Shalat untuk Menjemput Rahmat (4)

Qiyam Ramadhan

Foto Ilustrasi

Shalat untuk Menjemput Rahmat (4)

Oleh: Mohammad Fakhrudin dan Nif’an Nazudi

Pada Shalat untuk Menjemput Rahmat (3) Suara Muhammadiyah edisi 2023/03/23 disajikan uraian tentang mengarahkan pandangan ke tempat sujud saat berdiri dan topik melakukan takbiratul ihram. Pada Shalat untuk Menjemput Rahmat (4) ini disajikan uraian tentang bersedekap dan tentang membaca doa iftitah.

Bersedekap dengan Meletakkan Tangan di atas Dada

Ada sekelompok (kecil) umat Islam yang mempunyai pemahaman bahwa setiap melakukan amalan yang baik, maka tangan kanan harus didahulukan. Gerakan tangan ketika akan bersedekap pun harus dilakukan dengan cara demikian.

Berdasarkan pemahaman tersebut, ketika akan bersedekap, tangan kiri tidak langsung diletakkan di dada, tetapi diputar lebih agar tangan kanan lebih dulu berada di atas dada. Pemahaman yang demikian tidak berdasarkan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Oleh karena itu, semestinya gerakan seperti itu tidak dilakukan. Tangan kiri langsung diletakkan di bawah tangan kanan.

Tidak ada ayat al-Qur’an yang dikutip oleh Majelis Tarjih dan Tajdid dalam uraiannya tentang bersedekap dan membaca doa iftitah. Namun, ada lima hadis yang menjadi rujukan bersedekap dengan meletakkan tangan di atas dada yang dikutipnya (hlm.537-538). Untuk menjelaskan cara membaca doa iftitah dan doa iftitah tersebut, Majelis Tarjih dan Tajdid mengutip tiga hadis.

Karena pertimbangan teknis, berikut ini disajikan makna hadis-hadis tersebut.

HR al-Bukhari dan Ahmad

Dari Sahl Sa’id (diriwayatkan) bahwa ia berkata, adalah orang-orang diperintahkan agar masing-masing meletakkan tangan kanan di atas hasta tangan kiri dalam shalat.”

HR Muslim

Bahwa ia melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengangkat kedua tangannya ketika memulai shalat bertakbir. Hammam (seorang perawi) meletakkan sejajar dengan kedua telinganya, kemudian Nabi berselimut dengan kainnya, kemudian meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya.”

HR Abu Dawud dan an-Nasa’i

Dari Wa’il Ibn Hujr (diriwayatkan) bahwa ia berkata, Sungguh saya akan mengamati shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bagaimana beliau melakukannya. Wa’il melanjutkan, Lalu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri menghadap kiblat; lalu bertakbir;  lalu mengangkat kedua tangannya hingga setentang dengan kedua telinganya, kemudian memegang tangan kirinya dengan tangan kanannya.”

HR an-Nasa’i

Dari Kulaib, dari Wa’il Ibn Hujr bahwa ia (Wa’il) mengabarkan kepadanya (Kulaib) seraya berkata, Sungguh saya akan mengamati shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bagaimana melakukannya. Lalu, aku melihatnya berdiri; lalu bertakbir dan mengangkat kedua tangannya hingga setentang dengan kedua telinganya; kemudian beliau meletakkan tangan kanannya di atas punggung tangan kirinya di atas pergelangan dan hasta.”

HR Ibn Khuzaimah

Dari Wa’il Ibn Hujr (diriwayatkan) bahwa ia berkata, Saya shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam; beliau meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri pada (di atas) dadanya.”

Di dalam pelaksanaannya, ada tiga cara meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri, yaitu (1) tangan kanan memegang tangan tangan kiri, (2) tangan kanan di atas punggung tangan kiri hampir sampai siku, dan (3) tangan kanan di atas punggung tangan kirinya di atas pergelangan dan hasta. Namun, lazimnya cara (1) yang diamalkan.

Membaca Doa Iftitah secara Sir (lirih)

Berdasarkan hadis-hadis yang dikutip, ada tiga pilihan doa iftitah yang dituntunkan. Berikut ini disajikan kutipan makna hadis dan transkrip doa iftitah.

