan peragaan kesadaran Ke-tuhanan itu. Inilah yang menjadi tujuan pokok ibadah puasa, yang kemudian melimpah kepada nilai-nilai hidup lain yang amat tinggi. Misalnya, dengan puasa yang dijalankannya dengan kesadaran yang mendalam akan kehadiran Tuhan dalam hidup itu, seseorang dilatih untuk menahan diri (makna asal kata Arab ‘shiyam” atau “shawm” memang “menahan diri”). Yaitu menahan diri dari dorongan dan desakan memenuhi kebutuhan biologis yang menjelma menjadi dorongan “hawa nafsu”.

Sebuah hadis Nabi mengatakan, “Barang siapa tidak meninggalkan perkataan palsu dan ;pengamalannya, (tidak meninggalkan) kebodohan (kejahatan)-nya, maka Allah tidak peduli bahwa orang itu tidak makan dan tidak minum (puasa)”. Artinya bila seseorang menahan lapar dan dahaga namun tetap melakukan amal buruk seperti omongan palsu, fitnah, sikap menyakiti orang lain, dan seterusnya, maka Tuhan tidak perlu kepada puasanya itu. Jadi sia-sia belaka ibadah puasanya. Ini tentu wajar sekali, dan dengan sendirinya benar, karena konsekuensi dari keinsyafan yang mendalam akan kehadiran Tuhan dalam hidup ialah moralitas yang tinggi, budi pekerti luhur, atau al-akhlaq al-karimah.

Karena menyadari bahwa Allah senantiasa mengawasi dan memperhitungkan segala amal perbuatannya, maka seorang yang bertakwa dengan sendirinya tidak akan melakukan suatu tindakan yang sekiranya Allah tidak memberi perkenan (ridla) kepadanya dan dengan begitu ia tidak dapat mempertanggungjwabkannya di Hari Kiamat. Inilah yang dimaksud oleh sabda Nabi Saw. bahwa “yang paling menyebabkan manusia masuk surga ialah takwa kepada Allah dan budi pekerti luhur”.

Brain, mind, and behaviour, otak, jiwa (pikiran maupun  perasaan), dan perilaku. Secara relatif otak manusia terbesar, jauh mengalahkan semua jenis hewan. Sebagai ilustrasi, berat otak manusia 1,5 kg, sedangkan berat jazad keseluruhan adalah 60 kg. Diperoleh perbandingan 1:40. Berat otak ikan paus, jenis mamalia terbesar yang ada sekarang, 2 kg dan berat jazad 20 ton, maka diperoleh perbandingan 1:10.000. Maka, berat relatif otak manusia jadi 250 kali dari ikan paus (Wassil, 2001).

Manusia dari kata manu (bahasa Sanskerta) dan mens (bahasa Latin) yang berarti “makhluk berakal budi”. Dengan demikian, Puasa Ramadhan adalah anugerah Allah kepada umat manusia, agar manusia senantiasa menjaga dan memelihara akal budinya. Dalam bahasa jaman now, manusia “di-install” ulang pola pikir dan perilakunya agar berubah dari beragama simbolik menjadi beragama substantif, dari saleh ritual menjadi saleh esesnsial !

Atau, dalam bahasa kesehatan, Puasa Ramadhan adalah latihan rohaniah (spiritual exercise) yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia, agar manusia senantiasa menjaga dan memelihara kesehatan rohaninya !

Para Nabi adalah contoh manusia yang sesungguhnya manusia, manusia yang perilakunya manusiawi, tidak hewani. Para Nabi contoh manusia yang sukses naik kelas, dari sehat rohani menjadi bugar rohani (moral fitness) ! Oleh karena itu, para Nabi punya karakter sama, yaitu sidiq (lurus), jujur (mengatakan apa yang telah dilakukan) dan berintegritas (melakukan apa yang telah dikatakan), amanah (dapat dipercaya), menyampaikan pesan kebenaran (tabligh), dan smart (fathanah).

Puasa Ramadhan, Kesehatan dan Gizi

Memang, kesehatan bukan segalanya tetapi tanpa kesehatan segalanya tidak ada maknanya, health is not everything but without it everything is nothing, demikian kata Arthur Scopenhauer (1788 -1860).

Menurut Undang-Undang RI No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik (jasmani), mental (nafsani), spiritual (rohani), maupun sosial (mujtama’i) yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis.

“Bahasa menunjukkan bangsa”, demikian kata pepatah. Sayangnya Bahasa Indonesia kita miskin, hanya mengenal dua kosa kata yang berkaitan dengan kesehatan, yaitu sehat jasmani dan sehat rohani. Akibatnya, ganggun jiwa (gangguan nafsani) dianggap atau dimasukkan ke dalam sakit rohani. Akibatnya lebih lanjut, pasien gangguan jiwa diperlakukan tidak sepatutnya, seperti : dipakai bahan lelucon, direndahkan, dianggap hina, aib keluarga, dan seterusnya. Pelaku amal salah ini, justru orang-orang yang merasa sehat rohani. Ironi !

