Shalat untuk Menjemput Rahmat (6)
Oleh: Mohammad Fakhrudin dan Nif’an Nazudi
Pada Shalat untuk Menjemput Rahmat (5), Suara Muhammadiyah edisi 2023/04/06, dikemukakan uraian tentang kaifiat membaca ta’awuz (istiazah) dan membaca basmalah di dalam shalat. Hal yang perlu mendapat penekanan kembali adalah bahwa ta’awuz dibaca pada setiap rakaat. Ta’awuz yang dibaca adalah yang terdapat di dalam surat an-Nahl (16): 98, sebagaimana yang lazim dibaca juga di luar shalat, yakni a’ūżubillāhi minasy-syaiṭānir-rajīm.
Tiap rakaat merupakaan sebuah shalat. Setiap rakaat kita membaca surat al-Fatihah dengan lebih dahulu membaca ta’awuz, kemudian basmalah.
Bismillāhir-raḥmānir-raḥīm, yang lazim disebut juga basmalah, dapat dibaca dengan sir atau jahar pada shalat dengan bacaan surat secara jahar. Namun, membaca basmalah dilakukan dengan sir pada shalat dengan bacaan surat sir.
Pada Shalat untuk Menjemput Rahmat (6) ini dikemukakan kaifiat membaca surat al- Fatihah dan āmīn.
Membaca Surat al-Fatihah
Membaca surat al-Fatihah merupakan salah satu rukun shalat. Hal itu sesuai dengan HR al-Bukhari dan Muslim, yang transkrip dan maknanya dikutip berikut ini.
“Dari ‘Ubādah Ibn as-Șāmit [diriwayatkan]bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersaabda, Tidak sah shalat orang yang tidak membaca Pokoknya Kitab (al-Fatihah).”
Kaifat itu bersifat umum. Hal itu berarti pada kondisi bersifat khusus, ada kaifiat yang bersifat khusus pula.
Bagaimana cara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membaca surat al-Fatihah ketika shalat: apakah ayat demi ayat atau sambung-bersambung pada ayat-ayat tertentu? Ada dua hadis yang dikutip oleh Majelis Tarjih dan Tajdid, yang transkrip dan maknanya dikemukakan berikut ini.
HR al-Bukhari
“Dari Qatādah [diriwayatkan bahwa] ia berkata, Anas pernah ditanya bagaimana bacaan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Anas menjawab, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membaca dengan memanjangkan [suaranya]. Kemudian, Anas memperdengarkan apa yang Nabi bacakan itu, yakni ‘bismillāhir-raḥmānir-rāḥīm, beliau memanjangkan bacaan basmalah dengan memanjangkan ar-raḥmān dan memanjangkan ar-rāḥīm.”
HR Ahmad
“Dari ‘Abdullāh Ibn Abū Mulaikah dari Ummu Salamah [diriwayatkan bahwa] ia pernah ditanya tentang bacaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ummu Salamah berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memutus-mutus [menghentikan] bacaan ayat demi ayat: Bismillahir-raḥmānir-rāḥīm [berhenti], alḥamdulillāhi rabbil ‘ālamīn [berhenti], ar-raḥmānir-rāḥīm [berhenti], māliki yaumiddīn [berhenti].”
Dengan memperhatikan kedua hadis itu, di dalam shalat, kita membaca surat al-Fatihah dengan cara membaca ayat demi ayat. Cara yang demikian sejalan pula dengan hadis dari Abū Hurairah di dalam HR Muslim bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, Allah berfirman, yang artinya,
“Aku membagi shalat (maksudnya: Al Fatihah) menjadi dua bagian, yaitu separuh untuk-Ku dan separuh untuk hamba-Ku. Jika ia membaca, alḥamdulillāhi rabbil ‘ālamīn (Segala puji hanya milik Allah), Allah Ta’āla berfirman, Hamba-Ku telah memuji-Ku.
Ketika ia membaca, ar-raḥmānir-rāḥīm (Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang), Allah Ta’āla berfirman, Hamba-Ku telah menyanjung-Ku.
Ketika ia membaca, māliki yaumiddīn (Penguasa hari pembalasan), Allah Ta’āla berfirman, Hamba-Ku telah mengagungkan-Ku
Jika ia membaca ‘iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’īn (Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan), Allah Ta’āla berfirman, Ini separuh untuk-Ku dan separuh untuk hamba-Ku.