HR al-Bukhari

Dari Abu Hurairah (diriwayatkan bahwa) ia berkata, Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diam antara takbir dan bacaan (al-Fatihah) sesaat; rawi mengatakan, Saya kira ia (Abu Hurairah) mengatakan “sejenak”. Saya (Abu Hurairah) bertanya, “Demi ayah dan ibuku wahai Rasulullah, Saat engkau diam antara takbir dan bacaan (al-Fatihah) apa yang Anda ucapkan? Beliau menjawab, Allahumma bā’id bainī wa baina khaṭayāyā kamā ba’adta bainal masyriqi wal-magrib. Allahumma naqqinī minal-khaṭayā kamā yunaqqaŝ-ŝaubul-abyadu minad-danas. Allahummagsil khaṭayāyā biŝ-ŝalji wal-mā’i  wal-barad.”

(Ya, Allah. Jauhkanlah antara diriku dan kesalahanku sebagaimana Engkau menjauhkan antara timur dan barat. Ya, Allah. Bersihkanlah diriku dari segala kesalahan sebagaimana bersihnya pakaian putih dari kotoran. Ya, Allah. Cucilah segala kesalahanku dengan air, salju, dan embun.)

HR Muslim

Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apabila bertakbir dalam shalat diam sejenak sebelum membaca (al-Fatihah), maka bertanya, Wahai Rasulullah, demi ayahku dan ibuku apa yang Anda ucapkan antara takbir dan bacaan al-Fatihah. Beliau bersabda, Saya ucapkan, Allahumma bā’id bainī wa baina khaṭayāyā kamā ba’adta bainal masyriqi wal-magrib. Allahumma naqqinī min khaṭayāyā kamā yunaqqaŝ-ŝaubul-abyadu minad-danas. Allahummagsil min khaṭayāyā bil-mā’i waŝ-ŝalji wal-barad.”

(Ya, Allah. Jauhkanlah antara diriku dan kesalahanku sebagaimana Engkau menjauhkan antara timur dan barat. Ya, Allah. Bersihkanlah diriku dari segala kesalahan diriku, sebagaimana bersihnya pakaian putih dari kotor. Ya, Allah. Cucilah segala kesalahanku dengan air, salju, dan embun.)

HR Abu Dawud

Dari Ali Ibn Abi Ṭalib raḍiyallahu ‘anh (diriwayatkan bahwa) ia berkata, Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apabila berdiri hendak melaksanakan shalat, beliau bertakbir kemudian mengucapkan, Wajjahtu wajhiya lillażī faṭaras-samāwāti wal-arḍa hanīfan wa mā ana minal musyrikīn. Inna ṣalātī wa nusukī wa maḥyāyā wa mamāti lillāhi rabbil ‘ālamīn. La syarīka lahu wa bi żālika umirtu wa ana minal muslimīn.

Allāhumma antal-maliku, lā ilāha illā anta. Anta rabbī wa ana ‘abduka, ẓalamtu  nafsī wa’taraftu bi żambī, fagfir lī żunūbī jamī’an, innahu lā yagfiruż-żunūba illā anta, wahdinī li aḥsani-akhlāqi, lā yahdī li aḥsanihā illā anta waṣrif ‘annī sayyi’ahā lā yaṣrifu ‘annī sayyi’ahā illā anta, labbaika wa sa’daika, wal-khairu kulluhu fī yadika wasy-syarru laisa ilaika. Ana bika wa ilaika, tabārakta wa ta’ālaita, astagfiruka wa atūbu ilaika.”

(Kuhadapkan wajahku, ke hadapan Żat yang menciptakan langit dan bumi, dengan taat dan aku tidak termasuk golongan orang-orang musyrik. Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya untuk Allah Tuhan semesta alam. Tidak ada sekutu bagi-Nya, maka dengan demikian, aku diperintahkan dan aku termasuk golongan orang-orang muslim. Ya, Allah, Engkaulah Yang Mahakuasa; tidak ada tuhan kecuali Engkau. Engkau Tuhanku dan aku ini adalah hamba-Mu, aku telah berbuat aniaya terhadap diriku dan aku mengetahui dosa-dosaku.