Menurut Prof. Kusumanto Setyonegoro, Guru Besar Psikiatrri FK-UI, bahwa gangguan jiwa itu identik dengan penderitaan manusia (human suffering). Pasien dengan gangguan psikotik (bahasa awam gila) merupakan puncak penderitaan manusia, sehingga pasien mengalami disintegrasi (retak, pecah) kepribadiannya. Pasien tidak bisa membela diri dan memperjuangkan nasibnya ! Lagi-lagi, mereka mendapat perlakuan yang tidak sepatutnya, seperti dipasung, ditelantarkan, tidak diobatkan bahkan dibuang. Siapa lagi pelakunya jika bukan mereka yang merasa sehat rohani.

Lalu siapa yang sebenarnya sakit rohani? Contoh paling gamblang adalah koruptor ! Apa bedanya maling dengan koruptor? Maling ada niat dan peluang. Sedangkan koruptor, ada niat, peluang dan kekuasaan. Jika maling adalah sakit rohani kelas teri, maka koruptor adalah sakit rohani kelas kakap sampai ikan paus. Jika pasien gangguan jiwa berat (psikosis) merusak atau mengamuk, paling-paling yang menderita paling pol orang-orang sekampung. Beda dengan koruptor, yang menderita dan menjadi korban satu negara, satu bangsa, rakyat !

Dampak sosial akibat korupsi adalah kemiskinan, anak-anak kurang gizi, jalanan rusak, fasilitas kesehatan tak memadai, atau masalah mendasar yang ada di tengah masyarakat. Jadi koruptor itu selain tidak sehat rohani juga sekaligus tidak sehat mujtama’i (sosial) ! Langkah progresif dalam penindakan korupsi dengan menerapkan biaya sosial akibat korupsi bisa dilakukan untuk mentransformasikan “Republik Korupsi” menjadi “Republik Kesejahteraan, demikian tulisan Budiman Tanurejo (2023) dalam tulisannya berjudul Republik Korupsi.

Dari semua cabang kekuasan sudah ada perwakilan koruptor. Di cabang eksekutif ada menteri, gubernur, bupati/walikota meringkuk di penjara karena korupsi. Di cabang kekuasaan legislatif, banyak anggota DPR dan DPRD mendekam di lembaga pemasyarakatan karena menilap uang rakyat. Di cabang yudikatif sami mawon. Baik hakim agung maupun hakim konstitusi, hakim pengadilan negeri punya perwakilan koruptor di penjara. Dari kalangan advokat, polisi, dan jaksa juga perwakilan koruptor di penjara.

Dilihat dari sisi partai politik, hampir semua parpol, yang berbasis agama atau nasionalis, juga punya perwakilan koruptor. Dari lingkungan dunia akademis ada juga rektor yang masuk penjara karena makan dana mahasiswa dan dianggap korupsi. Tentunya ada representasi pengusaha. Para nabi diutus Tuhan, dalam bahasa kesehatan, agar umatnya sehat rohani (etik, moral dan hukum) ! Jika umatnya ada yang sakit nafsani itu urusannya dokter jiwa ! Gitu loh.

“Anda adalah yang anda makan, biarkan makanan menjadi obatmu dan obatmu adalah makananmu. Kesehatan sangat tergantung pada makanan yang dipilih, you are what you eat, let your food be your medicine, and your medicine be your food. Health depends chiefly on the choice of food”, demikian kata Hippocrates, Bapak Ilmu Kedokteran 460 – 370 SM).

Disadari atau tidak, diakui atau tidak, sebagai bangsa bisa jadi selama ini kita makan “sekedarnya”, jika enggan mengatakan “asal makan, asal kenyang”, tanpa ilmu pengetahuan, tanpa memanfaatkan ilmu gizi maupun karena alasan ekonomi. Ilmu gizi adalah pengetahuan tentang makanan dalam hubungannya dengan kesehatan dan proses di mana organisme menggunakan makanan untuk pemeliharaan kehidupan, pertumbuhan, bekerja anggota dan jaringan tubuh secara normal serta produksi tenaga, demikian menurut Maimunah Hasan dalam bukunya “Al-Qur’an dan Ilmu Gizi” (2001).

Merujuk pada tulisan Deonisia Arlinta (2023), yang berjudul : “Problem Tubuh Pendek Bangsa Indonesia”. Selama satu abad sejak 1896 sampai 1996, pertumbuhan tinggi badan pada penduduk Korea Selatan paling pesat di dunia. Bahkan, hal itu menjadikan Korea Selatan sebagai bangsa yang paling tinggi di Asia. Dari studi yang dilakukan J Bentham dkk dan diakses pada eLifesciences.org tahun 2016 berjudul “A Century of Trends in Adult Human Height”, peningkatan tinggi badan penduduk di Jepang hampir mencapai 10 cm dalam rentang waktu 40 tahun dari 1965 sampai 2005. Pada 1965, tinggi badan rata-rata penduduk laki-laki 165,9 cm. Angka itu naik menjadi 173,1 cm pada 2005.

Peningkatan tinggi badan juga terjadi pada penduduk perempuan. Pada 1965, tercatat tinggi badan rata-rata perempuan 155 cm, kemudian meningkat menjadi 160,2 cm pada 2005.

