Bahasa Arab dalam Islamisasi Asia Tenggara
Oleh: Azhar Rasyid
Pada bagian sebelumnya telah diterangkan bagaimana pengaruh yang diberikan aksara Arab dalam proses Islamisasi Asia Tenggara. Bukti arkeologis pertama, berupa sebuah prasasti, yang ditemukan di Terengganu, Malaysia, menunjukkan bahwa aksara Arab sudah mulai dipakai dalam mengekspresikan istilah yang berkenaan dengan ajaran Islam di dunia Melayu sejak abad ke-14.
Di masa tumbuh dan berkembangnya kerajaan-kerajaan Islam di Asia Tenggara, khususnya di Sumatera dan Semenanjung Malaya, aksara Arab digunakan sebagai saluran bagi para ulama untuk menyebarkan agama Islam dan medium bagi kaum inetelektual untuk mengemukakan pikirannya secara tertulis. Di Semenanjung Malaya, aksara Arab bahkan menggantikan aksara Pallawa yang sudah berakar di sana. Kolonialisme Belanda di Indonesia dan Inggris di Malaysia sempat melemahkan penggunaan aksara Arab, karena kaum penjajah memperkenalkan aksara Latin sebagai sarana komunikasi tertulis.
Sebenarnya, selain aksara Arab, ada satu unsur budaya lagi yang berasal dari kultur Arab Muslim yang berperan penting dalam proses Islamisasi di Asia Tenggara, khususnya di dunia Melayu, termasuk Indonesia dan Malaysia, yakni bahasa Arab. Dari sini bisa dilihat bahwa ada dua variasi penggunaan aksara Arab. Pertama, aksara Arab disandingkan dengan bahasa Arab. Kedua, aksara Arab dijadikan sebagai medium ekspresi bahasa lokal, misalnya bahasa Jawa dan Melayu.
Sebagaimana dikemukakan oleh para linguis, dalam proses Islamisasi di Indonesia, bahasa Arab menempati suatu posisi penting dikarenakan bahasa ini dianggap sebagai bahasa keagamaan oleh para ulama, intelektual serta penguasa lokal yang menganut agama Islam. Ada banyak ibadah dalam Islam yang memerlukan penggunaan bahasa Arab, misalnya shalat dan doa. Penguasaan bahasa Arab juga dipandang sebagai salah satu syarat yang menandai tingginya keilmuan seseorang dalam hal agama Islam.
Masuknya bahasa Arab ke Asia Tenggara berjalan seiring dengan mulai berkembangnya Islam di kawasan ini. Prasasti Terengganu, yang diperkirakan berasal dari antara tahun 1303-1387, memang menggunakan bahasa Melayu yang diekspresikan dalam huruf Arab. Namun, sejumlah kosakata dari bahasa Arab sudah dipakai di sini, misalnya ‘Islam’, ‘Rasul’, ‘Allah’, serta penanggalan dari sistem kalender Islam (seperti ‘Juma’at’ dan ‘Rejab’).
Bukti arkeologis lainnya yang patut disebut adalah sebuah nisan di Minye Tujuh, Aceh, yang diperkirakan berasal dari tahun 1380. Di nisan ini tertulis sebuah puisi dalam aksara Pallawa dan bahasa Melayu, namun juga mengandung sejumlah frasa yang berasal dari bahasa Arab. Jadi, walau belum sebanyak seperti di Prasasti Terengganu, nuansa bahasa Arab di Aceh setidaknya sudah mulai hadir pada masa itu dan diakui perannya dalam mengekspresikan sejumlah ide.
Di masa-masa selanjutnya, ketika tradisi tulis-menulis mulai muncul di dunia Melayu, pengaruh bahasa Arab pun semakin kuat di sana. Tidak hanya orang Arab yang berdagang dan berdakwah ke Nusantara yang menjadi medium penggunaan bahasa Arab, tapi juga buku-buku dalam bahasa Arab serta bahasa Persia. Buku itu terdiri atas buku agama dan buku umum. Berbagai macam karya tersebut lalu dibaca oleh orang Melayu, dan ini menunjukkan bahwa ada suatu kelompok ulama dan intelektual yang bisa memahami bahasa Arab lebih dari yang diperlukan dalam menjalankan ibadah-ibadah pokok dalam Islam.
Tidak berhenti di sana, mereka bahkan menjadi jembatan antara pengetahuan yang dibawa dari dunia Arab ke dunia Melayu melalui penerjemahan teks-teks berbahasa Arab tersebut ke dalam bahasa Indonesia. Dampaknya besar, karena kemudian lahir juga karya-karya tulis yang diciptakan oleh penulis lokal. Hanya saja, mereka menggunakan aksara Arab dengan bahasa lokal, dengan di sana-sini meminjam kata, frasa atau konsep dari bahasa Arab.
Sebagaimana dicatat oleh James Sneddon dalam karyanya, The Indonesian Language: Its History and Role in Modern Society, bahasa Melayu menjadi jembatan yang menghubungkan antara berbagai kosakata Arab yang masuk di Nusantara dengan bahasa-bahasa lokal lainnya di kepulauan ini. Jadi, bahasa Arab memang tidak menjadi lingua franca di Kepulauan Nusantara, namun ada sangat banyak kosakata dari bahasa Arab yang dipinjam oleh bahasa Melayu dan bahasa-bahasa lokal lainnya.