Oleh karena itu, ampunilah semua dosaku. Sesungguhnya tidak ada yang dapat mengampuni segala dosa, kecuali hanya Engkau, maka berikan petunjuk-Mu kepadaku akhlak yang terbaik. Tidak ada yang dapat memberikan petunjuk kepada yang terbaik, kecuali hanya Engkau. Dan jauhkanlah aku dari segala kejelekan. Tidak ada yang dapat menjauhkannya, kecuali hanya Engkau. Aku penuhi seruan-Mu. Aku penuhi perintah-Mu dan kebaikan seluruhnya di tangan-Mu, dan kejelekan itu tidak kepada-Mu. Aku senantiasa dengan-Mu dan kepada-Mu (aku kembali). Engkau Yang Maha Memberi barakah dan Mahatinggi. Dan aku mohon ampunan kepada-Mu dan bertobat kepada-Mu.)

HR Muslim

“Dari Ali Ibn Ṭalib (diriwayatkan) dari Rasulullah shaallallahu ‘alaihi wasallam bahwasanya apabila beliau melaksanakan shalat, beliau mengucapkan, Wajjahtu wajhiya lillażī faṭaras-samāwāti wal-arḍa hanīfan wa mā ana minal musyrikīn. Inna ṣalātī wa nusukī wa maḥyāyā wa mamāti lillāhi rabbil ‘ālamīn. La syarīka lahu wa bi żālika umirtu wa ana minal muslimīn.

Allahumma antal-maliku, lā ilāha illā anta. Anta rabbī wa ana ‘abduka, ẓalamtu nafsī wa’taraftu bi żambī, fagfir lī żubūbī jamī’an, innahu lā yagfiruż-żunūba illā anta, wahdinī li aḥsani-akhlāqi, lā yahdī li aḥsanihā illā anta waṣrif ‘annī sayyi’ahā lā yaṣrifu ‘annī sayyi’ahā illā anta, labbaika wa sa’daika, wal-khairu kulluhu fī yadika wasy-syarru laisa ilaika. Ana bika wa ilaika, tabārakta wa ta’ālaita, astagfiruka wa atūbu ilaika.”

(Kuhadapkan wajahku, ke hadapan Żat yang menciptakan langit dan bumi, dengan taat dan aku tidak termasuk golongan orang-orang musyrik. Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya untuk Allah Tuhan semesta alam. Tidak ada sekutu bagi-Nya, maka dengan demikian, aku diperintahkan dan aku termasuk golongan orang-orang muslim. Ya, Allah, Engkaulah Yang Mahakuasa; tidak ada tuhan kecuali Engkau. Engkau Tuhanku dan aku ini adalah hamba-Mu, aku telah berbuat aniaya terhadap diriku dan aku mengetahui dosa-dosaku. Oleh karena itu, ampunilah semua dosaku.

Sesungguhnya tidak ada yang dapat mengampuni segala dosa, kecuali hanya Engkau, maka berikan petunjuk-Mu kepadaku akhlak yang terbaik. Tidak ada yang dapat memberikan petunjuk kepada yang terbaik, kecuali hanya Engkau. Dan jauhkanlah aku dari segala kejelekan. Tidak ada yang dapat menjauhkannya, kecuali hanya Engkau. Aku penuhi seruan-Mu. Aku penuhi perintah-Mu dan kebaikan seluruhnya di tangan-Mu, dan kejelekan itu tidak kepada-Mu. Aku senantiasa dengan-Mu dan kepada-Mu (aku kembali). Engkau Yang Maha Memberi barakah dan Mahatinggi. Dan aku mohon ampunan kepada-Mu dan bertobat kepada-Mu.)

HR at-Tirmizi

Dari Ibn ‘Umar raḍiyallahu ‘anhu (diriwayatkan bahwa) dia berkata, Ketika kami shalat

bersama Rasulullah shallaallahu ‘alaihi wasallam tiba-tiba seorang laki-laki dari jamaah mengucapkan Allahu akbar kabīraw wal-hamdulillāhi kaŝīran wa subhāllāhi bukratan wa aṣīlā.”

(Allah Maha Besar sedemikian rupa dan segala puji bagi Allah sebanyak-banyaknya dan Mahasuci Allah sepanjang pagi dan petang) Lalu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya, Siapa yang mengucapkan (ucapan doa) demikian tadi? Lalu, seorang laki-laki dari jamaah menjawab, Saya, ya, Rasulullah. Lalu, beliau mengatakan, Saya takjub kepada ucapan itu karena lantaran doa itu dibuka pintu-pintu langit. Ibnu ‘Umar berkata, Saya tidak meninggalkan mengucapkan doa itu sejak saya mendengarnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.)

