Membangun Keluarga Sakinah dengan Puasa

Membangun Keluarga Sakinah dengan Puasa

Membangun Keluarga Sakinah dengan Puasa

Harta yang paling berharga adalah keluarga

Istana yang paling indah adalah keluarga

Puisi yang paling bermakna adalah keluarga

Mutiara tiada tara adalah keluarga

“Jadi tampaknya para bapak ibu, keluarga ungkapannya seperti itu. Maka perlu dan penting bagi kita jadikan Sakinah dan seterusnya.” Ungkap ustadz Ikhwan Ahada (Ketua PWM D.I. Yogyakarta) pada kajian Dhuha pada Sabtu (08/04) di Masjid Islamic Center UAD.

Dalam tujuan puasa ada keterkaitan dengan kondisi keluarga, sehingga memiliki titik temu. Pada tafsir Jalalain dalam akhir ayat Q.S. Al-Baqarah ayat 183 kata La’allakum Tattaqun ditafsirkan bahwa puasa diwajibkan agar seorang hamba terpelihara dari kemaksiatan. Karena  yang menjadi permulaan munculnya syahwat adalah disebabkan dari kemaksiatan itu.

“Dalam akhir ayat itu memiliki beberapa makna di antaranya untuk sebuah alasan dan ada harapan dari sisi orang yang diajak bicara. Al-Qur’an memang diturunkan pada junjungan kita nabi Muhammad SAW tetapi fungsi al-Qur’an adalah untuk menjadi pedoman dan panglima kita semua, sehingga ayat ini juga tentu menyasar kepada kita. Ketika kita menjadi mukhatab itu maka kita terkena taklif  (beban) dan kita juga termasuk orang yang diajak berdialog oleh Al-Qur’an. Sehingga kata la’allakum itu kita dapat ambil sebagai bagian dari peran puasa yang akan menjadikan kita takwa. ” Jelasnya.

Dengan makna ta’lili dapat diartikan bahwa alasan diwajibkannya puasa adalah agar orang yang berpuasa mencapai derajat takwa dan dengan makna taroji dapati diartikan bahwa orang yang berpuasa dibolehkan berharap dengan perantara puasanya yang menjadi orang-orang yang bertakwa.

Allah jadikan kondisi takwa itu dengan adanya empat indikator, yaitu Pertama, ketika orang menjadi takwa dari hasil puasanya atau mengharap hasil dari puasanya hanya pada Allah. Ini menunjukkan akan takut hanya kepada Allah (Al-khaufu bil Jalil). Kedua¸ ketika seseorang bertindak atau sebaliknya yaitu tidak melakukan sesuatu yang menjauhi apa yang sudah dilarang oleh-Nya dan menaati pada perintah-Nya, hal ini disebut dengan  Al-‘amalu bit Tanzil. Ketiga, takwa seseorang itu ketika memiliki orientasi menambah bekal di akhirat diutamakan daripada duniawi, ini disebut juga Al-Isti’dadu bil Yaumil Rakhil. Keempat, Rela dengan apa yang Allah putuskan setelah berusaha maksimal disebut dengan istilah Ar-Ridha bil Qalil.

Masih berkaitan dengan tujuan puasa, Quraish Shihab memberikan makna jika puasa itu tidak diperintahkan oleh Allah, niscaya manusia akan menjalankan puasa karena besarnya manfaat yang diperoleh. Lalu kemudian pada aspek yang lain siap memberikan semacam gambaran tentang kemanfaatan puasa yang luar biasa, yaitu keikhlasan, kesucian jiwa, ketulusan, kejujuran, pengendalian diri dan sebagainya. Jika digali dari aspek kesehatan puasa juga akan dapat banyak dipahami karena memberikan manfaat yang luar biasa.

Di dalam insan yang bertakwa dipastikan terpelihara dari sifat, tindakan yang tidak baik. seperti perselingkuhan, penganiayaan terhadap anggota keluarga, juga perceraian keluarga yang terjadi justru sebaliknya, saling menyayangi, melindungi, mencintai, peduli, berbagi dan saling memberdayakan antar anggota keluarga. Sifat-sifat ini muncul dari orang yang memiliki empat indikator di atas. Dengan demikian akan terlahir keluarga yang memiliki ketahanan tangguh. Inilah yang kemudian masuk ke dalam kategori keluarga yang sakinah.

Takwa akan menghasilkan efek yang sangat kuat, bukan hanya pada diri sendiri tetapi juga kepada keluarga dan meluas pada masyarakat. Belum ada penelitian yang bisa mengukur ketakwaan seseorang dari aspek psikologi yang kemudian bisa di ilmiahkan tetapi dampak nyatanya itu terasa ketika orang bertakwa memiliki sifat-sifat yang sudah disampaikan.

Di dalam Q.S. Ali Imran: 132-136 ada 6 (enam) yang bisa menjadi indikator kebermanfaatan itu tidak hanya untuk dirinya. Hal yang pertama mereka yang menginfakan hartanya. Lalu, menahan amarah. Karena orang takwa itu yang senantiasa mencoba menundukan jiwanya dengan ukuran dan patokan al-Qur’an dan Sunnah. Maka ketika al-Qur’an mengatakan tahan amarah, kemudian dia akan melakukan hal itu sebisa mungkin itulah orang yang bertakwa.

“Bisa dibayangkan berkeluarga kemudian kita tidak bisa menahan marah, pada akhirnya bukan penyesalan yang didapatkan tetapi menahan amarah terkadang dalam keluarga justru membuahkan hasil manis apalagi di saat menghadapi kondisi kritis. Menahan amarah efek di akhirnya justru adalah sesuatu yang sangat membahagiakan.”ujarnya.

