Gemuruh Literasi: Sulhan Yusuf Meneruskan Titah Iqra di Gua Butta Toa
Oleh: Agusliadi Massere
Membaca buku Gemuruh Literasi: Sederet Narasi dari Butta Toa karya Sulhan Yusuf, yang ketebalannya xiv + 366 halaman, pikiran ini langsung melakukan proses algoritmik dan melemparkan gulungan benang relasi dan relevansi dengan proses turunnya surah dan ayat pertama Al-Qur’an (QS. Al-Alaq [96]: 1-5). Ada spirit dan nilai yang serupa. Namun, tepatnya terasa ada proses meneruskan spirit dan nilai iqra yang dititahkan kepada Rasulullah Muhammad Saw., 15 abad yang lalu di Gua Hira.
Ketika buku Gemuruh Literasi lahir atau minimal berada di tangan saya, pada bulan Ramadan, percikan spirit dan nilai iqra yang dititahkan pada bulan Ramadan pula, 15 abad yang lalu itu, sangat terasa dalam diri ini, apatah lagi penulisnya—jika bisa disebut—memiliki spirit perjuangan profetik. Saya yakin, atribusi ini tidak berlebihan, ketika seseorang dan siapa saja yang mengenal penulisnya dari jarak sosio-psikologis yang dekat.
Membaca peta sosiologis dan geografis Kabupaten Banteang, yang dijuluki pula sebagai Butta Toa (terj. Tanah Tua), maka ketika buku Gemuruh Literasi tiba di tangan dan membacanya sekilas, lalu pikiran menerawan jauh ke masa lampau, pada peristiwa yang sangat dahsyat dan menjadi peletak dasar nilai konstruksi peradaban apa pun di muka bumi ini, sambil menelusuri jejak sosio-psikologis penulis buku tersebut, maka memerciklah judul tulisan di atas. Gemuruh Literasi: Sulhan Yusuf Meneruskan Titah Iqra di Gua Butta Toa, adalah (meskipun) mengandung hal metaforis dan hiperbolis tetapi, saya yakin ada nilai dan spirit perjuangan yang aktual sebagai bentuk kontekstualisasi titah iqra yang akan memberikan implikasi besar dan straegis dalam pembangunan peradaban, minimal di bumi Butta Toa (Terj. Tanah Tua).
Buku Gemuruh Literasi adalah kristalisasi dari spirit perjuangan literasi—saya yakin tidak keliru jika dikatakan pula spirit meneruskan titah iqra—yang telah membentuk relief jejak kehidupan selama 13 tahun lamanya di bumi Butta Toa, Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan. Buku ini adalah mutiara hasil tempaan kembali penulisnya, dari cahaya lilin kehidupan, yang selama ini telah dinyalakan di sudut-sudut kota sampai pelosok Kabupaten Bantaeng, dalam bentangan waktu yang tidak singkat namun terasa singkat. Energi itu jauh lebih besar, tidak menyisakan ruang dalam hati untuk berkeluh-kesah, lelah, capek, stress, dan termasuk suara-suara negatif dan sumbang, sehingga semuanya terasa singkat, selain menggembirakan dan membahagiakan.
Ketika membaca sejarah kehidupan Muhammad Saw. sampai diangkat sebagai utusan Allah, sebagai nabi dan rasul, dalam bahasa naluriah manusia normal, ada kesan “kemustahilan” serupa antara apa yang diungkakpan oleh penyunting buku—Ikbal Haming—terkait dongeng Lelaki Tua yang berasal dari negeri Cina, yang dibacanya dari Catatan Pinggir Goenawan Mohamad, dan kisah perjuangan seorang Sulhan Yusuf yang hendak mewujudkan “Masyarakat Literasi” di Kabupaten Bantaeng. Namun, sahabat pembaca pun harus memaklumi dan memahami bahwa, saya sama sekali tidak ada niatan untuk mensejajarkan maqam seorang Sulhan Yusuf dan subjek dalam dongeng Lelaki Tua dari Cina itu, dengan Rasulullah Muhammad Saw.
“Kemustahilan” yang saya maksud hanya pada pemahaman: Pertama, Rasulullah Muhammad Saw. dikenal sebagai seorang ummi (tidak bisa membaca dan menulis), tetapi ada gemuruh harapan dalam dirinya, yang membuatnya untuk selalu melakukan perenungan di Gua Hira, tak lain dan tak bukan hanya untuk mendapatkan petunjuk sebagai jalan perubahan atas kondisi kehidupan Arab-Jahiliyah pada saat itu. Atas upaya itu, dirinya mendapatkan petunjuk dan ternyata core value-nya adalah spirit dan nilai iqra. Spirit dan nilai iqra ini, telah terbukti menjadi fondasi bangunan peradaban yang luar biasa, bahkan—berdasarkan sejarah—telah menjadi cahaya terang benderang bagi era kegelapan Barat sekalipun, pada saat itu.
