Shalat untuk Menjemput Rahmat (5)

Shalat

Sumber Foto Unsplash

Shalat untuk Menjemput Rahmat (5)

Oleh: Mohammad Fakhrudin dan Nif’an Nazudi

Pada Shalat untuk Menjemput Rahmat (4), Suara Muhammadiyah edisi 2023/03/30, dikemukakan uraian tentang bersedekap dan membaca doa iftitah. Hal yang perlu mendapat penekanan kembali adalah bahwa kaifiat bersedekap dan membaca doa iftitah itu merujuk pada hadis.

Sebagaimana sudah kita pahami bahwa sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terdiri atas (1) aqwaal (ucapan) beliau, (2) af’aal (pebuatan) beliau, dan (3) taqrir (perbuatan orang lain) yang tidak ditegur. Dalam hubungannya dengan kaifiat shalat, beliau bersabda, yang artinya, Shalatlah kamu seperti kamu lihat aku shalat.”

Hamka di dalam Tafsir Al Azhar (hlm. 6980-6983) berkaitan dengan kaifiat shalat mengutip firman Allah Subhanahu wa Ta’aala di dalam surat al-Hasyr (59): 7, yang artinya, “Dan apa pun yang diberikan kepada kamu oleh Rasul, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, tinggalkanlah.” Penjelasan beliau yang demikian menjadi dasar bahwa kaifiat shalat yang bersumber pada hadis Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam harus ditaati.

Dalam hubungannya dengan kaifiat bersedekap dan membaca doa iftitah, pada Shalat untuk Menjemput Rahmat (4) dikutip surat an-Najm (53): 3 dan 4, yang artinya, “Dan tidaklah dia bertutur itu dari kemauan sendiri. Tidaklah dia itu melainkan wahyu yang telah diwahyukan”. Di samping itu, dikutip pula pada firman Allah Subhanahu wa Ta’aala di dalam al-Qur’an surat an-Nisa (4): 80, yang artinya,

Barangsiapa menaati Rasul (Muhammad), sesungguhnya dia telah menaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka (ketahuilah) Kami tidak mengutusmu (Muhammad) untuk menjadi pemelihara mereka.”

Pada Shalat untuk Menjemput Rahmat (5) ini diuraikan kaifiat membaca ta’awuz (istiazah) dan membaca basmalah di dalam shalat.

Membaca Ta’awuz sebelum Membaca Basmalah

Di dalam HPT 3 (hlm. 544) dijelaskan bahwa sesudah membaca iftitah, kita membaca ta’awuz. Ada dua ayat al-Qur’an yang dirujuk oleh Majelis Tarjih dan Tajdid, yaitu surat an-Nahl (16): 98 dan surat Fushilat (41): 36.

Di dalam surat an-Nahl (16): 98 Allah Subhanahu wa Ta’aala berfirman,

فَاِذَا قَرَأْتَ الْقُرْاٰنَ فَاسْتَعِذْ بِاللّٰهِ مِنَ الشَّيْطٰنِ الرَّجِيْمِ

Dan apabila engkau hendak membaca al-Qur’an, mintalah perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk.”

Sementara itu, di dalam surat Fushilat (41): 36 Allah Subhanahu wa Ta’aala berfirman,

وَاِمَّا يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطٰنِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللّٰهِ ۗاِنَّهٗ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ

Dan jika suatu gangguan dari setan mengganggumu, mohonlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya, Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

Di samping merujuk pada kedua ayat tersebut, Majelis Tarjih dan Tajdid merujuk juga pada hadis. Karena pertimbangan teknis, berikut ini dikemukakan kutipan transkrip hadis dan maknanya.

HR at-Tirmizi

Dari Abū Sa’id al-Khudri [diriwayatkan bahwa] ia berkata, Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apabila berdiri hendak shalat pada waktu malam, beliau bertakbir lantas mengucapkan “Subḥānakallāhumma  wa bi amdika wa tabārakasmuka wa ta’ālā jadduka wa lā ilāha ghairuk” (Mahasuci Engkau, ya, Allah. Aku memuji-Mu. Mahaberkah nama-Mu. Mahatinggi kekayaan dan kebesaran-Mu. Tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi dengan benar selain Engkau): Lalu, beliau mengucapkan, “Allāhu akbar kabira”. Kemudian, beliau membaca, “A’ūżubillāhis-samī’il ‘alīm, minasy-syaiṭānir-rajīm min hamzihi wa nafkhihi wa nafŝih” (Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui dari setan yang terkutuk, dari bisikannya, tiupannya, hembusannya.”

