Bukan Sekadar Nominal
Oleh: Miqdam Awwali Hashri
Dalam tulisan-tulisannya yang dirangkum dalam satu buku yang berjudul Ekonomi dan Keuangan: Makna Ekonomi Islam Jilid II yang diterbitkan Pustaka Jaya 2011, Sjafruddin Prawiranegera, mengisahkan sebuah kisah yang sangat menarik yang dapat kita ambil hikmahnya.
Pada suatu hari Yunus bin Ubaid, seorang saudagar perhiasan, menyuruh saudaranya menunggui tokonya, karena ia hendak pergi sembahyang. Pada waktu ia pergi itu dan tokonya dijaga oleh saudaranya, datanglah seorang badui yang hendak membeli sesuatu barang perhiasan. Harga barang itu 200 dirham, tetapi oleh saudara Yunus, barang itu ditawarkan kepada badui itu dengan harga 400 dirham.
Dengan tidak menawar-nawar lagi orang badui itu membelinya dengan harga 400 dirham. Sesudah badui itu keluar dari toko, di tengah jalan dia bertemu dengan Yunus bin Ubaid. Barang yang baru saja dibelinya itu masih dipegagnya di tangannya. Demi barang itu dilihat Yunus, tahulah ia bahwa barang itu berasal dari tokonya lalu ditanyakannya berapa badui itu membelinya.
Tatkala Yunus mendengar bahwa barang itu dibeli dengan harga 400 dirhma, maka segera Yunus mengajak badui itu kembali ke tokonya untuk mengambil kelebihan uangnya. Sebab, kata Yunus, harganya hanya 200 dirham. Mula-mula badui itu tidak mau ikut dengan Yunus. “saya sudah sangat girang dengan harga 400 dirham itu.” Kata badui itu, “sebab di negeri saya barang semacam itu harganya tidak kurang dari 500 dirham.”
Tetapi saudagar Yunus mendesak supaya badui itu ikut juga, sebab ia merasa malu, bahwa barang yang harganya 200 dirham telah dijual oleh saudaranya dengan harga 400 dirham. Kelakuan saudaranya itu dinamakannya sebagai penipuan. Akhirnya badui itu ikut juga dengan Yunus, dan setiba di toko, Yunus memberikan kelebihan uang sebanyak 200 dirham itu kepada orang badui tadi.
Kemudian dengan sangat marah ia berkata kepada saudaranya, “Mengapa kau berani melakukan penipuan semacam itu? Apakah engkau tak takut kepada Allah atas perbuatanmu itu?”
Tetapi saudaranya menyangkal telah menipu, dengan mengatakan bahwa badui itu merasa senang denganharga 400 dirham. Kalu dia merasa dirinya ditipu, niscaya ia tidak bersedia membayar harga itu dengan tidak menawar-nawar lagi. “Benar” kata Yunus, “ia merasa senang, karena ia tidak tahu bahwa harganya hanya 200 dirham dan bahwa dalam harga itu sudah termasuk keuntungan yang sangat pantas. Dan bukankah ajaran Nabi mengatakan bahwa kita harus memperlakukan saudara kita sebagaimana kita memperlakukan diri kita sendiri?”
Salah satu hikmah yang dapat dipetik dari kisah di atas adalah Yunus bin Ubaid menerapkan nilai dan moral dalam kegiatan perdagangannya. Seperti yang dikatakan oleh saudaranya bahwa secara hukum transaksi tersebut memang sah karena masing-masing rela, namun secara nilai hal tersebut bertentangan. Saudara Yunus bin Ubaid telah melalaikan amanat dari Yunus bin Ubaid. Dia juga merusak harga pasar dengan memanfaatkan ketidaktahuan orang badui.
Dalam teori ekonomi, kondisi tersebut dapat menjadi salah satu contoh dari asymmetric information atau informasi asimetris, yang mana satu pihak mendapatkan informasi yang lebih daripada pihak lain untuk kepentingannya sendiri sehingga menyebabkan kegagalan pasar.
Islam mengajarkan keselarasan antara moral dan hukum pada suatu transaksi. Keduanya tidak bisa berdiri sendiri. Meskipun sederhana, praktik informasi asimetris dalam jual beli dapat mengarah kepada memakan hak pelanggan. Tidak ada keridhaan dalam transaksi tersebut, karena pembeli “terpaksa” menerima kondisi tersebut akibat dari ketidaktahuannya yang dimanfaatkan oleh penjual. Jangan melihat besar kecilnya nominal, namun yang perlu menjadi perhatian adalah apakah Allah meridhai praktik tersebut.
Wallahua’lam
Miqdam Awwali Hashri, S.E, Anggota Lembaga Dakwah Komunitas PP Muhammadiyah