Arogansi Ilmuwan

Hisab

Foto Ilustrasi Dok Unplash

Arogansi Ilmuwan

Thomas Djamaludin mengeritik penggunaan wujudul hilal yang dilakukan Muhammadiyah dalam menetapkan awal Ramadhan, 1 Syawwal, dan 10 Dzulhijjah sebagai teori usang. Di kesempatan lain menyebut penetapan yang dilakukan Muhammadiyah sebagai egosme kelompok.

Pakar atronomi dari Badan Riset Nasional (BRIN) yang juga mantan Kepala Lapan tersebut pada setiap tahun ketika terjadi perbedaan penentuan kalender Islam di Indonesia sering mengeritik yang cenderung menyerang dan memojokkan Muhammadiyah. Sinismenya terhadap penggunnaan hisab wujudul hilal tampak kuat, yang tidak menggambarkan seorang ilmuwan yang tidak terbuka pada perbedaan.  Kritik tidaklah masalah, tapi kalau tendensius dan menstigma negatif menjadi subjektif.

Jika mau menyoroti kelemahan, setiap metode maupun paradigma ilmu dan pemikiran, apalagi ijtihadi, maka masing-masing akan memiliki kekurangan. Metode imkanurukyat yang dipakai pemerintah atau MABIMS yang saat ini menetapkan kriteris posisi bulan tinggi minimal 3 derajat juga dapat dilihat kelemahanannya. Menurut Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid, Dr Hamim Ilyas, kriteria 2,3, atau 4 derajat sebenarnya merupakan titik lemah dari metode imkanurukyat. Imkanurukyat yang meski disebut hisab, postulat utamanya didasarkan pada asumsi kemungkinan hilal dapat dilihat,  sejatinya rukyat.

Prof Dr Suksiknan secara khusus bahkan meruntuhkan metode imkanurukyat tersebut.  Menurut Guru Besar dan pakar astronomi UIN Suka Yogyakarta itu, “Dalam praktiknya pengguna rukyat ketika melakukan observasi dan tidak berhasil maka umur bulan yang sedang berjalan digenapkan menjadi 30 hari (istikmal). Persoalannya ketika istikmal diperlakukan secara terus menerus maka akan terjadi umur bulan hanya 28 hari. Hal ini pernah terjadi pada bulan Jumadil Akhir 1433 H / Mei 2012 M dan Rabiul Akhir 1435 H / Maret 2014 M. Begitu pula pada tahun 1440 H / 2019 M setahun jumlahnya 356 hari. Kasus-kasus tersebut tentu tidak sesuai dengan pesan Nabi saw yang menyebutkan umur bulan kamariah minimal 29 hari dan maksimal 30 hari.”.

Tidak termasuk masalah ketidakpastian dalam menentukan tanggal baru. Selama rukyat dan penggunaan imkanurukyat terus dilakukan sebagaimana tercermin dari keharusan sidang isbat pada akhir bulan kamariah, maka ketidakpastian selalu terjadi. Bagaimana umat Islam sedunia dapat maju dan melakukan mobilitas sosial yang pasti bila kepastian awal bulan Ramadhan, 1 Syawwal, dan 1 maupun 10 Dzulhijah masih harus menunggu di akhir bulan kamariah. Padahal melalui hisab wujudl hilal hadirnya  awal bulan baru sudah dapat dipastikan beberapa bulan bahkan tahun sebelumnya. Hal itu sejalan pada umumnya umat manusia sedunia dalam menggunakan kalender tahun  masehi. Apalagi soal merukyat baik dengan mata telanjang maupun alat teknologi yang hasilnya selalu mengandung ketidakpastian.

Karena itu daripada terus saling menyalahkan dan menyerang lebih baik saling tasamuh atau toleran terhadap ketidaksamaan atau perbedaan mengenai penetapan kalender Islam tersebut. Selama belum dapat disepakati kalender Islam global maka selamanya akan terjadi perbedaan tersebut. Di sinilah pentingnya ilmuwan maupun ulama memiliki keluasan ilmu dan kelapangan hati atas perbedaan yang dasarnya ijtihad itu. Ranah ijtihad selamanya akan berbeda dan itulah yang disediakan Rasulullah untuk umat Islam dalam menghadapi keadaan zaman.

Ikuti kearifan para ulama klasik yang selalu toleran terhadap perbedaan. Imam Syafi’i berkata yang artinya “Pendapatku adalah benar, tapi masih memiliki kemungkinan salah. Pendapat orang lain adalah salah, tapi masih memiliki kemungkinan benar.” Karenanya jika masih ada ilmuwan yang pekerjaannya menyalahkan pendapat dan ijtihad pihak lain, maka ilmuwan itu sungguh arogan dan berjiwa kerdil. Lebih jauh bila ilmuwan arogan seperti itu menjadi ilmuwan pemerintah yang semestinya mengayomi perbedaan, maka akan menjadi pemecah belah bangsa!

Sumber: Majalah SM Edisi 6 Tahun 2023

Exit mobile version