Namun, pertumbuhan tinggi badan di Indonesia tercatat stagnan. Data menunjukkan rerata tinggi badan usia dewasa dari 1985 hingga 2019 hanya bertambah 5 cm. Pada 1985, tinggi rerata penduduk laki-laki dewasa 161,6 cm dan perempuan 150,1 cm. Tinggi badan tersebut meningkat pada 2019 menjadi 166,3 cm pada laki-laki dan 154,4 cm pada perempuan.

“Di Korea Selatan, juga di Jepang dan Belanda, mencapai peningkatan tinggi badan optimal akibat konsumsi protein (kata protein berasal dari bahasa Yunani yang berarti pertama dalam hidup) meningkat dari masa ke masa. Hal ini didukung oleh suplai makanan yang melimpah”, ujar peneliti dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Upaya Kesehatan Masyarakat BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional), Kencana Sari.

Kondisi tersebut justru berkebalikan dengan Indonesia. Konsumsi protein hewani dan nabati sebesar satu banding tiga. Selain itu, konsumsi susu di Indonesia masih amat rendah, yakni 16,3 kg per kapita per tahun. Sebagai perbandingan, konsumsi susu pada penduduk di Jepang mencapai 200 kg per kapita per tahun.

Hal itu menunjukkan faktor genetik hanya berpengaruh kecil pada tinggi badan seseorang. “Meski tinggi badan bersifat keturunan, tapi dari lebih 200 gen yang terdeteksi dalam berbagai penelitian genomik hanya 10 persen yang menjelaskan hubungan dengan tinggi badan”, tutur Kencana.

Peran faktor non-genetik, seperti asupan gizi, penyakit, dan lingkungan, jauh lebih besar mempengaruhi tinggi badan seseorang. Oleh karena itu, Indonesia seharusnya bisa berpotensi mengalami peningkatan rata-rata tinggi badan pada penduduknya.

Tinggi badan penduduk di suatu bangsa secara tak langsung bisa dipengaruhi situasi ekonomi, politik, mutu kesehatan, pendidikan, budaya, sistem ketahanan pangan yang terjadi di negara tersebut. Ketika kondisi perekonomian suatu negara sedang krisis, angka kemiskinan cenderung bertambah. Tingkat inflasi pun meningkat.

Tingkat inflasi tersebut secara tidak langsung bisa juga berpengaruh pada status gizi masyarakat. Itu terjadi karena daya beli yang berkurang. Sementara di Indonesia beberapa kali mengalami krisis.

“Tinggi badan bisa menjadi prediktor dari kondisi kemajuan ekonomi dan lingkungan secara jangka panjang di suatu daerah”, ujar Kencana.

Sistem ketahanan pangan di Indonesia yang kurang baik juga berpengaruh terhadap kecukupan gizi masyarakat. Harga pangan di Indonesia jauh lebih mahal dibandingkan negara tetangga. Hal itu terutama untuk harga pangan protein hewani, seperti daging, ayam, ataupun susu. Jenis pangan tersebut dianggap sebagai pangan yang mahal dan sulit dijangkau sebagian masyarakat.

“Padahal, untuk tumbuh diperlukan konsumsi protein hewani yang memadai. Tetapi, kenyataanya, konsumsi protein pada anak di Indonesia sangat rendah dan tidak mencapai angka kecukupan dianjurkan”, tutur Kencana.

Pada tahun 2021, konsumsi daging ayam di Indonesia sebesar 8,1 kg per kapita, sedangkan rata-rata dunia 14,9 kg per kapita. Untuk rata-rata konsumsi daging sapi di Indonesia 2,2 kg per kapita, sedangkan di dunia 6,4 kg per kapita. Asupan protein hewani amat penting untuk mengoptimalkan tinggi badan seseorang. Asupan protein hewani harus dipastikan tercukupi mulai dari 1.000 hari pertama kehidupan, yakni sejak bayi dikandung hingga usia 2 tahun. Kecukupan asupan protein hewani  itu juga perlu diperhatikan selama masa pertumbuhan.

Seseorang masih bisa mengalami pertumbuhan yang optimal hingga usia remaja sebelum pubertas terjadi. Adapun rata-rata masa akhir pubertas pada remaja perempuan di usia 13-15 tahun. Sementara pada laki-laki di usia 15-17 tahun. Protein hewani berupa ikan, daging, dan telur harus tersedia pada setiap porsi anak.

Pemerintah diharapkan bisa memudahkan warga untuk mengakses protein hewani dengan harga yang terjangkau. Program khusus pun bisa dilakukan untuk memastikan ibu hamil dan anak bisa mendapatkan asupan protein hewani yang cukup.

Kesehatan itu berkaitan dengan sifat Tuhan Al-Rahman, Maha Kasih tanpa pilih kasih. Artinya, biarpun hamba-Nya kafir, Allah tetap kasih kepada mereka. Nikmat kesehatan, sebagai bentuk rahmat Allah kepada kita, tidak tergantung iman kita, tidak tergantung pada ibadah kita, tidak tergantung pada kesalahan kita. Tetapi tergantung pada seberapa jauh kita mengetahui masalah-masalah kesehatan (Madjid, 2015).

