Gelak Tawa yang Menyedihkan
Oleh: Immawan Wahyudi
DPR Wakil Ketum Partai
KEHEBOHAN Prof. Mahfud MD membongkar transaksi mencurigakan sebear 349 triliun rupiah di Kementerian Keuangan membuka banyak hal besar yang selama ini tidak diketahui. Atau paling tidak selama ini hanya merupakan insinuasi politik bahwa DPR tidak lagi semakna dengan demokrasi: dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Bersamaan dengan kegaduhan luar biasa yang dipicu oleh Prof. Mahfud MD, membuka mata kita bahwa hal itu secara jujur diakui (dinyatakan) oleh salah satu elit DPR. Berikut penulis kutip lengkap dari suatu media tentang pernyataan tersebut.
“Bambang Pacul merespon permintaan Menko Polhukam Mahfud untuk segera mengesahkan RUU Perampasan Aset. Bambang tak menutup pintu agar anggota dewan melakukan pengesahan RUU Perampasan Aset. Namun menariknya, Bambang tak berani ketok palu sebelum diperintahkan oleh ‘Ibu’. Sosok ‘Ibu’ yang dimaksud oleh Bambang diduga merujuk ke ketua partainya, Megawati Soekarnoputri. “Di sini boleh ngomong galak, Pak, tetapi Bambang Pacul ditelepon ibu (Megawati), ‘Pacul berhenti!’, ‘Siap! Laksanakan!’,” celetuk Bambang Pacul. Bambang mengaku siap memenuhi permintaan Mahfud MD ketika ia sudah diberi lampu hijau oleh atasannya, yang tak lain adalah ketua partai. “Jadi permintaan Saudara langsung saya jawab. Bambang Pacul siap, kalau diperintah juragan. Mana berani, Pak,” timpal Bambang Pacul yang kemudian dibalas oleh gelak tawa seisi ruang sidang. (https://www.gelora.co/2023/03/keceplosan-bambang-pacul-sebut-dpr).
Dalam pemikiran penulis, gelak tawa dari para wakil rakyat yang terhormat di Gedung terhormat itu bisa dimaknai sebagai kejujuran ungkapan apa yang sebenarnya sudah dan sedang terjadi di Gedung Perwakilan Rakyat itu. Pada sisi lain gelak tawa itu menumbuhkan keprihatinan bahkan kepedihan rakyat. Gelak tawa itu kalau dibahasakan bisa berbunyi : “Saudara-saudara, beginilah status kami saat ini. Oleh sebab itu jangan pernah berharap aspirasi Saudara-saudara kami dengarkan dan kami perjuangkan. Meskipun itu adalah perintah dari undang-undang”
Keterwakilan Struktur Politik Kita
Secara kebetulan, penulis sedang banyak membaca teori-teori politik yang terkait dengan keterwakilan dan keadilan untuk persiapan mengajar. Penulis temukan tulisan dari Dr. Osbin Samosir tentang teori keterwakilan dari Montesqiue. Osbin menulis; “Montesquieu (1689-1755) menuliskan pemikiran sistim keterwakilan politiknya dalam bukunya “Del L’esprit Des Lois’’. Kekuasaan itu berfungsi untuk menampung, membicarakan dan memperjuangkan keterwakilan kepentingan rakyat banyak serta merumuskan peraturan dalam Lembaga bernama ’’legislatif’’. Dewan rakyat (legislatif) merupakan mediator antara rakyat dan penguasa, menjadi komunikator dan agregator aspirasi dan kepentingan rakyat banyak. ”http://repository.uki.ac.id/5450/1/SISTEMPERWAKILANPOLITIKDIERAMODERN)
Dunia politik kekuasaan kita mengenal adanya struktur dalam konteks perundang-undangan. Demikian juga struktur dalam konteks otoritas. Jika kaitannya dengan permintaan Menko Polhukam Mahfud MD, agar DPR segera membahas dan mengesahkan RUU perampasan aset memang harus ada usaha kongkret dan serius dari kedua belah pihak. Keseriusan itu sekurang-kurangnya sama dengan seriusnya kedua belah pihak membahas dan mengesahkan RUU Cipta Kerja –yang nota bene banyak ditentang masyarakat sampai saat ini. Maka ada tanggung jawab bersama secara politik maupun secara moral dari Legilatif (sebagai pemegang hak legislasi) dan Pemerintah (sebagai mitra sekaligus pelakana dari peraturan perundang-undangan) untuk membahas dan mengesahkannya.
Sejauh ini ada asumsi-asumi atau malah insinuasi terhadap DPR RI juga terhadap Pemerintah, bahwa untuk paraturan perundang-undangan yang melindungi dan menyejahterakan rakayat seperti kurang memperoleh perhatian dan usaha yang serius. Sementara itu masyarakat merasa benar-benar heran dengan terlalu cepatnya pembahasan RUU KUHP dan RUU Cipta Kerja yang keduanya sudah menjadi undang-undang. Memang untuk RUU KUHP Pemerintah maupun DPR akan berlindung pada “kesejarahan” pembahasan RUU itu telah memakan waktu bertahun-tahun. Tapi klaim bertahu-tahun itu tidak lantas membuat masyarakat legowo karena isinya ada yang mengancam hak-hak kontitusional warga negara.
Disamping adanya pengakuan Anggota DPR bahwa boss lah yang menentukan dibahas dan atau disahkannya suatu rancangan undang-undang, masyarakat berspekulasi adanya kekuatan di atas kekuatan. Artinya kekuatan politik yang –Pemerintah maupun DPR– tidak akan berani menentang atas permintaan mereka. Sebuat saja kekuasaan politik adalah oligarki. Mereka ini dicurigai masyarakat sebagai pemegang kekuasaan yang sesungguhnya. Artinya struktur kekuasaan politik kita diatas Lembaga Tinggi Negara ada lembaga tertinggi negara, tapi bukan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Politik Perwakilan Ditinjau Kembali
Apakah kita akan rela bahwa pada akhirnya kata demokrasi hanya bermuara pada kalimatu haqqin uridu bihaa baathil (kalimat/istilah yang benar tapi ditujukan untuk tujuan yang tidak benar). Ini pernyatan Ali bin Abi Thalib ra. Tentu semestinya ada ukuran yang pasti sebagai parameter bahwa Lembaga Tinggi negara Bernama DPR dibatasi “kreatifitasnya” untuk menundukkan diri kepada kekuatan politik di luar kedaulatan rakyat. Artinya, pernyataan dan tindakan Anggota DPR yang terhormat tidak boleh semena-mena mencederai makna demokrasi: kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat untuk rakyat. Ukuran pasti itu Bernama Undang-undang Tentang Pengawasan Terhadap Ucapan, Sikap dan Tindakan Anggota DPR. Pastilah pemikiran seperti ini hanya akan memancing gelak tawa yang menyedihkan.
Immawan Wahyudi, Dosen Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan (UAD)