“Kemustahilan” kedua yang saya maksud, adalah di tengah kehidupan yang serba individualistik, materialis, hedonis, dan pragmatik sebagai konsekuensi logis dari kehidupan modern hari ini, masih ada sosok Lelaki (yang pada tanggal 20 Februari 2023 yang lalu, umurnya telah sampai di titik yang tidak muda lagi, 56 tahun)—saya tidak mau menyebutnya Lelaki Tua, seperti dongeng dari Cina yang dikutip oleh penyunting buku tersebut—yang penuh kerelaan, ketulusan, dan keikhlasan melangkahkan kaki dari sudut kota yang satu ke sudut kota lainnya, bahkan dari pelosok ke pelosok, tanpa alas kaki. “Tanpa alas kaki” yang saya maksud di sini, bukan berarti bahwa Lelaki yang tidak muda lagi itu, berjalan tanpa sendal atau sepatu, tetapi berjalan dan terus semangat tanpa dibayar, tanpa amplop dan isinya.
“Masyarakat Literasi” sebagai impian Sulhan Yusuf sebagai penulis buku Gemuruh Literasi, jika dibentangkan dan diperluas maknanya, serupa dengan spirit, nilai, dan makna derivatif dari iqra sebagai perintah pertama yang diterima Rasulullah Muhammad Saw., sebagai jawaban atas “kegalauan”-nya melihat situasi dan kondisi Arab-Jahiliyah pada saat itu. Saya yakin, Sulhan Yusuf pun, yang dikenal pula sebagai aktor utama penggerak literasi di Kabupaten Banteang, termasuk di Sulawesi Selatan, kurang-lebihnya atau besar-kecilnya, apa yang dilakukannya sebagai upaya untuk menjawab atas berbagai “kegalauan”-nya melihat situasi kehidupan modern hari ini, tanpa kecuali dalam dinamika kehidupan di bumi Butta Toa, Kabupaten Bantaeng, sejak kala itu sampai hari ini.
Meskipun, saya menyebut terma “kegalauan” di atas, bukan berarti bahwa, Sulhan Yusuf, apatah lagi Rasulullah Muhammad Saw, secara psikologis merasakan situasi dan kondisi yang sangat buruk yang membawa dirinya sampai pada jantung pesimisme akut, menyerah, dan atau ada niat untuk lari terhadapnya—sama sekali bukan karena hal itu. Di dalamnya—meskipun saya sendiri menggunakan istilah “kegalauan”—tetap ada harapan dan peluang yang ditangkapnya, dan termasuk ada nilai mulia yang memantik semangatnya untuk memberikan warna dan untuk menawarkan langkah solutif dan strategis dalam kehidupan ini.
Literasi maupun iqra, pada dasarnya akan mampu memberikan seperangkat pengetahuan dan keterampilan pada diri setiap orang (yang melakukannya) agar memiliki modal atau kemampuan adaptasi dalam menghadapi setiap kehidupannya, terutama yang mengandung hal-hal problematis. Membumikan literasi atau meneruskan titah iqra dalam kehidupan empirik-kontemporer hari ini, agar terbentuk “Masyarakat literasi” atau pun bisa disebut pula sebagai “Masyarakat iqra”, adalah upaya yang sangat strategis untuk membangun peradaban atau minimal mewujudkan kehidupan yang lebih baik pada masa yang akan datang.
Ada sejumlah hal yang telah menjadi aksioma dalam kehidupan melalui ajaran agama, yang menegaskan urgensi dan implikasi besar dari literasi sebagai makna derivatif dari iqra, yang telah menjadi core value peradaban. Dalam QS Al-Mujadalah [58]: 11, Allah telah menegaskan untuk memberikan keunggulan bagi orang yang beriman dan berilmu. Keimanan dan keilmuan akan bisa diraih dan menjadi kokoh dalam diri dan kehidupan, hanya ketika “literasi” atau “iqra” bergerak di dalamnya.
Dalam sebuah hadits pun ditegaskan pula, jika menginginkan kebahagiaan di dunia, akhirat, dan keduanya (dunia-akhirat) hanya dengan ilmu. Mustahil ilmu itu akan eksis dan kokoh, termasuk dalam setiap diri manusia tanpa ada proses yang dimaknai “literasi”. Literasi adalah gerak strategis dalam membangun peradaban, minimal kehidupan dan kebudayaan. Meskipun literasi dalam makna luas—dalam pemahaman saya bisa pula dimaknai sebagai ajaran utama agama, Islam dan Rasulullah—yang kurang mendapatkan perhatian serius dari umat ketimbang persoalan dan perintah poligami.
Sulhan Yusuf sebagai sosok Lelaki yang tidak muda lagi, menyadari betul arti penting, urgensi, dan implikasi besar dan strategis dari “literasi”. Dirinya tanpa mengenal lelah dan gugatan—hanya mengutamakan gugahan—terus bergerak masif, baik secara personal (seorang diri) maupun secara kolektif bersama dengan orang-orang yang satu frekuensi dengannya—untuk membangun peradaban yang dinamainya “Masyarakat Literasi”, minimal untuk bumi kelahirannya yang dikenal sebagai bumi Butta Toa.
