Kemiskinan dan Pilpres 2024
Oleh: Dr. Ngatipan
Kata miskin atau kemisikinan pada umumnya sering diidentikkan dengan suatu kondisi buruk atau mengacu pada suatu narasi kurang terhormat, sengsara, kelemahan dan kata yang semakna dengan itu. Orang miskin sering kali dianggap sebagai objek pasif yang hanya dicirikan oleh kondisi dan karakteristik kemiskinan. Pengukuran kemiskinan kemudian sangat dipengaruhi oleh perspektif income poverty yang menggunakan pendapatan sebagai satu-satunya indikator “garis kemiskinan”. Pengertian kemiskinan umumnya selalu dikaitkan hanya dengan sektor ekonomi semata. Padahal kemiskinan bisa dilihat dari sisi sosial maupun budaya masyarakat.
Pada prinsipnya kemiskinan menggambarkan kondisi ketiadaan kepemilikan dan rendahnya pendapatan, atau secara lebih rinci menggambarkan suatu kondisi tidak dapat terpenuhinya kebutuhan dasar manusia, yaitu pangan, papan, dan sandang. Beberapa definisi menggambarkan kondisi ketiadaan tersebut. Salah satunya adalah definsi kemiskinan yang digunakan BPS, yang menjelaskan kemiskinan sebagai ketidakmampuan individu dalam memenuhi kebutuhan dasar minimal untuk hidup layak. Dalam KBBI, kata miskin bermakna tidak berharta; serba kekurangan (berpenghasilan sangat rendah), sedangkan kemiskinan adalah hal miskin; keadaan miskin;– absolut situasi penduduk atau sebagian penduduk yang hanya dapat memenuhi makanan, pakaian, dan perumahan yang sangat diperlukan untuk mempertahankan tingkat kehidupan yang minimum.
Pandangan dimuka merupakan paradigma umum dan memandang kemiskinan hanya sebatas pada melihat kekurangan pendapatan atau materi, serta kurang melibatkan orang miskin sebagai subyek dalam persoalan kemiskinan itu sendiri. Fungsi sosial orang miskin di mata masyarakat pada umumnya dianggap sebagai sebuah peran sosial rendahan yang kurang diperhitungkan. Dimana-mana dan dalam banyak forum sosial, orang miskin hanya diposisikan sebagai peran “pelengkap”.
Hal tersebut berdampak pada bentuk-bentuk kemiskinan yang muncul dalam masyarakat tersebut kurang mendapatkan perhatian. Fenomena kemiskinan yang semakin meningkat tiap tahun, lebih-lebih di saat munculnya resesi ekonomi di tahun 2023 ini tidak dapat ditangkap oleh paradigma ini sebagai sebuah ekses yang diakibatkan oleh ketidakberfungsian peran sosial, berupa momen pilpres (pemilihan presiden) maupun pileg (pilihan legislatif) 5 tahun-an sebagai salah satu sistem sosial yang telah berjalan sekian puluh tahun lamanya di negeri Indonesia tercinta ini.
Janji-janji dari para politisi dan politikus yang rata-rata hanya berorientasi pada kepentingan sesaat dan bersifat materialistis telah membuktikan bahwa fungsi sosial momen pilpres yang semestinya bisa ikut serta menekan lonjakan dari naiknya grafik kemiskinan yang terjadi, justru sebaliknya malah ikut memperunyam kondisi kemiskinan cenderung meningkat setiap tahunnya. Dilansir dari laman resmi Otoritas Jasa Keuangan, secara umum resesi ekonomi dapat dimaknai sebagai suatu kondisi dimana perekonomian suatu negara mengalami penurunan berdasarkan dari produk domestik bruto (PDB), jumlah pengangguran, maupun pertumbuhan ekonomi yang bernilai negatif selama dua kuartal berturut-turut.
