Propaganda Penetapan Awal Waktu Subuh dan Awal Bulan Hijriah di Indonesia
Oleh: Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar, Dosen FAI UMSU & Kepala OIF UMSU
Indonesia adalah negara unik dan luwes, keragaman sangat identik dan tumbuh subur di negeri ini. Sejak lama di Indonesia telah hidup aneka ragam perbedaan dalam berbagai hal tanpa terkecuali perbedaan dalam ranah ritual ibadah (fikih) namun seluruhnya disatukan dalam moderasi dan bhinneka tunggal ika. Perbedaan dalam masalah awal waktu Subuh dan awal bulan hijriah adalah diantara fenomena yang terus hangat dibicarakan sampai saat ini. Secara spesifik perbedaan dan dialektika persoalan ini melibatkan dua elemen yaitu Muhammadiyah dan Pemerintah (Kementerian Agama) yang juga melibatkan pengguna dan pendukung keduanya.
Dalam masalah awal waktu Subuh, Muhammadiyah pada awalnya menetapkan -20 derajat, namun pasca Munas Tarjih ke-31 tahun 2020 diubah menjadi -18 derajat. Perubahan ini tidak ditetapkan tiba-tiba, namun telah dikaji setidaknya sejak Munas Tarjih ke-27 tahun 2010. Keputusan -18 derajat ini tidak sepi dari kritikan berbagai pihak. Sementara itu Pemerintah (Kementerian Agama RI) tetap bertahan pada anggitan -20 derajat, yang pasca Muhammadiyah memutuskan -18 derajat, Kemenag giat mempertahankan dengan berbagai narasi dan apologi, dan saat yang sama gencar mencari dan mengumpulkan data dari berbagai pihak terutama yang menghasilkan data -20 derajat. Terkini, Kemenag sudah mendapatkan data -20 dari sejumlah peneliti fajar di lapangan, dan puncaknya Kementerian Agama menerjunkan sejumlah peneliti dari berbagai unsur (minus unsur Muhammadiyah) ke Timau (Nusa Tenggara Timur) guna mendapatkan data. Hasilnya seperti telah dirilis dan beredar masif di media sosial, tim Kementerian Agama mendapatkan data -20 derajat (sesuai metode olah data yang digunakannya), yang dengan demikian menguatkan dan atau membuktikan -20 derajat, yang mana ini juga tak luput dari kritik berbagai pihak.
Bila ditelusuri, problem dan fenomena awal waktu Subuh pada dasarnya terkait pada penafsiran dalil (fajar sadik, fajar kazib, ghalas, isfar), lalu terkait metode olah data yang tidak tunggal, lalu instrumen optik dan non-optik yang beragam, lalu terkait lokasi dan kondisi langit yang variatif, lalu kualitas dan kuantitas data yang dihasilkan, dan lainnya. Secara keilmuan, putusan -18 dan -20 derajat keduanya merupakan hasil ijtihad, dan keduanya memiliki kelebihan-kekurangan, karena itu manakala dua keputusan ijtihad ini sudah diputuskan dan diamalkan penggunanya masing-masing seharusnya dihormati dan saling menghargai, tidak lagi memunculkan narasi yang menyudutkan salah satu diantaranya. Jika narasi menyudutkan dan penggiringan opini terus dilakukan maka yang akan terjadi adalah saling berbalas argumen, saling mengusik data, dan seterusnya, tentu ini tidak baik untuk umat dan pada akhirnya menyebabkan umat akan bingung.
Tatkala Muhammadiyah merubah awal waktu Subuhnya menjadi -18 derajat disorot terus-menerus, bahkan yang terbaru disorot melalui artikel seorang pakar yang kerap membela dengan gigih putusan Kemenag, berjudul “Menimbang Ijtihad Ilmiah Awal Waktu Subuh”. Inti dari artikel ini hendak menjelaskan bahwa nukilan dari kitab-kitab klasik yang menetapkan rata-rata 18-19 derajat tidak bisa dijadikan rujukan di Indonesia. Lalu menurutnya di wilayah dekat kutub, waktu Subuh mulai pada ketinggian Matahari sekitar -15 derajat. Lalu kawasan dekat ekuator seperti Mesir, waktu Subuhnya berawal pada saat posisi Matahari -19.5 derajat sehingga wajar di Indonesia posisi Matahari saat Subuh adalah -20 derajat. Sang pakar ini lupa dan tidak terbuka, atau barangkali memang tidak tahu, bahwa penelitian terkini di Mesir menunjukkan dan mendapatkan data -14 sampai -16 derajat, ini bisa disimak dalam artikel (jurnal) yang ditulis oleh para perisetnya sendiri.