Berdasarkan ayat al-Quran dan hadis tersebut, Majelis Tarjih dan Tajdid menyebutkan bahwa ada tiga lafal ta’awuz sebagai berikut.

A’ūżubillāhi minasy-syaiṭānir-rajīm (Aku berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk)  sebagaimana dijelaskan di dalam surat an-Nahl (16): 98.

atau

A’ūżubillāhis-samī’il ‘alīm, minasy-syaiṭānir-rajīm (Aku berlindung kepada Allah yang Maha Mendengar lagi Maga Mengetahui dari setan yang terkutuk) sebagaimana dijelaskan di dalam surat Fushilat (41): 36

atau

A’ūżubillāhis-samī’il ‘alīm, minasy-syaiṭānir-rajīm, min hamzihi wa nafkhihi wa nafŝih (Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui dari setan yang terkutuk, dari bisikannya, tiupannya, hembusannya) sebagaimana terdapat di dalam HR at-Tirmizi, yang transkrip dan maknanya telah dikutip.

Ta’awuz dibaca pada setiap rakaat. Ta’awuz yang dibaca adalah yang terdapat di dalam surat an-Nahl (16): 98, sebagaimana yang lazim dibaca juga di luar shalat.

Di dalam pelaksanaan shalat, cukup banyak umat Islam yang sebelum membaca surat al-Fatihah langsung membaca basmalah.  Mungkin mereka mempunyai pemahaman yang berbeda tentang kandungan HR Muslim yang transkrip dan maknanya sebagai berikut.

Dari Abū Zur’ah [diriwayatkan bahwa] ia berkata, Aku mendengar Abū Hurairah mengatakan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apabila bangkit dari rakaat kedua, beliau memulai bacaan dengan “Alḥamdulillāhi rabbil ‘ālamīn” dan beliau tidak diam.”

Di dalam HPT 3 (hlm. 546) dijelaskan bahwa hadis Abū Hurairah tersebut tidak menafikan adanya bacaan ta’awuz. Dipahami demikian karena yang ditiadakan di dalam hadis Abū Hurairah adalah diam yang diketahui, yakni diam tertentu untuk membaca iftitah.

Adapun diam karena membaca ta’awuz dan basmalah merupakan diam yang sangat ringan/sebentar yang tidak dapat dirasakan/disadari oleh makmum karena ketika itu makmum sedang bangkit ke rakaat berikutnya. Jadi, konsentrasinya penuh pada gerakan bangkit tersebut.

Sementara itu, sudah kita pahami bahwa tiap rakaat merupakaan sebuah shalat. Oleh karena itu, kita wajib membaca al-Fatihah setiap rakaat. Dengan demikian, membaca ta’awuz setiap rakaat pun lebih utama.

Membaca Basmalah

Bismillāhir-ramānir-raḥīm, yang lazim disebut juga basmalah, dapat dibaca dengan sir atau jahar pada shalat dengan bacaan surat secara jahar. Namun, membaca basmalah dilakukan dengan sir pada shalat dengan bacaan surat sir. Setiap rakaat kita membaca surat al-Fatihah dengan lebih dahulu membaca ta’awuz, kemudian basmalah.

Dasar hukum membaca basmalah sebelum membaca al-Fatihah di dalam shalat adalah hadis, yang transkrip dan maknanya dikemukakan berikut ini.

