Mendialogkan Ide Penyatuan Awal Bulan, Tanggapan atas Tulisan Seorang Pakar
Oleh: Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar
Tulisan ini merupakan catatan dan tanggapan atas sebuah tulisan berjudul “Demi Titik Temu : Cukupkan Ijtihad Dalil Fikih, Kembangkan Ijtihad Kriteria Ilmiah” yang ditulis oleh seorang pakar peneliti BRIN, yang juga anggota Tim Hisab Rukyat Kemenag RI. Isi dan inti dari tulisan ini adalah kritik konstruktif dan non konstruktif atas konsep Wujudul Hilal dan juga atas organisasi Muhammadiyah.
Pakar ini memang dikenal sejak lama selalu mengkritisi konsep Wujudul Hilal, dan belakangan ini secara terbuka ‘menyerang’ Muhammadiyah dari aspek luar substansi yaitu dengan memberi stigma negatif dan menuduh Muhammadiyah sebagai organisasi yang mengedepankan ego dan mengabaikan ukhuwah Islamiyah. Tulisan ini menjawab dan menanggapi kritik non konstruktif tersebut.
“Cobalah dialogkan kriteria bersama yang bisa untuk membuat kalender, tetapi kompatibel untuk verifikasi rukyat”.
“Cobalah dialogkan…”. Dialog yang bagaimana? Lukman Hakim Saefuddin (Menteri Agama RI periode 2014-2019) telah menginisiasi dialog dengan ormas-ormas, namun sayang upaya ini tidak berlanjut sampai tahap semestinya sehingga kesepakatan dan titik temu belum dapat dihasilkan. Sementara Yaqut Cholil Qoumas (Menteri Agama RI saat ini) tampak tidak tertarik untuk melakukan pertemuan (dialog) dengan ormas-ormas seperti dilakukan Menteri Agama sebelumnya, barangkali karena Kemenag saat ini memandang perbedaan adalah keniscayaan sehingga tidak perlu dipaksakan untuk disatukan.
Terlebih Kementerian Agama saat ini mengusung dan menggaungkan moderasi beragama, sehingga isu penyatuan awal bulan yang notabenenya ranah fikih yang sangat dinamis tampaknya tidak menjadi prioritas Kementerian Agama. Kementerian Agama membiarkan perbedaan ini mengalir sebagai sebuah realita dan keniscayaan yang ada namun dengan mengedepankan moderasi dan toleransi.
Pun, jika dialog itu memang benar diinginkan tentu merupakan inisiasi Kementerian Agama sendiri, plus keinginan semua ormas, bukan keinginan dan kepentingan sepihak, bukan pula keinginan dan kengototan seseorang, siapapun seseorang itu. Mengapa inisiasi itu harus dari Kementerian Agama?
Adalah karena Kementerian Agama yang diberi amanah, regulasi, fasilitas, dan dana, sehingga seharusnya Kementerian Agama pula yang intens dan terus berupaya menjalin komunikasi. Andai komunikasi itu sudah dilakukan, sejauh apa dan sedalam apa ia dilakukan? Dialog dengan ‘mendompleng’ keterwakilan Muhammadiyah dalam Tim Hisab Rukyat Kemenag sama sekali tidak dapat merepresentasikan Muhammadiyah, karena putusan di Muhammadiyah ditetapkan dengan mekanisme yang telah baku dan berlaku.
“…Kompatibel untuk verifikasi rukyat”? Dialog yang sudah diarahkan pada kecenderungan tertentu (verifikasi rukyat) jelas tidak fair dan terkesan menggiring pada kesimpulan tertentu (rukyat). Dalam kajian fikih para fukaha, perdebatan soal awal bulan hijriah hanya pada dua kesimpulan yaitu hisab dan rukyat. Dalam dialog semua pihak harus dibebaskan dari sekat, kecenderungan, dan paradigma tertentu (ormas, mazhab, putusan negara, dan lain-lain).
Seluruhnya harus bersumber dan berdasar al-Qur’an dan Sunah dengan segenap istidlal, istinbath, dan ijtihadnya masing-masing. Kompatibilitas dengan syariat dan manfaat-maslahatnya dalam implementasi, kemudahan dan keakuratan, menjadi standar kesepakatan dan kesepahaman. Masing-masing pihak harus terbuka dengan argumen dan kritik ilmiah pihak lain, mengedepankan argumen, bukan sentimen, apalagi stigma dan tendensi.
“Ketika Persis dan NU bersepakat dangan kriteria 3-6,4 dengan penyesuaian, tokoh-tokoh Muhammadiyah hanya mencela aspek proses penetapan dan sosialisasi serta “bertepuk tangan” dengan adanya perbedaan geosentrik-toposentrik.
Mencela itu berbeda dengan mengkritik secara ilmiah (sesuai data, fakta, realita), sama berbedanya antara kritik ilmiah dengan kritik tendensius dan stigma negatif. Sepahit apapun kritik selama substantif harus dapat diterima oleh siapa saja. Justru, tendensi dan stigma negatif itu yang merupakan bagian dari mencela.
Adapun kritik atas “geosentrik-toposentrik” 3-6.4 yang memang terbukti problematik harus diterima pula oleh para pengusungnya, yang manakala dikritisi atas dasar fakta dan realita empirik seharusnya diterima terbuka sebagai kenyataan, itu sama sekali bukan sikap “tepuk tangan”. Kenyataan bahwa dalam kasus tertentu IR 3-6.4 itu problematik dan inkonsisten dalam penerapan, ini merupakan kekurangan IR 3-6.4 yang harus disadari pengusungnya, sama halnya kekurangan yang ada pada Wujudul Hilal yang juga harus diterima pengusungnya. Begitu seharusnya cara elegan melihat persoalan ini.