Catatan paling awal yang tersedia perihal kosakata Arab yang dipakai dalam bahasa Melayu berasal dari tahun 1612. Pada tahun itu terbit sebuah buku panduan bagi orang Melayu yang ingin belajar bahasa Belanda. Di dalamnya diketahui sudah ada banyak kosakata dari bahasa Arab yang ada dalam bahasa Melayu. Di samping bahasa Arab, buku itu juga mengandung kata-kata dari bahasa Persia dan Sanskerta.
Yang juga tidak boleh dilupakan adalah orang-orang Indonesia yang belajar bahasa Arab, dan pengetahuan Islam lainnya, langsung dalam bahasa Arab di tempat di mana bahasa Arab itu sendiri digunakan. Ini tampak sejak abad ke-17, masa ketika bukan hanya orang Arab yang ke Nusantara, tapi juga orang Islam dari Nusantara sendiri yang pergi ke Mekkah dan Madinah, baik untuk naik haji dan menuntut ilmu, termasuk bahasa Arab.
Sebagaimana diutarakan oleh sejumlah ahli sejarah, kaum intelektual dari Kepulauan Nusantara itu kemudian rupanya tidak berhenti sebagai pendengar dan penutur bahasa Arab saja. Mereka juga memproduksi pengetahuan dengan menggunakan bahasa Arab. Mereka belajar selama beberapa tahun di Mekkah dan Madinah, lalu pulang ke Indonesia dan menyebarkan ilmunya di tanah kelahirannya. Salah satu metode yang mereka pakai adalah dengan menulis manuskrip tentang ajaran agama Islam dalam bahasa Arab. Suatu penghitungan menyebut bahwa ada sekitar 400-500 naskah yang ditulis oleh mereka.
James Sneddon membagi kosakata Arab yang ada dalam bahasa Indonesia modern ke dalam beberapa bagian, bergantung pada penggunaannya di Indonesia kini. Pertama, yang berkenaan dengan agama, nilai moral dan filosofi, contohnya antara lain adab, adat, adil, aib, Allah, do’a, ikhlas dan Islam. Kedua, di bidang pendidikan dan kepenulisan, misalnya abjad, eja, huruf, jilid, kalimat, kuliah dan majalah. Ketiga, dalam hal anatomi dan kesehatan, seperti badan, rahim, sehat dan wajah. Keempat, berkaitan dengan waktu dan penanggalan, contohnya abad, musim, sa’at, waktu, zaman, dan Ahad.
Syamsul Hadi, dalam bukunya, Kata-Kata Arab dalam Bahasa Indonesia, menyebut bahwa pengaruh bahasa Arab sangat dalam pada masyarakat Indonesia, dan itu tidak hanya dari sisi keagamaan tapi juga pada tradisi. Ia menyebut beberapa contoh lain di mana bahasa Arab seperti sudah diterima sebagai bagian dari cara orang Indonesia hidup sehari-hari, misalnya dengan memakai nama-nama Arab untuk nama anak-anaknya, untuk nama berbagai organisasi pendidikan Islam serta yayasan, dan untuk nama perusahaan. Hadi mendaftar lebih banyak lagi penggunaan kata dan istilah Arab dalam berbagai kegiatan dakwah Islam dewasa ini, mulai dari ceramah pada hari besar Islam, nasihat perkawinan, halal bi halal hingga ke kata-kata yang diekspresikan di media massa cetak, audio maupun aduiovisual.
Di antara masyarakat Jawa tradisional, perpaduan antara pelafalan dalam bahasa Arab dengan pengucapan dalam bahasa Jawa masih terasa hingga kini dengan ditambahkannya bunyi ng ke dalam beberapa kosakata yang diambil dari bahasa Arab atau tradisi Islam. Sulitnya cara mengucapkan sejumlah huruf atau frasa yang asing dalam pendengaran orang Jawa dijawab dengan mencari huruf atau frasa yang ekuivalen. Menurut M.C. Ricklefs dalam Mengislamkan Jawa, bagi telinga orang Jawa, bunyi ‘ain terdengar, atau paling dekat padanannya, dengan bunyi ng.
Di Indonesia, bukan hanya kaum Muslim yang dewasa ini menggunakan istilah dari bahasa Arab. Umat dari agama lain pun menyerap sejumlah kata dari bahasa Arab, baik untuk soal keagamaan maupun mengenai kehidupan sehari-hari. Contohnya antara lain kata Al-Kitab, tasbih, Nasrani, malaikat dan nikah.
Arif Danya Munsyi, dalam bukunya, 9 dari 10 Kata Bahasa Indonesia adalah Asing, mengutip sebuah adagium populer yang dengan pas menangkap kuatnya pengaruh bahasa Arab di tengah masyarakat Indonesia (serta di dunia Muslim non-Arab lainnya) bahkan hingga kini. Bunyinya: “Orang Arab belum tentu Islam, tetapi orang Islam pasti Arab”. Maksudnya, orang Arab bisa saja menganut agama selain Islam. Tapi, seorang Muslim, misalnya di Indonesia, sudah jelas bisa berbahasa Arab, walaupun hanya terbatas. Ini bisa dilihat dari kenyataan bahwa banyak akivitas keagamaan dalam Islam yang mensyaratkan penggunaan bahasa Arab, mulai dari syahadat hingga membaca dan menghafal ayat Al Qur’an.
Azhar Rasyid, Penilik sejarah Islam
Sumber: Majalah SM Edisi 2 Tahun 2021