Dari Nu’aim al Mujmir [diriwayatkan bahwa] ia berkata, Aku shalat di belakang Abū Hurairah, ia membaca bismillāhir-ramānir-raḥīm, kemudian membaca ummul Qur’an (al-Fatihah) hingga sampai gairil-magdūbi ‘alaihim wa lād-dāllīn, lalu mengucapkan āmīn. Setiap kali sujud ia mengucapkan Allahu akbar dan setiap kali bangkit dari duduk rakaat kedua ia juga mengucapkan Allahu akbar. Ketika selesai mengucapkan salam, ia mengatakan “Demi Allah yang diriku berada di tangan-Nya. Sesungguhnya aku adalah orang yang shalatnya paling menyerupai shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam”. (HR an-Nasā’i, Ibn Khuzaimah, Ibn Hibbān, al-Baihaqī, ad-Dāruqutnī, at-Tahāwī, Ibn ‘Abd al Barr, dan al-Khatīb al-Bagdādī, yang disahihkan oleh al-Hākīm serta disetujui oleh aż-Żahabī dan juga disahihkan oleh al-Arna’ūṭ, tetapi didaifkan oleh al-Albānī)

Basmalah  Dibaca secara Jahar dan Sir dalam Shalat

Pada salat duhur atau asar, basmalah dibaca dengan sir, yakni seperti orang berbisik. Namun, pada shalat magrib, isya, subuh, yang bacaan suratnya dilakukan dengan jahar, maka basmalah dapat dibaca dengan cara jahar atau sir.

Dalam hubungannya dengan bacaan basmalah dalam shalat, Majelis Tarjih dan Tajdid berpendirian bahwa apabila ada taarud dalil, langkah pertama yang dilakukan adalah menjamak (mengompilasikan). Apabila jamak tidak dapat dilakukan, baru dilakukan langkah berikutnya, yaitu tarjih (memilih yang lebih kuat), nasakh (mengganti yang terdahulu dengan yang datang kemudian) atau tawakuf (tidak diambil keputusan).

Basmalah Dibaca Jahar

HR an-Nasā’i, Ibn Khuzaimah, al-Baihaqī, Ibn Khuzaimah, Ibn Hibbān, ad-Dāruqutnī, at-Tahāwī, Ibn ‘Abd al Barr, dan al-Khatīb al-Bagdādī

[an- Nasā’i berkata], Telah mengabarkan kepada kami Muhammad ibn ‘Abdilillāh, Ibn ‘Abd al-Hakam, dari Syu’aib [yang menyatakan], Telah mewartakan kepada kami al-Lais (yangn menyatakan), Telah menceritakan kepada kami Khālid, dari Sa’id ibn Abi Hilāl, dari Nua’im al Mujmir [bahwa] ia berkata, Aku shalat di belakang Abu Hurairah; ia membaca  bismillāhir-ramānir-raḥīm, kemudian membaca ummul Qur’an (al-Fatiḥaḥ) hingga sampai gairil magdūbi ‘alaihim wa lād-dāllīn, lalu mengucapkan āmīn. Setiap kali sujud, ia mengucapkan Allāhu akbar, dan setiap kali bangkit dari duduk rakaat kedua, ia juga mengucapkan Allāhu akbar. Ketika selesai mengucapkan salam, ia mengatakan, “Demi Allah yang diriku berada di tangan-Nya. Sesungguhnya, aku adalah orang yang shalatnya paling menyerupai shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

HR Ahmad, Abū Dawūd, at-Tirmizī, al-Hākim, al-Baihaqī, Ishāq Ibn Rahawaih,

ad-Daruqutnī, Ibn Abī Syaibah, at-Tabarānī, at-Tahāwī, Ibn ‘Abd al Barr, dan al-Khatīb al-Bagdādī

“(Ahmad berkata), Telah mewartakan kepada kami Yahyā Ibn Sa’īd al-Umawī, ia berkata, Telah mewartakan kepada kami Ibn Juraij, dari ‘Abdullāh Ibn Abī Mulaikah, dari Ummu Salamah bahwa ia (Ummu Salamah) ditanya tentang bacaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu ia (Ummu Salamah) menjawab, Beliau memotong-motong bacaannya satu ayat satu ayat: bismillāhir-ramānir-raḥīm, al-ḥamdulillāhi rabbil-‘ālamīn, ar-raḥmānir-raḥīm, māliki yaumiddīn.”

Basmalah Dibaca Sir

Basmalah dapat dibaca secara sir di dalam shalat yang bacaaan suratnya dilakukan secara jahar.  Hal itu sesuai dengan hadis berikut ini.

