Iman dan Kebiasaan di Bulan Ramadhan
Oleh: Amalia Irfani
Menyempurnakan ibadah agar lebih baik merupakan kewajiban setiap muslim. Nilai yang tidak hanya diukur dari bilangan atau kuantitas, tetapi dari kualitas dan pengamalan seseorang dalam kehidupan sehari-hari. Muslim yang semakin baik kualitas beribadah menunjukkan semakin baik pula pemahaman tentang agama yang ia yakini.
Pengamalan tersebut tergambar ketika Allah menitipkan rezeki lebih atau saat rezeki yang sudah didapat tidak cukup bahkan kurang. Rasa syukur merupakan tanda iman telah menyatu dalam diri, yang akhirnya menjadi kebiasaan, sebagai identitas muslim yang yakin akan kasih sayang TuhanNya. Allah SWT berfirman “Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku,” (QS. Al-Baqarah: 152).
Menurut Al-qur’an, iman bukan sekedar suatu keyakinan, tetapi suatu ajaran sebagai landasan untuk melakukan perbuatan. Imam Ghazali menyebut ada beberapa faktor seseorang itu mengkufuri nikmat-nikmat yang diberikan oleh Allah SWT. Menurutnya, ketidaktahuan dan kelalaian termasuk kepada faktor yang menyebabkan seseorang tersebut kufur. Hal tersebut terjadi karena tipisnya keyakinan, keimanan kepada Tuhan pemilik kehidupan. Iman ibarat pasang surut ombak yang menuntut manusia terus belajar, bersabar dengan berbagai cobaan dan godaan kehidupan. Cobaan adalah sunnatullah suatu keharusan dalam kehidupan, siapa pun manusia tidak akan bisa terlepas darinya. Kesabaran dalam menghadapi ujian dan cobaan adalah bentuk beriman seorang hamba kepada TuhanNya.
Iman dalam Kehidupan Sosial
Manusia sepanjang hayat akan membutuhkan orang lain. Definisi ini disebut sebab manusia adalah makhluk sosial. Bantuan yang diberikan oleh satu manusia ke manusia lainnya yang dilandasi kesadaran dan keikhlasan merupakan kepekaan sosial didasari bahwa perbuatan baik akan juga mendatangkan kebaikan bagi yang melakukannya. Kepekaan sosial seorang hamba Allah terhadap lingkungan adalah tanda kecerdasan dalam memahami hidup yang berawal dari baiknya iman. “Musaddad telah menceritakan kepada kami, ia berkata bahwa Yahya telah menceritakan kepada kami dari Syu’bah dari Qatadah dari Anas r.a berkata bahwa Nabi saw. telah bersabda : “Tidaklah termasuk beriman seseorang di antara kamu sehingga mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (H.R. Bukhari, Muslim, Ahmad, dan Nasa’i)
Hadis di atas tegas menerangkan bahwa di antara ciri kesempurnaan iman hamba Allah adalah bahwa ia mencintai sesamanya seperti mencintai dirinya sendiri. Kecintaan yang dimaksudkan di sini termasuk di dalam rasa bahagia jika melihat saudara muslim mendapatkan kebaikan yang ia senangi, dan jika ada muslim lain yang kemalangan, mendapat kesulitan dan musibah maka ia pun akan merasa tidak berbahagia dan turut berempati. Ketiadaan sifat seperti itu menurut hadis di atas menunjukkan kurang atau lemahnya tingkat keimanan seseorang terukur dari perbuatan dan tindakan sosialnya.
Membiasakan Berbuat Baik
Iman dalam kehidupan sosial seorang muslim tercermin dari perbuatan diri yang bermanfaat. Iman adalah pedoman hidup. Berpegang pada iman akan membuat diri seorang muslim mempunyai tujuan hidup yang jelas, bahkan tidak akan mudah menyerah atau berputus asa.
Berbuat baik dan menjadikannya sebagai identitas diri adalah ciri telah baiknya kualitas iman seorang muslim. Perbuatan baik merupakan indikator utama bagi setiap yang beriman. Sesuatu yang sejatinya tidaklah mudah untuk dijaga dan dibiasakan. Berikut berapa cara yang bisa kita lakukan untuk meningkatkan Iman kepada Allah SWT. Pertama rutin membaca Al Quran, Kedua, berusaha menjauhi perbuatan tercela.
Ketiga, Berkumpul dengan orang baik dan Sholeh. Keempat, senantiasa mengingat Allah SWT dalam keadaan sempit atau lapang. Keempat cara ini jika dapat dilakukan oleh seorang muslim, maka ia adalah golongan hamba Allah yang beruntung. Allah SWT berfirman, “Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang yang berbuat kebaikan” ( QS.Al Araf : 56)
Amalia Irfani, Mahasiswa Doktoral Sosiologi UMM , Divisi Penguatan Politik Perempuan LPPA PWA Kalbar