Kemudian, orang yang bertakwa itu senantiasa berbuat kebaikan dan hal-hal yang bisa menjadi indikator sebagaimana yang Allah jelaskan pada ayat tersebut. Seperti segera bertaubat apabila ia melakukan sebuah kesalahan, menghentikan perbuatan keji dan lainnya.

Allah berfirman Q.S. Al-Anfal ayat 29. Di dalam ayat tersebut, kata furqan bermakna ketajaman dalam memilih dan memilah secara sempurna antara yang samar menjadi terang. Maka dengan model ini manusia akan terbebas dari belenggu dan penyakit hati. Seperti syirik, hasad, khianat dan lainnya. Jika sifat-sifat ini dibawa ke tengah keluarga dan sifat furqan ini ada dalam hati dan tajam maka kehidupan keluarga tentu akan sangat harmonis.

Pada Q.S. Al-Fath ayat 4. Kata sakinah dalam ayat tersebut berarti diturunkan oleh Allah ke dalam hati.Pada ayat ini berkaitan dengan soal kegundahan para sahabat dengan peristiwa hudaibiyah dalam persoalan politik saat itu. Allah menurunkan Sakinah itu ke dalam hati orang-orang mukmin, dimaksudkan agar dengan sakinah itu orang-orang mukmin memiliki ketenangan dan kewaspadaan. Sebagian ahli tafsir mengatakan tenang tapi tetap waspada. Ada juga yang memberikan makna sakinah itu dinamis. Dinamis dalam makna sakinah itu ada gejolak atau interaksi.

Jika dibayangkan para sahabat saat itu menghadapi adanya perjanjian hudaibiyah antara muslim dengan non muslim. Gejolak mereka ada dinamika antara yang pro dan kontra. Maka itulah sesungguhnya sakinah. Jika dalam keluarga sakinah itu bukan berarti tanpa persoalan dan tantangan. Tapi terkadang dalam keluarga yang sakinah itu tumbuh dan muncul ketika ada pernak-pernik di dalam keluarga. Beda hanya  dengan tuma’ninah, karena itu ketenangan yang harus diciptakan tenang tidak ada riak-riak di dalamnya ketika menjalankan ibadah. Dan ketika melakukan gerakan shalat yang tuma’ninah adalah duduk dengan tenang tidak ada dinamika perbuatan inovatif.

“Dalam sakinah tentu kita pahami di keluarga, kadang orangtua berbeda pendapat dengan anak yang kemudian sedikit istimewa, dan kadang kita kan berdoa Ya Allah berilah kesabaran. Saat Allah mengabulkan kita menjadi orang yang sabar tentunya ini disebut sakinah selama semua masih bisa terkendali.” Tuturnya.

Dalam surat ar-Rum ayat 21 ada kata al-Mahabbah dan al-Mawaddah serta ar-Rahmah. Jika meminjam istilah dr. Khoiruddin Basori  kata al-Mahabbah dan al-Mawaddah adalah conditional love yaitu cinta kepada pasangannya. Karena conditional ada persyaratan tertentu, seperti ingin membangun keluarga dengan calon pasangannya karena tinggi badannya.

Conditional love ini disebut dengan mahabbah jika meningkat lagi menjadi mawaddah. Tetapi, jika sudah memasuki pada ar-Rahmah maka tidak ada lagi conditional love dan hal itu harus melalui proses yang panjang. Sifat baik yang kondisioner atau unkondisioner ini sesungguhnya manifestasi dari hati yang di dalamnya diliputi rasa takwa, welas asih, kasing sayang, ramah, jujur, melindungi, mau berkorban dan lainnya.

“Tenang, dinamis kita bedakan dengan tuma’ninah. Pada saat kita shalat atau mengeluhkan ibadah yang lain kemudian sakinah itu sehat secara spiritual sebagai buah dari hati yang Allah turunkan ke dalamnya ketenangan juga sehat dalam berkomunikasi. Artinya, komunikasinya lancar meskipun jarang tetapi tetap intens.” Jelasnya.

Maka untuk menuju sakinah itu membutuhkan proses. Maka harus diorientasikan agar bisa saling mengerti, memahami apa yang yang menjadi kekurangan dan apa yang menjadi kelebihan masing-masing. Ramadhan adalah bulan pembakaran tumpukan sampah kehidupan dengan memperbanyak istighfar, sehingga menjadi kebiasaan setiap orang yang berpuasa membersihkan hati, memudahkan masuknya cahaya ilahi ke dalam hati keluarga yang berisikan manusia-manusia yang berhati bersih dan terbimbing cahaya kuasa akan mewujudkan ketahanan, sakinah dalam menjalani kehidupan yang penuh optimis sehingga menuju keluarga yang kita idam-idamkan dan melahirkan mawaddah sampai nanti pada saatnya memasuki ar-Rahmah cinta yang tidak memperdulikan hal apapun kecuali keluar dari hati.

“Tentu ini tidak mudah dan pada akhirnya setiap keluarga harus melakukan tazkiyah  upaya membersihkan hati dari penyakit iri, dengki, sombong dan lainnya. Puasa kita ini nanti akan menjadi madrasah yang kurikulumnya didesain oleh kita, yang kemudian mencapai keluarga sakinah dan pada akhirnya adalah saling Rahmah,” tutupnya. (Badru Tamam)

Exit mobile version