HR Muslim, Ahmad, Abū ‘Awānah, al-Baihaqī, Abū Dawūd, aṭ-Ṭālisī, ‘Abd ar-Razzaq, dan at-Tabarānī

“[Muslim berkata], Telah mengabarkan kepada kami Muhammad Ibn ‘Abdillāh Ibn Numair, [yang menyatakan], Telah mewartakan kepada kami Abu Khālid, maksudnya al-Ahmar, dari Husain al-Mu’allim―alih sanad―Muslim berkata, Telah mewartakan kepada kami ‘Ishāq Ibn Ibrāhīm―dan ini lafalnya―, ia berkata, Telah mengabarkan kepada kami “isā Ibn Yūnus [yang menyatakan], Telah mewaratakan kepada kami Husain al-Mu’allim dari Budail Ibn Maisarah, dari Abū al-Jauzā’, dari A’isyah, ia berkata, Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memulai shalat dengan takbir dan [memulai] qiraat dengan al-ḥamdulillāhi rabbil-‘ālamīn, dan apabila rukuk, beliau tidak menegakkan kepalanya dan tidak pula meluruskannya, tetapi tengah-tengah antara yang demikian, dan apabila bangkit dari rukuk, ia tidak langsung sujud sebelum terlebih dahulu berdiri lurus, dan apabila mengangkat kepalanya dari sujud, ia tidak langsung sujud lagi sebelum terlebih dahulu duduk dengan sempurna, dan beliau membaca tahiyat pada setiap dua rakaat sambil membaringkan telapak kaki kirinya dan menegakkan telapak kaki kanannya. Beliau melarang duduk mencangkung seperti setan dan melarang menghamparkan lengan bawah seperti dilakukan binatang buas. Beliau menutup shalatnya dengan mengucapkan salam.”

HR Muslim, an-Nasā’i, Ahmad, Ibn Khuzaimah, Abu Hibbān, Abū ‘Awānah,

al-Baihaqī, Abū Dāwūd, at-Tirmizī, al-Hākim, Abd Ibn Ḥmaid, dan at-Tabarānī

[Muslim berkata], Telah mewartakan kepada kami Muhammad Ibn al-Muṡannā dan Ibn Basysyār; keduanya menerima dari Gundār; Ibn al-Muṡannā menyatakan, Telah mewartakan kepada kami Muhammad Ibn Ja’far [yang menyatakan], Telah mewartakan kepada kami Syu’bah. Ia berkata, Aku mendengar Qatādah mewartakan dari Anas [bahwa] ia berkata, Aku shalat di belakang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Abū Bakr, ‘Umar, dan ‘Uṡman, maka aku tidak mendengar seorang pun dari mereka membaca bismillāhir-ramānir-raḥīm.”

Berdasarkan hadis-hadis tersebut, Majelis Tarjih dan Tajdid, menggarisbawahi pendapat yang menyatakan bahwa pada shalat yang bacaan suratnya dilakukan dengan jahar, membaca basmalah boleh jahar dan boleh juga sir. Pilihan pendapat yang demikian sangat tepat karena kedua cara itu merujuk pada hadis-hadis yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Pilihan tersebut mencerahkan umat Islam karena dapat menghapus atau setidak-tidaknya mengurangi pendapat yang keliru. Di dalam masyarakat ada pendapat bahwa imam shalat yang membaca basmalah dengan sir ketika shalat yang bacaan suratnya dilakukan dengan jahar adalah jamaah Muhammadiyah.

Lebih keliru lagi, jika imam shalat yang membaca basmalah dengan jahar pada shalat yang bacaan suratnya dilakukan dengan jahar dinyatakan salah. Keliru juga jika imam shalat yang membaca basmalah dengan sir pada shalat yang bacaan suratnya dilakukan dengan jahar dikira tidak membaca basmalah sehingga shalatnya tidak sah.

Allahu a’lam

Mohammad Fakhrudin, warga Muhamadiyah tinggal di Magelang Kota

Nif’an Nazudi, dosen al-Islam dan Kemuhammadiyahan Universitas Muhammadiyah Purworejo

Exit mobile version