BATAM, Suara Muhammadiyah – Ketua Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, M. Nurul Yamin mendorong keterlibatan ormas keagamaan dalam persoalan yang dihadapi oleh Pekerja Migran Indonesia (PMI).
Di acara Diskusi Publik Peran Semesta Melawan Sindikat Penempatan Ilegal PMI yang diselenggarakan oleh Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), Kamis (6/4), Yamin menuturkan persoalan PMI bukan sekedar masalah kebangsaan saja.
“Penempatan TKI ilegal ini bukan semata-mata persoalan kemanusiaan saja, dan juga bukan persoalan kebangsaan. Tetapi bagi orang yang beragama ini adalah juga menyangkut persoalan keagamaan,” ungkapnya.
Landasan teologisnya dapat dilihat dalam Surat Al Isra’ ayat 70, yang menyebutkan tentang kemuliaan anak Adam atau manusia. Surat ini menjadi landasan kuat untuk keterlibatan ormas keagamaan, termasuk Muhammadiyah untuk berpartisipasi mengentaskan masalah PMI ilegal.
Hemat Yamin, setidaknya terdapat enam potret buram PMI yang sampai sekarang masih terjadi, yaitu meliputi masalah overstay, ingin dipulangkan, perdagangan orang, upah yang tidak dibayar, sakit dan masalah sosial lain, serta penipuan – gagal berangkat.
Masalah PMI, imbuh Yamin, bukan semata-mata dilihat dari angka atau kuantitatif, tetapi juga harus dilihat dari sisi kualitatif. Menurutnya, masalah PMI juga masalah kemanusiaan, sehingga sangat memungkinkan untuk didekati memakai sudut pandang kemanusiaan.
“Untuk tidak terjebak pada angka-angka, untuk memahaminya secara kualitatif karena ini menyangkut manusia, jadi kita melihatnya dalam perspektif kemanusiaan. Walaupun kita akan mencoba melihatnya dalam angka-angka, jangan-jangan ini menunjukkan sebuah fenomena gunung es.” imbuhnya.
Sementara itu, jika dilacak akar masalahnya Yamien menemukan sekurangnya empat yaitu kemiskinan, kesenjangan, rendahnya pendidikan dan adanya suplay dan demand. Mengingat begitu kompleks masalah ini, maka rumusan penyelesaiannya harus secara integratif.
Muhammadiyah melalui majelis dan lembaganya, termasuk MPM telah berkomitmen memotong akar masalah tersebut. Seperti melakukan pemberdayaan – meningkatkan kesejahteraan masyarakat di NTT, yang diketahui sebagai salah satu kantong penyumbang PMI ke luar negeri.
“Oleh karena itu saya tawarkan dua strategi, satu berbasis masyarakat dan yang kedua berbasis pelaku,” kata Yamin.
Strategi pertama yang berbasis masyarakat adalah pemberdayaan masyarakat, baik yang akan menjadi maupun yang sudah, dan purna sebagai PMI. Sementara strategi kedua berbasis pelaku adalah dengan ‘perang semesta’, yang kemudian akan dikontekstualisasikan.
“Dari sisi pemberdayaan harapannya ketika seorang PMI itu berangkat untuk mengatasi kemiskinan, maka kembali dia harus berhasil mengatasi kemiskinan. Paling tidak saudara-saudaranya yang lain jangan sampai kembali malah lebih miskin dari pada sebelumnya,” harap Yamin. (Aan)