Momen pilpres 2024 merupakan salah satu fungsi sosial dari struktur kehidupan sosial masyarakat dan diharapkan sebagai titik estafet bagi masyarakat menuju perubahan hidup yang lebih baik dalam setiap lini kehidupan, dari aspek layanan kesehatan, perekonomian maupun pembangunan manusia Indonesia seutuhnya, melalui pendidikan dan kebudayaan. Budaya yang menganggap bahwa kemiskinan dan orang miskin adalah sebuah objek yang tidak memiliki kemampuan, serta ruang beraktualisasi untuk merubah keadaan menjadi lebih baik, bahkan naifnya dianggap sebagai peran kurang penting dalam sistem kehidupan sosial-masyarakat dikhawatirkan justru akan semakin memperparah kondisi kemiskinan bangsa yang sudah sangat krodit seperti saat ini. Fakta-fakta empiris mengindikasikan keadaan perekonomian Indonesia dari tahun ke tahun semakin parah, setidaknya nampak terlihat di akhir-akhir tahun 2022 kemarin. Persentase penduduk miskin sampai bulan September 2022 naik menjadi 9,57 persen yang sebelumnya berkisar sekitar 7 %.
Dikutip juga, dari CNBC Indonesia, Menteri Keuangan, Sri Mulyani menjelaskan berulang kali bahwa kondisi ekonomi global sedang tidak baik-baik saja. Hal ini tercermin dari adanya ancaman resesi ekonomi yang menjadi hantu menyeramkan bagi seluruh negara di dunia, tak terkecuali bagi Indonesia. Lantas pertanyaan besar bagi rakyat Indonesia, dengan paradigma seperti ini apakah Indonesia dapat bertahan tidak terjatuh dalam jurang resesi 2023? . Disisi lain, isu ketidakpastian rencana pilpres 2024 dan perpanjangan masa jabatan presiden 3 periode yang berhembus belakangan ini secara tidak langsung berdampak pada iklim usaha, serta kepercayaan para investor, terutama investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Kemudian, budaya kampanye politik menjelang pilpres yang biasanya dilakukan 1 tahun sebelumnya, bahakan ada sebagian parpol yang “mencuri” start dengan kampanye terselubung sarat dengan money politic sudah menjadi rahasia umum dan menjadi pemandangan 5 tahunan yang terus menggejala.
Pilpres sebagai salah satu fungsi sosial yang kelak diharapkan mampu menghasilkan seorang pemimpin ideal memiliki peran sosial strategis dalam membawa nakhoda pemerintahan menuju bangsa yang adil, makmur sejahtera. Momen demikian patut dicatat, serta menjadi perhatian bagi semua unsur fungsi-fungsi sosial, seperti para tokoh masyarat maupun agama, ilmuwan, baik guru maupun dosen, serta penyelenggara negara itu sendiri untuk dapat mengoptimalkan momen tersebut dengan sebaiknya-baiknya agar keberfungsian perannya dapat berjalan secara optimal, khususnya kontribusi dalam menekan laju kenaikan angka kemiskinan di Indonesia. Pemimpin ideal tidaklah lahir secara spontan, yang terpilih melalui momen pilpres/pileg, akan tetapi pemimpin ideal lahir dari serangkaian proses persiapan cukup panjang, diantaranya proses kampanye.
Kampanye merupakan momen bagi para calon pemimpin bangsa untuk melakukan persuasi, komunikasi dan konsolidasi visi-misi mereka kepada rakyat dalam rangka menghasilkan pilihan pemimpin sesuai harapan dan amanah rakyat. Jauh sebelum itu momen kampanye meruapakan ajang bagi segenap rakyat untuk menilai sepak terjang calon pemimpin yang akan mereka pilih. Sehingga, para calon dewan perwakilan rakyat maupun calon presiden harus mampu menunjukkan etika diri dan teladan yang baik kepada rakyat bahwa mereka bisa menjaminkan diri mampu memainkan peran sosial sebagai pemimpin rakyat setelah mereka telah terpilih dan itu dimulai sejak proses pemilihan dilakukan.
Budaya kurang tertib dan money politic dalam kampanye politik, suap sana-sini yang terpenting tujuan tercapai, bukannya menyelesaikan persoalan bangsa dan rakyat Indonesia, justru semakin memperparah kondisi kemiskinan yang ada. Budaya money politic mendidik rakyat berpikir sempit, jangka pendek tanpa memperhitungkan tujuan hidup jangka panjang, serta merupakan usaha pemiskinan terstruktur dan menjadi orang miskin hanya sebagai objek dalam permasalahan kemiskinan. Jiwa inovatif dan kreatif rakyat, khususnya orang miskin semakin mengkerdil, sehingga peran sosial mereka tidak bisa berfungsi dengan semestinya. Budaya money politic menjadikan rakyat menjadi kurang peka terhadap permasalahan-permasalahan substanstif bangsa dan negara, hanya cenderung memimikirkan kepentingan pribadi/golongan dan bersifat pragmatis.