Menurut dr. Zaidul Akbar (2020) dalam bukunya yang berjudul “ Jurus Sehat Rasulullah”, berpuasa merupakan suatu proses pembersihan tubuh dari berbagai racun yang masuk ke dalam tubuh kita serta memberikan efek antipenuaan atau antiaging. Salah satu hormon yang berperan dalam proses tumbuh kembang manusia adalah hormon IGF-1. Namun pada individu dewasa, hormon ini justru mempercepat proses penuaan.

Hormon IGF-1 ini bisa dihambat ketika sudah dewasa dengan mengurangi laju metabolisme tubuh melalui puasa. Berpuasa 1-2 kali dalam seminggu mampu mengaktifkan gen anti penuaan serta menurunkan risiko penyakit degeneratif. Hal ini sejalan dengan ajaran dalam Islam yakni puasa sunnah Senin dan Kamis. Menurut Hiromi Shinnya, lapar itu sehat. Artinya orang yang sering lapar atau puasa adalah orang-orang sehat karena mereka menahan laju metabolisme tubuh mereka. Menurut penelitian yang dilakukan di College of medicine, King Saud University, Riyath ada beberapa fakta yang luar biasa berkaitan dengan puasa sebagai berikut:

  1. Puasa dapat digunakan untuk mengobati penyakit yang berasal dari kegemukan seperti aterosklerosis, hipertensi dan diabetes melitus.
  2. Puasa dapat digunakan sebagai terapi bagi penderita rheumatoid arthritis
  3. Puasa sebagai terapi bagi penderita gastritis
  4. Puasa dapat memperbaiki pencernaan
  5. Puasa dapat memperbaiki kelenjar endokrin
  6. Puasa dapat memperbaiki fertilitas bagi laki-laki dan perempuan
  7. Puasa meningkatkan kecerdasan dan daya ingat
  8. Puasa memperbaiki sel-sel yang sudah tua dan digantikan dengan sel-sel yang baru

Begitu banyak manfaat puasa yang dikaji oleh ilmu kesehatan masa kini. Namun untuk mendapatkan manfaat puasa tersebut harus disertai dengan pola makan yang sehat sehingga saat menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan kecukupan gizi tetap tercukupi.

Pola makan sehat saat puasa adalah suatu cara atau usaha  dalam mengatur jumlah dan jenis makanan untuk mempertahankan kesehatan dan status gizi selama berpuasa dengan mengatur asupan gizi saat berbuka dan sahur. Pola makan yang tidak sehat selama puasa ramadhan seperti sering mengkonsumsi  makanan siap saji, melewatkan makan sahur dan mengkonsumsi makanan dengan porsi yang berlebihan justru akan menimbulkan gangguan kesehatan.

Pola makan saat puasa perlu disesuaikan dengan perubahan frekuensi makan. Jumlah makanan saat puasa disesuaikan dengan kondisi diri. Komposisi makanan harus seimbang, cairan harus tercukupi, dan pemilihan jenis dan suhu minuman juga harus sesuai sehingga kita dapat menjaga daya tahan tubuh selama berpuasa.

Selama berpuasa akan terjadi perubahan pola makan dari tiga kali menjadi dua kali sehari. Perubahan frekuensi makan ini akan menurunkan jumlah zat gizi yang masuk ke dalam tubuh sekitar 20-30%. Hal ini akan menyebabkan penurunan berat badan pada seminggu pertama puasa karena tubuh sedang melakukan adaptasi dengan pola makan yang baru.

Tubuh akan tetap memiliki energi yang cukup untuk beraktivitas saat puasa, dengan mengambil cadangan energi dari lemak yang tersimpan di bawah kulit dan dari glikogen yang tersimpan di otot dan hati. Untuk minggu-minggu berikutnya tubuh akan beradaptasi dengan pola makan yang baru sehingga penurunan berat badan akan berjalan lambat atau bahkan jika pola makan yang diterapkan salah justru menaikkan berat badan.

Pola makan yang benar saat puasa harus memenuhi kaidah agama dan kesehatan. Melaksanakan makan  dan minum saat sahur dan menyegerakan berbuka puasa saat adzan maghrib tentunya dengan menu yang seimbang. Saat makan sahur sebaiknya tidak mengonsumsi makanan dan minuman secara berlebihan serta menu yang disajikan adalah menu makan seimbang yang mengandung nutrisi lengkap yang mengandung makanan pokok, lauk pauk, sayur dan buah. Energi yang disarankan adalah sekitar 40-45% dari total  kebutuhan energi sehari.

Sebaiknya pilih makanan tinggi protein, cukup lemak, dan tinggi serat untuk santap sahur. Perlu dibatasi makanan yang terlalu manis, asin, dan berlemak. Hindari konsumsi minuman manis saat sahur karena akan menurunkan kadar gula darah dengan cepat sehingga cepat menimbulkan rasa lapar atau hipoglikemia. Untuk menjaga cairan dalam tubuh, dianjurkan untuk meminum sekitar tiga gelas air saat sahur.