Perbedaan elongasi toposentrik dan geosentrik akhirnya bisa diperoleh titik temu dari dialog tanpa kehadiran wakil Muhammadiyah.
Wujudul Hilal tidak memerlukan konteks elongasi toposentrik-geosentrik karena keduanya terkait fenomena ketampakan (dari permukaan bumi maupun pusat bumi) yang tidak di syaratkan dalam Wujudul Hilal. Konsep elongasi toposentrik-geosentrik hanya cocok untuk Rukyat dan Imkan Rukyat yang mensyaratkan ketampakan atau kemungkinan ketampakan, seharusnya ini dapat dipahami, ini sebenarnya sederhana sekali. Karena itu menyematkan keberhasilan titik temu toposentrik-geosentrik tanpa kehadiran wakil Muhammadiyah sama sekali tidak korelatif, karena itu pula tidak semestinya dalam segala hal Muhammadiyah harus dikaitkan dan dipersalahkan.
Keengganan Muhammadiyah untuk berdialog hanya disebabkan terlalu kuatnya ego organisasi yang bangga dengan kebesaran dan sejarah ormasnya. Ayolah berdialog secara positif menuju titik temu, bukan melompat membanggakan produk kriteria Turki.
Bangga dengan sejarah, kebesaran, dan capaian organisasi adalah soal rasa dan jiwa, setiap warga Muhammadiyah berhak untuk bangga secara positif atas organisasinya dan capaiannya. Ini juga berlaku di organisasi keislaman lainnya, ini sesuatu yang normal dan alami. Ini juga hanya bisa dirasakan orang yang memiliki ikatan batin terhadap sebuah organisasi (jam’iyyah, persyarikatan), berbeda dengan orang yang sama sekali tidak memiliki ikatan batin kepada sebuah organisasi.
Kontribusi dalam bidang pendidikan, kesehatan, kebencanaan dan kemanusiaan, merupakan sumbangan riil Muhammadiyah untuk umat, bangsa, dan peradaban, yang tidak bisa dipungkiri oleh siapapun. Jika organisasi ini berjalan dengan keengganan, dengan ego, dengan semata berbangga, niscaya Muhammadiyah tidak akan sampai dalam tahap dan capaian seperti sekarang ini.
Kalender Islam Global Turki 2016 M/1437 H bagi Muhammadiyah bukan lompatan ‘ujug-ujug’, bukan pula untuk dibangga-banggakan. Tahun 2015 M/1436 H Muhammadiyah telah menggagas ide Kalender Islam Global sebelum lahirnya putusan Turki 2016 M/1437 H. Pun, diskusi, diskursus, dan dialektika Kalender Islam Global di Muhammadiyah sudah berlangsung lebih lama lagi, yang dalam Muktamar Muhammadiyah ke-48 di Solo kembali diusung dan dipertegas. Usungan Kalender Islam Global oleh Muhammadiyah adalah dengan argumen yang rasional, bukan dengan usungan ‘ujug-ujug’, bukan pula dengan rasa bangga-banggaan, semuanya dengan kajian dan analisis.
Kalau Muhammadiyah mau Kalender Islam Global seperti rekomendasi Muktamar Makassar 2015, ayolah dialogkan bersama ormas-ormas Islam dan Pemerintah RI.
Muhammadiyah sangat terbuka, terlebih mendialogkan Kalender Islam Global. Dalam sejumlah agenda Majelis Tarjih dan Tajdid yang membahas Kalender Islam Global, Muhammadiyah berkali-kali mengundang tokoh-tokoh (pakar-pakar) eksternal untuk mendapatkan masukan, tokoh-tokoh yang pernah diundang antara lain Khafid, Moedji Raharto, Hendro Setyanto, dan lain-lain.
Dalam perjalanannya Muhammadiyah juga kerap mengundang ormas-ormas Islam untuk mendialogkan Kalender Islam Global. Tahun 2019 M/1441 H, Muhammadiyah mengadakan “Dialog Ormas Islam : Respons terhadap Gagasan Unifikasi Kalender Islam Global” di Auditorium Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah Jakarta. Muhammadiyah sepenuhnya menyadari bahwa untuk mewujudkan Kalender Islam Global perlu melibatkan ormas-ormas Islam yang ada di tanah air.
Pada pertemuan ini para wakil ormas yang hadir pada dasarnya menyambut baik upaya ini. Namun dalam perkembangannya respons dari ormas-ormas ini belum menunjukkan penerimaan, ini sesuatu yang normal, karena membutuhkan analisis mendalam, terlebih Kalender Islam Global belum menjadi prioritas organisasi masing-masing. Karena itu seruan sang pakar untuk mendialogkan Kalender Islam Global bersama ormas-ormas merupakan bentuk ketertinggalan informasi sang pakar. Tentu bukan keharusan, apalagi menjadi ‘kerjaan’ Muhammadiyah untuk melaporkan setiap progres dialog yang dilakukan kepada sang pakar itu, terlebih memenuhi tuntutan sang pakar dengan gaya khasnya, “tunjukkan”. Wallahu a’lam
Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar, Dosen FAI UMSU & Kepala OIF UMSU, Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PPM