Tentunya kita sepakat, bahwa pemimpin yang baik dan berintegritas yang mampu memainkan peran sosialnya tentu saja diawali pula dari proses yang baik dan jujur, menaati konstitusi sebagai bagian dari kesepakatan bersama yang harus dijunjung tinggi oleh seluruh rakyat Indonesia. Money politic dalam kampanye politik berarti sama saja memulai suatu yang baik dengan sesuatu yang tidak baik, serta bertentangan dengan nilai-nilai moral dari tujuan dan proses adanya kampanye tersebut. Permasalahan kemiskinan sebenarnya bukan persoalan peran individu, namun lebih pada peran sosial dari lembaga atau strukur fungsi sosial yang ada di masyarakat. Money politic yang selama ini dinarasikan sebagai suatu bentuk bantuan kepada rakyat (calon pemilih) bukanlah solusi yang tepat dalam mengatasi kemiskinan. Para politisi atau politikus semestinya menjadikan momen kampanye politiknya untuk mendiskusikan, serta mengkomunikasikan peran-peran sosial dari fungsi sosial dari struktur masyarakat yang ada dalam rangka pengentasan kemiskinan, karena sekali lagi persoalan kemiskinan tidak hanya melibat peran personal individu, namun juga melibat peran sosial dari seluruh individu atau masyarakat dalam menjalankan fungsi-fungsi sosialnya.
Teori dan pendekatan keberfungsian sosial menawarkan alternatif kaitannya dengan penyelesaian permasalahan kemiskinan diatas. Pendekatan ini lebih mengarah pada pendekatan demokrasi sosial dalam penyelesaian permasalahan kemiskinan. Pendekatan keberfungsian sosial menekankan pada cara yang dilakukan individu-individu dan kelompok dalam melaksanakan tugas kehidupan untuk memenuhi kebutuhan masyarakatnya. Fokus utama dari pendekatan ini adalah pada kapabilitas individu, keluarga dan masyarakat dalam menjalankan peran-peran sosial di lingkungannya. Menurut teori ini, bahwa keberfungsian sosial berkaitan dengan kemampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan dasar diri dan keluarga, serta kontribusi riil dan positif terhadap masyarakat di sekitarnya. Dalam pendekatan ini, individu atau anggota masyarakat dianggap sebagai subjek dari segenap proses dan aktivitas kehidupannya. Sehingga, setiap individu memiliki dan dapat menjangkau, memanfaatkan, dan memobilisasi aset dan sumber-sumber daya yang ada di sekitarnya.
Pendekatan ini menganggap kelompok miskin bukanlah sebagai objek yang pasif yang hanya dicirikan oleh kondisi dan karakteristik kemiskinan. Golongan miskin bagi pendekatan ini adalah individu yang memiliki seperangkat pengetahuan, potensi dan ketrampilan yang dapat digunakan dalam mengatasi berbagai ritme persoalan kemisikinan yang dihadapinya. Keberfungsian sosial dapat menggambarkan karakteristik dan dinamika kemiskinan yang relatif realistis dan komprehensif. Dengan pendekatan ini dapat diuraikan bagaimana keluarga miskin merespon dan mengatasi permasalahan sosial-ekonomi yang terkait dengan situasi kemiskinannya, serta bagaimana struktur rumah tangga, keluarga, kekerabatan, dan jaringan sosial mempengaruhi kehidupan orang miskin. Pendekatan ini lebih menekankan pada apa yang dimiliki kelompok miskin, bukan pada apa yang tidak dimiliki kelompok miskin.