Pengaturan minum dilakukan dengan minum 1 gelas air saat bangun tidur, kemudian 1-2 gelas air setelah makan sahur atau menjelang imsak. Minuman yang dikonsumsi saat sahur dapat berupa air putih atau susu. Hindari minuman berkafein (kopi, teh, coklat, soda, energy drink) karena kafein meningkatkan kehilangan cairan dan rasa haus karena sifat diuretiknya. Air dapat diganti dengan jus buah, sup rendah natrium, dan buah-buahan (semangka, melon, pepaya, dll) dan sayuran (tomat, selada, ketimun, dll).

Saat berbuka puasa, kita dapat mengikuti sunnah Rasulullah Saw dengan menyegerakan berbuka. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “Terus menerus manusia berada dalam kebaikan selama mereka masih menyegerakan buka puasa(HR Bukhari Muslim). Berbuka dengan kurma mendapatkan sunnah dan berpahala sebagaimana riwayat dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berbuka dengan ruthab (kurma basah), jika tidak ada dengan tamr (kurma kering), jika tidak ada, beliau meneguk beberapa teguk air” (HR Ahmad, shahih).

Daging kurma ditemukan rendah lemak dan protein tetapi kaya gula, terutama fruktosa dan glukosa dan tinggi serat sehingga mudah diserap tubuh. dengan mengkonsumsi kurma dapat segera mendapatkan glukosa untuk menormalkan gula darah yang menurun selama 13 jam berpuasa. Menu pembuka dapat berupa minuman hangat, sirup manis, teh manis, aneka kolak, kurma, serta berbagai makanan jajanan.

Komposisi makanan  saat berbuka puasa sebaiknya sebesar 10% makanan manis, 30% makan besar dan 10 persen makanan kecil setelah sholat Maghrib, serta 10% makanan kecil setelah salat tarawih. Hindari minum minuman dingin saat berbuka karena minuman dingin dapat menahan rasa lapar sehingga akan mengurangi asupan zat gizi yang sangat diperlukan tubuh untuk memulihkan stamina. Minumlah 2 gelas pada saat berbuka dan 4 gelas setelah shalat tarawih hingga menjelang tidur.

Berpuasa dengan kondisi tubuh bugar dan sehat dapat dicapai dengan melakukan pengaturan nutrisi yang optimal dan manajemen waktu makan yang baik sesuai dengan usia dan kondisi tubuh masing-masing orang. Kondisi tubuh dan usia yang berbeda akan sangat mempengaruhi kebutuhan zat gizi  saat makan sahur dan buka. Berikut ini diuraikan panduan pengaturan makan yang sehat untuk masing-masing kondisi dan usia.

  1. Pengaturan Makan untuk Anak Remaja Saat Berpuasa

Anak remaja memiliki kebutuhan nutrisi yang berbeda dengan usia dewasa. Pengaturan makan saat puasa pada anak remaja perlu disesuaikan dengan kondisi fisik dan psikisnya. Orangtua perlu memperhatikan hidangan sahur dan berbuka yang cukup nutrisi, sehingga anak remaja tidak kehilangan asupan yang dibutuhkan selama perkembangannya. Pastikan untuk menyiapkan menu makan sahur dan buka kaya akan protein, serat, serta kalsium dan vitamin. Kebutuhan protein anak remaja dapat dilakukan dengan memvariasikan makanan yang berbeda agar anak tidak bosan. Selain itu, perlu disediakan menu yang kaya serat setiap sahur dan berbuka dengan menyediakan buah seperti pepaya, semangka, apel, pir, serta jenis buah lain yang menjadi favorit anak. Makanan berserat menjadi asupan yang dibutuhkan untuk melancarkan sistem pencernaan untuk mencegah terjadinya sembelit. Sebagai pemenuhan kebutuhan protein, vitamin dan mineral pada anak remaja, perlu dihidangkan susu atau yoghurt saat sahur dan malam hari menjelang tidur. Ajarkan anak untuk makan dengan tenang dan teratur, perlahan serta menikmati makanan yang masuk ke pencernaan. Makan terburu-buru atau makan sebanyak-banyaknya karena takut lapar di tengah hari justru bikin perut sakit dan mengganggu metabolisme.

  1. Tips Pengaturan Makan untuk Orang Dewasa Saat Berpuasa
  1. Pengaturan Makan untuk Wanita Hamil atau Menyusui Saat Berpuasa

Dalam hukum Islam ibu hamil atau menyusui diperbolehkan tidak berpuasa karena alasan kesehatan baik sang ibu maupun bayinya. Ibu hamil atau menyusui tetap bisa mengikuti puasa Ramadhan selama ia mampu dan tidak ada ancaman kesehatan bagi diri dan bayinya. Namun, ada beberapa hal penting yang perlu diperhatikan agar selama menjalankan ibadah puasa tetap sehat.