Berbagai penanda yang menjadi icon dan miniatur perjuangannya, bisa disaksikan secara nyata di bumi Butta Toa ini. Mulai dari komunitas literasi yang berdiri dan tersebar di berbagai titik sampai di pelosok desa, puluhan buku yang telah ditulis bersama, dan terbit. Berbagai dan beberapa kelas-kelas menulis telah dibuka dan dibinanya. Termasuk pula, dirintisnya Bank Buku, sebagai satu inovasi spektakuler, yang sangat asing dan sulit ditemukan dalam kehidupan dunia lain. Satu hal yang keren dan menjadi energi baru dan luar biasa, meskipun belum bisa dimaknai sebagai puncak perjuangan adalah terbitnya Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2023 tentang Penyelenggaraan Gerakan Literasi di Kabupaten Bantaeng.
Buku Gemuruh Literasi bukan hanya—sebagaimana yang kita pahami selama ini—mengabadikan penulisnya. Namun, buku Gemuruh Literasi: Sederet Narasi dari Butta Toa, juga mengabadikan berbagai jejak kebaikan, icon, miniatur, penanda, dan petanda gerakan literasi, yang kelak bukan hanya akan menjadi instrumen mengenang penulisnya sepanjang masa dan menjadi amal jariyah baginya, tetapi juga mengenang, sumber spirit, nilai, dan insprasi untuk meneruskan perjuangan itu, sampai benar-benar terwujud “masyarakat literasi” di Kabupaten Bantaeng. Ketika ini terwujud, maka salah satunya akan dirasakan bagaimana masyarakat Butta Toa akan ramah pada para penulis, baik kepada penulis buku ini, penulis opini ini, maupun penulis-penulis yang akan lahir berikutnya.
Semua itu, tanpa kecuali lahirnya buku Gemuruh Literasi yang menjadi muara sekaligus mutiara gerakan literasi di Bantaeng, adalah kristalisasi spirit profetik penulisnya dan aktor penggerak utama literasi di Kabupaten Bantaeng: Sulhan Yusuf.
Sulhan Yusuf, fokus jihad fisabillah-nya pada gerakan literasi. Fokus untuk membumikan perintah agama, Islam, dan Rasulullah Muhammad Saw. bukan pada urusan poligami, tetapi pada urusan gerakan literasi. Padahal, jika seandainya modal, terutama modal material yang dimiliki orang-orang yang memiliki semangat poligami diarahkan, dikonversi menjadi modal untuk gerakan literasi, maka gerakan tersebut semakin dahsyat.
Sulhan Yusuf, sebagaimana bisa ditemukan sebagai salah satu makna dari substansi judul tulisan saya ini, memiliki spirit perjuangan profetik. Perjuangan profetik yang saya atribusikan kepada Sulhan Yusuf (yang saya lebih akrab memanggilnya dengan Kak Sulhan) merupakan refleksi dari firman Allah dalam QS. Al-Imran [3]: 110, yang mengandung pembebasan, pemanusiaan, dan transendensi.
Gerakan literasi yang digerakkan oleh Kak Sulhan, minimal di Kabupaten Banteang, mengandung nilai dan upaya pembebasan dan pemanusiaan. Membebaskan, minimal dari berbagai kebutaan yang cenderung mengelabui dan menyesatkan. Memanusiakan manusia untuk menjadi manusia yang berakal dan beriman, memahami berbagai bentuk dan jenis kecerdasan, dan menjauhkan manusia untuk saling mengkafirkan dan menuduh sesat.
Gerakan literasi yang digerakkan oleh Kak Sulhan pun, memiliki dimensi transendensi. Apa yang dilakukannya bukan berdasarkan kepentingan politis untuk syahwat berkuasa. Dirinya menggerakan literasi dengan semangat altruis dan spirit cinta yang amat dalam terhadap ilmu. Inti perjuangan, berdasarkan yang saya amati sendiri, bagian daripada untuk merintis “jalan pulang” jalan keabadian untuk bertemu dengan sosok sang Kekasihnya: Allah. Dan spiritnya ini pun memantik bagi kita semua, untuk belajar ikhlas dan tulus terhadap setiap perjuangan yang dilakukan.
Saya selaku penulis, meskipun untuk kelas menulis tidak pernah ikut serta, tetapi untuk kegiatan literasi lain, seperti pada salah satu perhelatan milad Boetta Ilmoe, saya pernah diamanhi sebagai Ketua Panitia Pelaksana, yang dipusatkan di Gedung Pertiwi pada saat itu. Selain itu, saya yakin semangat menulis saya hari ini, yang tidak sedikit apresiasi yang bergemuruh pula dari berbagai pihak, adalah minimal hasil dari virus kebaikan atau bahasa ilmiahnya (bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah) sebagai hasil dari proses memetika spirit, nilai, literasi yang digerakkan oleh Kak Sulhan.
Tulisan ini, adalah catatan singkat untuk mengapresiasi buku Gemuruh Literasi: Sederat Narasi dari Butta Toa karya Sulhan Yusuf, yang baru saja terbit.
Agusliadi Massere, Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng. Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023