Ajaran Islam sebagai agama yang rahmatan li Al ‘ālamīn yang tidak hanya membahas aspek-aspek ubudiyah (peribadahan secara vertikal seorang hamba kepada Rabbnya), namun juga mengajarkan bagaimana seseorang bermuamalah dengan baik antar sesama manusia (hablun min Al Nās) menawarkan nilai-nilai keberfungsian sosial yang sangat luhur melalui tasyrī’ (pensyariatan ekonomi shariah) agar para umatnya memiliki karakter produktif dan iŜār (memprioritaskan orang lain) kepada semua orang, lebih-lebih sesama saudara seiman. Syariat shadaqah atau infaq dalam hukum islam memiliki kedudukan sentral kaitannya dengan status keimanan seseorang. Tidaklah seseorang beriman dianggap benar keimanannya kecuali dengan shadaqah atau infaq. Shadaqah adalah bukti riil fungsi dan peran sosial seseorang mukmin kepada saudaranya. Seseorang dikatakan sempurna imannya tatkala ia mampu mencintai saudaranya seiman seperti mencintai dirinya dan memprioritakan keadaan saudaranya dibandingkan dirinya sendiri.
Agama Islam mencela seorang mukmin sebagai individu yang memiliki peran dan fungsi sosial bagi diri dan keluarganya hidup dengan cara meminta-minta belas kasihan dari orang lain. Karakter meminta-minta dalam Islam dianggap sebagai ketidakberfungsian fungsi dan peran sosial umat islam itu sendiri, sehingga begitu pentingnya hal ini sampai-sampai Rasulullah SAW menganjurkan untuk tidak makan kecuali dari hasil keringatnya sendiri. Seseorang pergi ke hutan mencari kayu bakar, kemudian menjualnya dan dari hasil penjualan itu ia makan tentu lebih mulia dibandingkan dengan seseorang yang hidup dari hasil meminta-minta kepada orang lain. Secara tersirat dengan pesan ini, islam ingin mengajarkan umatnya agar mengedepankan nilai kemanusiaan dan kesejahteraan dengan mengoptimal keberfungsian individu dalam mencukupi kebutuhan dasar diri dan keluarganya, serta tidak menjadi beban bagi orang lain.
Kemudian keberfungsian individu dalam kehidupan sosial-masyarakat secara luas nampak jelas dari disyariatkannya shadaqah atau infaq. Shadaqah secara umum dibagi menjadi 2, yaitu shadaqah wajib dan shadaqah sunah (anjuran). Shadaqah wajib terdiri dari zakat fitrah dan zakat maal. Zakat fitrah menggambarkan keberfungsian individu dalam memenuhi kebutuhan dasar kehidupan pribadi dan keluarganya. Bahwa setiap muslim yang memiliki kemampuan makan/finansial secara minimal, yaitu memiliki sejumlah bahan makanan cukup selama hari raya (sehari semalam) bagi diri dan keluarga, tanpa terkecuali dan tanpa memandang status sosial, serta kategori-kategori miskin yang berlaku diwajibkan membayar zakat fitrah kepada fakir-miskin, berupa makanan dalam ukuran yang telah ditentukan syariat.
Demikian juga, seseorang yang memiliki harta senilai nisab dan haul, yang berarti seseorang telah memiliki kecukupan kebutuhan bagi diri dan keluarga juga diwajibkan membayar zakat mal. Zakat mal ini dibayarkan kepada sanak kerabat, tetangga dekat yang tidak memiliki cukup kemampuan agar menunaikan peran dan fungsi sosial mereka secara lebih baik. Konsep shadaqah dalam islam akan menjadikan rizki pelakunya semakin luas, dalam arti keberfungsian sosial seorang mukmin semakin luas dan produktif, dengan manfaatnya yang dapat dirasakan oleh segenap masyarakat. Kemudian shadaqah sunah memiliki varian yang lebih banyak, mulai dari infaq, ‘āriyah (pinjam-meminjam), wakaf dan berbagai akad bisnis shariah sebagai bentuk perluasan keberfungsian sosial syariat islam yang semestinya mampu diperankan secara optimal oleh setiap individu muslim dalam rangka memperluas peran sosialnya bagi kesejahteraan umum, tidak hanya kesejahteraan sesama muslim, namun kesejahteraan dalam arti yang lebih luas, yaitu kesejahteraan umum umat manusia sebagai manifestasi peribadahan kepada Allah SWT.
Dr. Ngatipan, S.Pd.I., M.Pd.I, Dosen Akademi Manajemen Administrasi Yogyakarta