Saat makan sahur, pilih makanan dengan komposisi seimbang. sayuran dan buah harus tersedia dalam menu sahur, agar proses buang air besar lancar dan tidak terjadi sembelit. Sangat disarankan untuk meminum susu saat sahur guna menambah energi. Sebaiknya menjauhi makanan pedas saat sahur. Bila ada suplemen yang harus diminum saat sarapan, minumlah di waktu sahur. Jangan lupa perbanyak minum air putih sekitar 3-4 gelas ketika sahur.

Saat berbuka puasa sebaiknya diawali dengan makanan yang hangat dan manis. Disarankan tidak langsung makan makanan berat. Berikan jeda dengan shalat maghrib, sehingga tidak mengganggu fungsi sistem pencernaan. Tetap sediakan menu dengan kandungan serat tinggi dari buah dan sayuran, karena akan dicerna lebih lama, sehingga lambung bisa bersiap secara bertahap. Tetap jalankan pola makan 3 kali sehari selama puasa tetap dapat dilakukan dengan makan makanan ringan, misal makan roti, kue, atau makan makanan kecil setelah shalat tarawih atau sekitar jam 9 malam. Perbanyaklah minum air putih saat buka puasa untuk menghindari terjadinya dehidrasi.

  1. Pengaturan Makan untuk Orang Usia Lanjut Saat Berpuasa

Orang usia lanjut yang akan berpuasa harus selalu melaksanakan makan sahur. Kegiatan makan sahur sangat penting bagi orang usia lanjut untuk mencegah terjadinya komplikasi kesehatan mulai dari tekanan darah hingga dehidrasi. Pola makan seimbang harus tetap dijalankan saat makan sahur dan buka. Pastikan setiap makanan yang dikonsumsi orang usia lanjut saat sahur atau berbuka puasa di masak dengan benar. Tekstur makanan yang lunak dan matang sempurna baik untuk diberikan kepada orang usia lanjut saat sahur dan buka agar tidak terjadi gangguan pencernaan selama berpuasa karena tak lagi memiliki gigi yang utuh sehingga mereka sulit untuk mengunyah makanan.

Tambahkan susu rendah lemak saat sahur dan malam menjelang tidur untuk memenuhi kebutuhan energi, protein dan kalsium pada lansia. Konsumsi kurma atau jus buah tanpa gula sebagai camilan saat berbuka puasa. Kurma merupakan sumber gula, serat, karbohidrat, potasium, dan magnesium yang sangat baik bagi lansia. Selain dapat memberikan asupan energi yang cukup, kurma juga dapat mempertahankan kadar gula darah dalam kondisi normal.

  1. Pengaturan Makan untuk Orang Obesitas Berpuasa

Puasa di bulan Ramadhan bisa menjadi salah satu solusi untuk menurunakan berat badan pada orang obesitas. Akan tetapi, untuk dapat menurunkan berat badan selama Ramdhan perlu strategi jitu untuk mengatur pola makan. Kesalahan pengaturan makan saat puasa di bulan Ramadhan terkadang justru malah menaikkan berat badan. Cara pengaturan makan saat Ramadhan bagi orang obesitas sebagai berikut:

  1. Pengaturan Makan untuk Orang Diabetes Melitus saat Berpuasa

Orang yang menderita  memiliki penyakit diabetes baik tipe 1 maupun tipe 2 sebelum berpuasa sebaiknya berkonsultasi dengan dokter  terlebih dahulu te

rkait kondisinya apakah memungkinkan untuk menjalankan ibadah puasa. Untuk Diabetesi dengan resiko tinggi sangat dianjurkan untuk tidak berpuasa sampai gejalanya dapat terkontrol dengan baik. Diabetesi yang sudah mantap berpuasa harus berkonsultasi dengan dokter dan ahli gizi sebelum berpuasa untuk menyesuaikan diet, aktifitas dan terapi yang diberikan. Diabetesi hendaknya mengukur gula darah secara rutin selama puasa. Jika kadar glukosa darah  mengalami hipoglikemi (gula darah < 4.0 mmol/L atau 70 mg/dL) atau hiperglikemia (gula darah > 16.7 mmol/ L atau 300 mg/dL) atau sakit maka harus segera membatalkan puasa dan siap menunda puasa jika hipoglikemia terjadi berulang kali. Apabila anda sudah menyesuaikan hal-hal di atas, tips pengaturan makanan untuk Diebetesi berikut ini akan membantu anda puasa dengan aman dan nyaman:

Halal Bihalal, Takwa dan “Forgiveness as Love”

Menurut buku “Ensiklopedi Islam Nusantara”, Edisi Budaya (2018), berbeda dengan tradisi di negara-negara Arab yang menjadikan yang menjadikan hari raya Idul Adha sebagai perayaan paling besar dan paling meriah, di Indonesia kaum Muslimin menjadikan Idul Fitri sebagai hari raya yang paling penting dan dirayakan dengan sangat meriah, sehingga pemerintah pun menjadikannya libur nasional dengan waktu paling lama dibandingkan hari libur lainnya.

Kaum Muslimin di Indonesia memanfaatkan panjangnya hari libur pada hari raya Idul Fitri untuk mengunjungi orang tua, kerabat dan sanak famili. Di banyak daerah bahkan ada tradisi saling mengunjungi rumah tetangga dan teman. Selain menjaga silaturahmi, kunjungan pada hari Idul Fitri di Indonesia digunakan sebagai kesempatan untuk saling meminta maaf.