Bukan Karangan Nabi

Tidak ada ayat al-Qur’an yang secara khusus dirujuk berkaitan dengan bersedekap dengan tangan kanan di atas dan membaca iftitah. Berbeda halnya untuk memulai shalat hati harus  tenteram, menghadap kiblat, lalu takbir. Ada ayat-ayat yang dirujuk.

Hal itu bukan berarti bahwa cara bersedekap dan doa iftitah itu merupakan karangan atau kreativitas Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Jadi, sama sekali tidak benar jika ada orang yang berpendapat bahwa gerakan dan doa shalat tersebut termasuk budaya.

Kita pehatikan firman Allah Subhanu wa Ta’aala di dalam al-Qur’an surat an-Najm (53): 3 dan 4

وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوٰى

اِنْ هُوَ اِلَّا وَحْيٌ يُّوْحٰىۙ

(3) Dan tidaklah dia bertutur itu dari kemauan sendiri

(4) Tidaklah dia itu melainkan wahyu yang telah diwahyukan

Sudah kita pahami bahwa sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terdiri atas (1) aqwaal (ucapan) beliau, (2) af’aal (pebuatan) beliau, dan (3) taqrir (perbuatan orang lain) yang tidak ditegur. Dalam hubungannya dengan kaifiat shalat, beliau bersabda, yang artinya,  “Shalatlah kamu seperti kamu lihat aku shalat.”

Ada penjelasan yang sangat menarik yang dikemukakan oleh Hamka di dalam Tafsir Al Azhar (hlm. 6980-6983) berkaitan dengan kaifiat shalat. Dijelaskannya bahwa hadis “Shalatlah kamu seperti kamu lihat aku shalat” bukanlah wahyu. Meskipun demikian, hadis itu tidak menyalahi, tidak mengubah atau menambah atau mengurangi apa yang terkandung di dalam wahyu. Selanjutnya, Hamka mengutip firman Allah Subhanhu wa Ta’aala di dalam surat al-Hasyr (59): 7,

وَمَآ اٰتٰىكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا نَهٰىكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْ

“Dan apa pun yang diberikan kepada kamu oleh Rasul, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, tinggalkanlah.”

Kita wajib mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam karena Allah Subhaanahu wa Ta’aala memerintahkan demikian. Mari kita perhatikan firman-Nya misalnya dalam surat Ali ‘Imran (3): 31

قُلْ اِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللّٰهَ فَاتَّبِعُوْنِيْ يُحْبِبْكُمُ اللّٰهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ ۗ وَاللّٰهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ

“Katakanlah, ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan meng­am­puni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’

Sementara itu, pada surat yang sama pada ayat 32 Allah Subhaanahu wa Ta’aala berfirman,

قُلْ اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَالرَّسُوْلَ ۚ فَاِنْ تَوَلَّوْا فَاِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ الْكٰفِرِيْنَ

Katakanlah, Hendaklah kamu taat kepada Allah dan Rasul. Namun, jika kamu berpaling, maka sesung­guhnya Allah tidak suka kepada orang yang kafir.”

Kita perhatikan pula firman Allah Subhanahu wa Ta’aala di dalam al-Qur’an surat an-Nisa (4): 80,

مَنْ يُّطِعِ الرَّسُوْلَ فَقَدْ اَطَاعَ اللّٰهَ ۚ وَمَنْ تَوَلّٰى فَمَآ اَرْسَلْنٰكَ عَلَيْهِمْ حَفِيْظًا ۗ

Barangsiapa menaati Rasul (Muhammad), sesungguhnya dia telah menaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka (ketahuilah) Kami tidak mengutusmu (Muhammad) untuk menjadi pemelihara mereka.”

Berdasarkan ayat-ayat tersebut, karena tidak kita temukan ayat al-Qur’an yang secara khusus menjelaskan kaifiat bersedekap dan membaca doa iftitah, kita merujuk pada hadis. Tentu hadis yang dipilih oleh Majelis Tarjih dan Tajdid telah teruji kesahihannya.

Di dalam HR al-Bukhari dan Muslim dijelaskan, artinya, “Barangsiapa yang mengada-adakan sesuatu (amalan) dalam urusan (agama) kami yang bukan dari kami, maka (amalan) itu tertolak.”

Allahu a’lam

Mohammad Fakhrudin, warga Muhammadiyah tinggal di Magelang Kota

Nif’an Nazudi, Dosen al-Islam dan Kemuhammadiyahan Universitas Muhammadiyah Purworejo

 

Exit mobile version