BANDUNG, Suara Muhammadiyah – Islam adalah agama Kamilah dan Kaffah yang hadir sebagai ruang untuk menyatukan dan memajukan kehidupan. Kehadiran Islam telah dan sudah menjadi niscaya ketika Nabi Muhamamd Saw dalam tempo 23 tahun melakukan gerak transformatif bagi bangsa Arab bercorak jahiliyah—kala itu—menjadi peradaban maju yang cerah dan mencerahkan (Al-Madinah Al-Munawwarah).
Selain itu, kehadiran Islam juga membawa dampak positif. Yakni Islam mampu menyatukan dari sengatan ketegangan yang terjadi antara Kaum Muhajirin dan Kaum Anshar. Saat itu, atas dedikasi Nabi Muhammad Saw dengan usia masih muda, kedua kaum tersebut dapat hidup damai, harmoni, dan bersatu.
Lalu, ketika di usia mudanya pula, Nabi Muhammad Saw berhasil meredam perselisihan siapa saja yang mau merenovasi Ka’bah dan siapa yang berhak mengangkat hajar aswad ke Ka’bah. Bahkan dalam peristiwa Fathu Makkah pada 630 M, dan sebelumnya ada Piagam Madinah yang dibuat sekitar 622 M, Nabi Muhammad Saw menyatakan hal ihwal persatuan dan kesatuan.
“Kesimpulannya ialah Islam merekat wahdah imaniyah (kemudian wahdah ashabiyah atau bahkan Wahdah Wathoniyah yang mengandung dimensi mewatan kebangsaan lebih luas lagi. Persatuan kesatuan dan segala diksi yang terkait dengannya secara teologis sudah final sebagaimana dideklarasikan nabi dan tercantum banyak sekali dalam ayat Al-Qur’an kita bisa baca untuk kaum muslimin atau muslim untuk seluruh umat manusia,” terang Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Dr KH Haedar Nashir, MSi dalam Ceramah Tarawih di Masjid Salman Kampus Institut Teknologi Bandung (ITB), Ahad (9/4).
Menurut Haedar, secara sosiologis dan historis kesatuan dan persatuan, harus dibangun secara kolektif antarwarga bangsa. Tidak sekadar normatif dan retorika semata, tetapi harus ada pembuktian, kata sejalan tindakan. Artinya segenap warga bangsa wajib ikut serta di dalam merekatkan dan menguatkan tentun persatuan buah pemikiran yang digagas oleh para pejuang dan pendiri bangsa.
“Secara Sosio-Historis bahwa persatuan itu selalu berproses yang harus kita ciptakan terus-menerus. Persatuan kesatuan itu adalah realitas sosiologis yang harus terus kita ciptakan bersama Bagaimana umat Islam ingin merekat persatuan di tubuh bangsa” katanya.
Dalam konteks kekinian, Haedar menekankan agar spirit persatuan amat penting ditegakkan, lebih-lebih menyangkut perbedaan penetapan awal bulan, seperti Ramadan, Syawal, dan Zulhijah. Sikap arif-bijaksana sekaligus penempatan sikap toleransi (tasamuh) mesti dihadirkan oleh segenap warga bangsa, utamanya umat Islam agar tidak menimbulkan kegaduhan, keretakan, dan sikap saling menjatuhkan di ruang publik.
“Bahwa perbedaan ini tidak membuat kita retak terhadap persatuan. Itu tandanya umat dewasa,” ujarnya.
Tentu saja Islam tidak stagnan di dalam misi menyatukan kehidupan, pada saat bersamaan Islam juga memiliki misi lain, yakni memajukan kehidupan. Menurut Haedar, persatuan itu penting, dengan persatuan, maka akan mengantarkan umat untuk maju dan berkemajuan. Karena salah satu risalah pertama dari Al-Qur’an yang diterima oleh Nabi Muhammad Saw yakni iqra’ dengan dan atas nama Tuhan. Di sini, risalah iqra’ tidak semabarang iqra’, melainkan iqra bersifat profetik.
Iqra’ yang bermakna membaca, sebetulnya bukan sekadar membaca secara verbal dan tekstual, akan tetapi lebih ditonjolkan kepada aktivitas tafakur, tadabur, dan tanadhar. Juga aktivitas mengoperasikan akal pikiran untuk memahami ilmu pengetahuan umum maupun agama secara integratif, kontektsual, dan komprehensif. Spirit Iqra meniscayakan memajukan kehidupan karena disini terjadi proses perenungan terhadap kehidupan di masa depan.
Salah satu ayat Al-Qur’an (QS al-Hasyr: 18) membuka cakrawala berpikir di masa depan. Konteks ini tentu saja tidak sekadar masa depan kehidupan di dunia, melainkan bersambung sampai kepada masa depan di akhirat sebagai orientasi hakiki perjalanan hidup umat manusia di muka bumi. Maka kedua variabel ini akan selalu kelindan untuk mendorong umat manusia melakukan hal-hal kebaikan agar hidup tidak terjadi kerusakan (kehancuran), akan tetapi kemajuan yang akan diraih.
Karenanya kehadiran Islam sebagai menjadi magnet untuk menyatukan dan memajukan kehidupan. Menyatukan antara lintas kemajemukan baik agama, bahasa, suku bangsa, ras, golongan, dan kebudayaan. Dan memajukan dari segala bentuk keterbelakangan, ketertindasan, kejumudan, dan ketidakadilan hidup umat manusia sekaligus mendorong umat untuk melakukan aksi-aksi keunggulan hidup secara lahiriah dan ruhaniah.
Oleh sebab itu, Haedar meminta kepada umat Islam untuk bersatu agar usaha untuk menyatukan dan memajukan kehidupan lewat tarikan napas agama Islam dapat termanifestasikan secara nyata.
“Karena itu, sekarang ini semua kita dalam semangat bersatu di tengah perbedaan, maka kita majukan umat dan memajukan bangsa kita dengan spirit Islam,” jelasnya. (Cris)