Theodore Pigeaud menyusun sebuah kamus bahasa Jawa Belanda sejak tahun 1926 atas perintah Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Dalam terbitan pertama kamus itu tahun 1938, sudah terdapat kata “Alalbihalal” digabung dalam satu kata dengan huruf awalan “A” dan menunjukkan arti yang mirip dengan yang ada dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia saat ini, serta disebutkan pula bahwa ia merupakan tradisi khas lokal. Adapun istilah halal bihalal yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti “Maaf-memaafkan setelah menunaikan ibadah Puasa Ramadhan, biasanya diadakan di sebuah tempat (auditorium, aula, dan sebagainya) oleh sekelompok orang”.

Meskipun tidak diketahui secara pasti siapa yang menciptakan istilah halal bihalal, namun sejarah dimulainya tradisi halal bihalal secara nasional dapat dilacak sejak tahun 1948 ketika Kyai Abdul Wahab Chasbullah mengusulkan kepada Presiden Soekarno untuk membuat acara silaturahmi para tokoh politik dengan menyebut acara tersebut dengan istilah halal bihalal. Semua peneliti juga sepakat bahwa istilah dan tradisi halal bihalal adalah khas Indonesia.

Pada jaman now diingatkan agar orang itu jangan baper. Hal yang paling sulit dikendalikan adalah pengendalian rasa miskin. Oleh karena itu orang yang takwa adalah orang yang mampu mengendalikan rasa miskin. Dengan demikian, dia suka mendermakan hartanya baik dalam keadaan lapang maupun sempit (QS Ali Imran [3] : 134-135). Maka, buat warga yang PDP (Pas Duwe Penghasilan), apalagi saat ini bulan Ramadhan, untuk membantu warga yang ODP (Ora Duwe Penghasilan), sekaligus sebagai PMA (Penanaman Modal Akhirat) !

Apabila gagal mengendalikan rasa miskin, meskipun kaya raya (hasil korupsi ?) tetap saja korupsi ! Harapannya agar bisa flexing (pamer) kekayaan & kemewahan lewat Medsos. Jadilah media antisosial ! Demikian pula yang berkali-kali wukuf, hendaknya juga berkali-kali wakaf ! Tidak cuman sibuk selfie di Jabal Rahmah, lalu diunggah di Medsos. Lupa sejarah, bahwa di Jabal Rahmah dulu tempat bertemunya kakek-nenek moyang manusia, Adam dan Hawa, setelah dipisah dihukum Tuhan dikeluarkan dari surga karena gagal melawan “rayuan gombal” iblis ! Gagal mengendalikan rasa tamak ! Iblis hanya bisa menggoda, tapi tidak dapat memaksa manusia ! Dan, kakek-nenek moyang kita pun mengakui kesalahan, telah menzalami dirinya sendiri dan mohon ampun kepada Allah !

Menurut Prof. Damardjati Supadjar, Guru Besar Filsafat UGM, “Jika ingin menggapai ridha Tuhan, harus dapat menge-nol-kan rasa duwe, karena sadar bahwa semuanya, termasuk diri sendiri, adalah milik Allah. Jika sudah hilang rasa duwe akan berperilaku demuwe (having sense of belonging). Sebagai implikasinya, ketika melihat kucing kelaparan diberinya makan; dan ketika melihat tanaman layu disiramnya”, demikian kata beliau. Oleh karena itu, manusia yang takwa mampu mengendalikan sifat rakus (tamak), atau dengan kata lain mampu mengendalikan otak emosinya ! Tidak rahmatan lil kantonge dewe. Tapi, rahmatan lil ‘alamin !

Substansinya, hanya kepada Tuhanlah manusia memohon (pray to God), sedangkan kepada sesama manusia memberi (to give), bukan meminta (to ask for) maupun mengambil (to take) apalagi to corrupt (suap, gratifikasi, uang semir, “hadiah Lebaran”) !

Lewat kitab suci Tuhan memberi petunjuk (QS Ali Imran [3] : 134-135) ciri orang yang takwa adalah orang yang mampu menahan rasa dongkol dan suka memberi maaf. Mengapa Allah memberi petunjuk agar kita suka memberi maaf ? Karena Allah banyak memberi maaf kepada kita, atas segala kesalahan yang kita lakukan yang tidak kita sadari. Oleh karena itu maafkan orang lain, bisa jadi kesalahan yang dilakukannya terhadap diri kita, tidak disadarinya. Hanya Allah-lah yang tidak pernah berbuat salah ! Oleh karena itu juga, kita hendaknya segara mohon kepada Allah atas kesalahan yang telah kita lakukan (QS Ali Imran [3] : 134-135).

