Oleh: Muh. Akmal Ahsan
(Ketua Umum DPD IMM DIY)
Ketika saya menuliskan ulasan ini, saya melakukan perenungan mendalam, sembari berhitung waktu, sudah berapa lama saya hidup dalam lingkungan intelektual. Baik sebagai akademisi di kampus, atau sebagai aktivis organisasi yang fokus pada gerakan intelektual. Maka tulisan ini bukan semata-mata untuk “menggurui” publik, tetapi juga sebagai cara untuk melakukan kontemplasi pribadi atas pemikiran dan tindakan saya sebagai bagian dari lingkungan intelektual itu. Persis pada saat yang sama, ulasan ini dituliskan dalam momentum Ramadan, sebuah ruang dan waktu terbaik untuk melakukan penyucian diri (tazkiyatun-nafs).
Kondisi Intelektualisme Indonesia
Jika kita rajin mengamati perkembangan intelektual dalam dinamika keindonesiaan dewasa ini, niscaya terbit rasa syukur bahwa di tengah pusparagam masalah intelektual, tetap saja terjadi perkembangan yang signifikan. Perkembangan itu utamanya membiak ketika keran demokrasi terbuka pasca Orde Baru runtuh. Suara-suara yang muncul dari para akademisi mulai rajin menghiasi ruang publik, di samping itu, kampus-kampus juga kini rajin memproduksi guru besar, menghasilkan sebanyak mungkin sarjana. Saat yang sama, kabar baik juga datang dari kian banyaknya publikasi hasil karya ilmiah dari para dosen dan mahasiswa.
Kendati terjadi perkembangan yang membanggakan, kita juga tidak boleh luput dari usaha melihat tantangan dan hambatan yang masih menemani gerak perkembangan dunia intelektual terkini. Demi itu, penulis mencoba memetakan beberapa tantangan baru dunia intelektual.
Pertama, tantangan pragmatisme akademik. Rentang tahun belakangan, gejala pragmatisme akademik ini makin bergejolak. Ini utamanya bisa dilihat dari giat para akademisi yang sibuk mengejar nilai-nilai material ketimbang mengabdi pada nilai-nilai ilmu pengetahuan, kebenaran universal, dan kemanusiaan. Kehendak untuk melakukan percepatan dan peningkatan kuantitas lulusan kampus justru kerap mengabaikan upaya untuk mementingkan kualifikasi akademik. Mahasiswa mengejar orientasi lulus cepat, sementara dosen juga terjebak pada dorongan untuk mengejar angka rasio kelulusan mahasiswa demi mempertahankan nilai akreditasi. Ditambah kemudian dengan fenomena perjokian di lingkungan perkuliahan yang hampir menjangkiti seluruh strata akademik. Hal itulah yang pada akhirnya mendorong para akademisi terperangkap di jurang pragmatisme yang akut.
Kedua, tantangan selebritisasi akademik. Belakangan banyak akademisi yang sibuk untuk tumbuh menjadi selebritas. Mereka asyik mengejar status “artifisial” sebagai pakar atau ahli demi meraup popularitas publik. Situasi ini semakin membiak dengan kehadiran media sosial yang turut dapat mendongkrak reputasi seseorang, utamanya ketika menggunakan narasi-narasi populis dan bombastis.
Ketiga, tantangan kemunduran kualitas diskursus di kampus. Situasi belakangan memperlihatkan ada pergeseran signifikan diskusi-diskusi dan seminar di kampus. Bukan saja pada aspek kuantitasnya, namun lebih-lebih pada aspek kualitas diskursusnya. Kampus, alih-alih menyelenggarakan forum ilmiah, sekarang ini justru kerap kali kampus sibuk memberi panggung bagi para politisi untuk membawa kepentingannya lewat seminar-seminar yang seolah-olah akademis.
Keempat, tantangan peluruhan militansi akademik. Alih-alih mengabdikan diri pada kebenaran universal, para akademisi banyak melakukan tindakan-tindakan penelitiannya hanya demi menggugurkan kewajiban administratif.
Kelima, meluruhnya moralitas intelektual seiring dengan meningkatnya scientific misconduct. Tindakan menipu, memaksakan, memalsukan, dan plagiasi yang sesungguhnya merupakan tindakan yang menyimpang dari praktik-praktik ilmiah.
Semua masalah sebagaimana diulas di atas bukan fakta yang begitu saja terjadi. Melainkan buah dari kompleksitas masalah di belakang layar. Misalnya, masalah kesejahteraan ekonomi para akademisi yang kian tidak menentu, problem rapuhnya sistem pendidikan, etos kerja yang meluruh dan pelemahan kebebasan akademik.
Menjaga Kemurnian Intelektual
Di tengah situasi dunia intelektual yang penuh kepalsuan, niat kotor, dan berkuman. Salah satu tanggung jawab moral bagi insan akademis adalah menjaga kemurnian intelektual. Kemurnian intelektual bermakna usaha untuk memurnikan kembali gerak intelektualisme pada jalan yang seharusnya (on the right way).
Ini tentu bukan pekerjaan mudah, apalagi di tengah banyaknya masalah-masalah eksternal yang menghampiri para akademisi. Menjaga kemurnian intelektual adalah keniscayaan, utamanya bila kita masih punya kehendak untuk hidup dalam kehidupan yang baik dan benar. Menjaga kemurnian intelektual sesungguhnya membutuhkan bangunan moralitas intelektual. Moralitas berfungsi untuk memastikan bahwa intelektualisme berjalan dalam rel yang benar, memastikan bahwa intelektualisme tidak berjalan destruktif dan merusak bangun moralitas intelektual.
Menjaga kemurnian intelektual bisa diteguhkan dengan beberapa langkah: pertama, penguatan kultur akademik dan penguatan etos kerja para akademisi. Etos kerja akademisi itu ditandai dengan profesionalitas dan tidak asal-asalan, sikap terbuka, dan keinginan untuk terus belajar serta meningkatkan kualitas pengetahuan. Kedua, menjamin kebebasan akademik, yakni kebebasan dalam melakukan penelitian, penyebarluasan dan penerbitan hasil karya tulis ilmiah. Terbukanya keran kebebasan akademik niscaya merupakan prasyarat bagi lahir dan tumbuhnya pikiran-pikiran ilmiah yang baru. Ketiga, menjamin kesejahteraan ekonomi para akademisi. Kesejahteraan itu bermakna jaminan hidup bagi para akademisi untuk bebas dari kemiskinan, kebodohan, kesakitan dan kekhawatiran.
Hikmah Ramadan: Purifikasi Gerakan Intelektual
Ramadan adalah momentum yang tepat dalam melakukan pendidikan dan pembinaan diri, inilah alasan mengapa Ramadan disebut sebagai syahrut-tarbiyah (bulan pendidikan). Bagi seorang akademisi atau intelektual, Ramadan dan puasa merupakan medium strategis untuk melakukan pensucian diri dari sifat-sifat tercela. Bagi para intelektual, sifat tercela itu adalah kebiasaan menipu, memalsukan, dan plagiasi. Maka puasa Ramadan seyogianya dapat mendorong terbangunnya integritas para akademisi untuk senantiasa melestarikan kemurnian intelektual yang fitri (terjaga dari kesalahan, kejelekan, dan keburukan).