Selanjutnya sang pakar menyatakan bahwa data pengamatan oleh tim UMSU, UAD, dan UHAMKA, semuanya terpengaruh oleh polusi cahaya dan tidak ada pemilahan kondisi polusi cahaya di wilayah pengamatan. Jelas, ini sebuah klaim tidak berdasar, tidak objektif dan tidak terbuka dengan realita yang ada. OIF UMSU telah melakukan riset fajar 5 tahun lebih di berbagai lokasi di Sumatera Utara, plus beberapa data dari Aceh dan Sumatera Barat, dan dalam praktiknya memilah kawasan yang cerah dan terpolusi cahaya, ini bisa disimak dalam artikel-artikel ilmiah (jurnal) yang ditulis tim OIF UMSU.
Selanjutnya pakar ini menyatakan lagi, “Sedangkan data pengamatan di Malaysia belum diketahui kualitas langit di lokasi pengamatan. Jadi sebenarnya, tidak ada bukti yang kuat dari hasil pengamatan tiga tim yang membantah kriteria Kemenag”. Sekali lagi ini adalah pernyataan yang tidak jujur, tidak terbuka, dan tidak menghargai riset orang lain, dan hanya mengklaim riset Kementerian Agama RI sebagai satu-satunya kebenaran. Seperti diketahui, landasan perubahan awal waktu Subuh di Malaysia merupakan hasil riset kolaboratif berbagai perguruan tinggi di Malaysia (APIUM, Fakultas Sains Universiti Malaya, UnisZa, dan UiTM) dibawah koordinasi Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (JAKIM) yang menetapkan -18 derajat. Kassim Bahali, salah satu peneliti fajar Malaysia bahkan telah melakukan riset fajar di tiga Negara (Malaysia, Indonesia, Thailand), pun riset yang dilakukan pada hari-hari (tanggal-tanggal) yang minim cahaya bulan (tanggal 1-13 bulan-bulan hijriah) yang hasil risetnya menetapkan -17 derajat, yang menjadi salah satu dasar penetapan di Malaysia.
Karena itu dalam konteks ini agar fair dan proporsional seharusnya narasi yang dibangun adalah dengan menyatakan bahwa -18 dan -20 derajat itu adalah hasil ijtihad dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing yang harus sama-sama dihormati, saat yang sama umat dibebaskan memilih awal waktu Subuh yang mana saja sesuai keinginan dan keyakinan masing-masing. Namun sayang, yang terjadi justru ‘cara lama’ dan ‘gaya lama’ yaitu terus mengusik dan mengkritisi tanpa henti setiap yang berbeda dengan Kemenag. Betapaun dapat dipahami bahwa ini bukan sikap Kementerian Agama namun sikap pribadi sang pakar tersebut yang tak lebih sekedar salah seorang anggota Tim Hisab Rukyat Kemenag. Sikap Kemenag sendiri kini tampak moderat dan toleran, tidak ada kesan dan narasi memihak atau mendeskriditkan satu pihak.
Adapun dalam masalah awal bulan hijriah, seperti diketahui Pemerintah (Kemenag) telah merubah anggitan imkan rukyatnya dari 2-3-8 menjadi 3-6.4, perubahan ini dengan kajian dan analisis panjang dan dalam waktu yang cukup lama pula, dan dalam praktik dan perjalanannya tidak sepi dari kritikan. Sementara Muhammadiyah masih bertahan menggunakan Hisab Hakiki Wujudul Hilal dengan argumen syar’i dan ilmiahnya, yang harus diakui pula memiliki kelebihan-kekurangan seperti halnya kelebihan-kekurangan yang ada dalam Imkan Rukyat MABIMS 3-6.4. Namun yang berbeda adalah, sikap bertahan Muhammadiyah ini terus mendapat gempuran kritik, yang bukan hanya kritik ilmiah namun juga dengan stigma negatif dan tuduhan tendensius yang diulang-ulang dan berasal dari orang yang sama. Ini berbeda dengan sikap Muhammadiyah atas bertahannya Kemenag dengan -20 derajatnya, Muhammadiyah membiarkan mengalir dan menghindarkan stigma negatif dan tuduhan tendensius, kritik yang diberikan tidak lebih berdasarkan data, fakta, dan literatur.
Karena itu dalam hal ini sekali lagi diperlukan pemahaman dan sikap yang arif dalam melihat setiap fenomena, lalu memahami secara jernih arti ihtiar dan arti hasil sebuah ihtiar. Stigma negatif dan tuduhan tendensius yang dikemukakan terus berulang-ulang sekali lagi tidak lebih menggambarkan sikap frustasi dalam melihat dan memahami persoalan, padahal yang patut dilakukan sekali lagi adalah ihtiar beradab, bukan memaksakan hasil. Stigma negatif dan tuduhan tendensius sama sekali bertentangan dengan tradisi fikih Islam, bertentangan dengan tradisi etika akademik, bertentangan dengan tradisi demokrasi Indonesia, terlebih bertentangan dengan sikap moderasi yang digaungkan oleh Kementerian Agama RI. Wallahu a’lam[]