Robert Enright, dkk (1989) memberi maaf itu bertingkat-tingkat. Tingkat satu memaafkan apabila sudah dapat membalas (revengeful forgiveness), saya dapat memaafkan jika saya membalas sebesar rasa sakit yang saya alami. Tingkat dua memaafkan dengan restitusi (restitutional/ compensational forgiveness), jika saya dapat memperoleh kembali apa yang sudah diambil dariku saya dapat memaafkan, atau hanya jika aku merasa bersalah karena tidak memaafkan maka aku akan maafkan. Tingkat tiga pemaafan karena tuntutan lingkungan (expectational forgiveness), akhirnya saya dapat memaafkan karena yang lain menyuruh saya memaafkan.

Tingkat empat memaafkan karena tuntutan hukum (lawful expectational forgiveness), saya memaafkan karena agama saya menyuruh saya memaafkan. Tingkat lima memaafkan untuk harmoni sosial (forgiveness as social harmony), saya memaafkan agar dapat mengembalikan hubungan baik. Tingkat enam pemaafan sebagai bentuk kasih sayang (forgiveness as love), saya memaafkan karena saya peduli tanpa syarat apa-apa. Ternyata pemaafan tingkat enam yang dapat meningkatkan derajat kesehatan karena tidak meningkatkan tekanan darah !

Sebagai penutup tulisan ini, walaupun Rasulullah sudah dijamin masuk surga, beliau tetap melakukan amalan-amalan keagamaan secara wara’, yakni penuh sikap hati-hati supaya terhindar dari segala yang haram.

Alkisah, suatu ketika Rasulullah menjelang wafatnya, beliau mengumpulkan para sahabatnya, lalu beliau bersabda : “Wahai kaum Muslimin, sesungguhnya aku merupakan nabi, pemberi nasihat dan mengajak kepada Allah atas izin-Nya. Bagi kalian, aku tidak berdaya seperti saudara yang sebapak dan seibu. Maka siapa saja di antara kalian pernah akut sakiti, bangkitlah dan balaslah aku, sebelum datang nanti pada Hari Kiamat kelak”.

Mendengar hal itu, seluruh sahabat diam, tidak berucap sepatah kata pun. Tiga kali beliau menyampaikan hal ini, agar mereka membalas perbuatan yang pernah beliau lakukan secara setimpal.

Tiba-tiba ‘Ukasyah berdiri dan menghampiri beliau, lalu berkata : “Jika tidak engkau sampaikan sampai tiga kali, tentu tidak yang berani datang menghadapmu”.

‘Ukasyah kemudian menuturkan kejadian pada waktu Perang Badar, saat itu unta yang ditungganginya tiba-tiba lepas kendali sehingga mendahului unta Rasulullah. Bahkan ‘Ukasyah sampai sedikit keluar dari rombongan pasukan Muslimin. “Ketika aku turun dari untaku dan mendekat ke arah engkau, saat itulah mendadak engkau mengayunkan cambuk sehingga mengenai tubuhku. Aku tidak tahu apakah engkau bermaksud mencambukku atau untamu”, tutur ‘Ukasyah.

Maka Rasulullah pun tanggap, lalu beliau menyuruh Bilal bin Rabah untuk mengambil cambuk di rumah puterinya Fatimah. Sang puteri Fatimah pun heran untuk apa Bilal meminta cambuk, sedangkan Bilal pun tidak menjelaskan apa-apa.

Di depan masjid para sahabat dan kaum Muslimin sudah berkumpul. Sesungguhnya mereka menahan marah terhadap ‘Ukasyah. Karena dia sampai tega meminta qisash, yakni hendak menghukum Nabi Saw. dengan cambuk. Nabi pun bersikap tegas bahwa hal itu harus dilaksanakan agar jangan sampai menjadi masalah di Akhirat kelak. Masa depan yang suprarasional.

Sahabat Abu Bakar dan Umar bersamaan menghadang ‘Ukasyah dan minta agar merekalah yang dicambuk, bukan Nabi Saw. Bahkan semua sahabat dan kaum Muslimin yang berada di sana siap menjadi pengganti Nabi Saw. untuk dicambuk ‘Ukasyah. Namun Nabi Saw. pun tetap menjatuhkan perintah “’Ukasyah cambuklah aku , lakukanlah jika benar aku pernah berbuat salah padamu”. Maka Nabi Saw. melepaskan bajunya sehingga tampak kulit punggung dan perut beliau, karena ‘Ukasyah mengatakan pada waktu Perang Badar badannya tidak tertutup kain.

Tiba-tiba ‘Ukasyah melepaskan cambuk dan segera memeluk dan menciumi punggung Nabi Saw. sambil berkata : “Aku ingin memeluk engkau Rasulullah sehingga kulitku menyentuh kulitmu. Sungguh sebuah kemuliaan bagiku bila bisa melakukannya”. Air mata ‘Ukasyah pun jatuh bercucuran. Air mata kebahagiaan. Para sahabat yang tadinya gelisah kini menjadi tenang, tenggelam dalam kegembiraan dan keharuan. Happy ending.

Wildan, Dokter Jiwa RS PKU Muhammadiyah Bantul

Nucholid Umam Kurniawan, Dokter Anak, Direktur Utama RS PKU Muhammadiyah Bantul dan Dosen FK-UAD

Ida Rubaida, Ahli Gizi, Kepala Instalasi Gizi RS PKU Muhammadiyah Bantul

Exit mobile version