Jika ia membaca ‘ihdinaș-șirāțal mustaqīm, șirāțallaẓīna an’amta ‘alaihim gairil-magdūbi ‘alaihim wa lād-dāllīn (Tunjukilah kami kepada jalan yang lurus, yaitu jalan orang yang telah Engkau beri nikmat, bukan jalan orang yang dimurkai dan bukan jalan orang yang sesat), Allah Ta’āla berfirman, Ini untuk hamba-Ku, akan Aku kabulkan apa yang ia minta.
Dengan merujuk pada hadis qudsi tersebut, ketika shalat, kita lebih utama membaca surat al-Fatihah ayat demi ayat. Cara yang demikian tidak hanya berlaku pada shalat wajib, tetapi juga pada shalat sunah, termasuk di dalamnya adalah shalat tarawih.
Oleh karena itu, sayang sekali jika kaifiat membaca surat al-Fatihah tersebut hanya diterapkan pada shalat wajib. Namun, shalat tarawih yang merupakan bagian dari ibadah Ramadan, yang dapat mendatangkan pahala yang banyak, bahkan, penghapus dosa, tidak dimanfaatkan dengan baik.
Di dalam HR al-Bukhari dijelaskan sebagai berikut.
“Dari Abū Hurairah ia berkata, Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menganjurkan mereka untuk melakukan qiyam Ramadan, tetapi tidak mewajibkan, sebagaimana sabda beliau, Barangsiapa yang berjaga (melakukan qiyam) pada bulan Ramadan karena iman dan mengharap pahala, akan diampuni dosanya yang telah lalu.”
Dalam kenyataan ada sekelompok kecil jamaah shalat tarawih yang sama sekali tidak memperhatikan kaifiat membaca surat al-Fatihah. Di antara mereka, bahkan, ada yang sepertinya hanya membaca penggalan ayat terakhir, yakni dāllīn. Lebih memprihatinkan lagi, mereka sama sekali tidak memperhatikan tajwid. Kalimat dāllīn yang seharusnya dibaca dengan panjang 6 harakat, hanya dibaca dengan 1 harakat.
Membaca dengan Melisankan
Kita membaca surat al-Fatihah dengan melisankannya secara sir. Jadi, kita membacanya tidak hanya di dalam hati.
Berikut ini dikemukakan transkrip dan makna hadis yang dijadikan rujukan oleh Majelis Tarjih dan Tajdid
HR al-Bukhari
“Dari Abū Ma’mar [diriwayatkan bahwa] saya bertanya kepada Habbab, apakah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membaca ketika shalat zuhur dan asar, ia (Khabbab) menjawab, Ya. Kemudian, saya bertanya lagi, dari mana kamu mengetahui (Nabi membaca), ia menjawab, Dengan gerak-gerik janggutnya.”
HR Abū Dawud
“Dari Abū Ma’mar ia berkata, saya bertanya kepada Khabbab, Apakah Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam membaca ketika shalat zuhur dan asar, ia (Khabbab) menjawab, Ya. Kemudian, saya bertanya lagi, bagaimana mengetahui (Nabi membaca)? Ia menjawab, Dengan gerak-gerik janggutnya.”
Berkaitan dengan kaifiat melisankan bacaan al-Fatihah, ada hal yang perlu kita perhatikan. Dalam pelaksanaannya, ada jamaah pada shalat berjamaah yang melisankannya sampai terdengar oleh jamaah lain. Jika jamaah yang melakukannya demikian cukup banyak, apalagi dilakukan oleh semua jamaah, kiranya hal itu dapat menimbulkan suara yang kurang mengondisikan kekhusyukan shalat. Dikatakan demikian karena boleh jadi ada di antara mereka yang tidak memahami dengan baik mahraj dan tajwidnya. Tambahan pula, mungkin ada yang tempo bacanya sangat cepat atau lambat sekali.
Oleh karena itu, semestinya kita mengikuti contoh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana dijelaskan di dalam hadis-hadis yang transkrip dan maknanya telah dikutip. Kita melisankannya dengan gerakan janggut saja.
Memang ada pemahaman bahwa membaca dengan cara sir adalah melisankan bacaan yang dapat didengar sendiri. Namun, kriteria dapat didengar sendiri kiranya relatif dan sulit diukur. Mengapa? Kemampuan daya dengar sangat bervariasi. Orang yang kesehatan telinganya kurang baik (karena sakit atau uzur usia) mempunyai kemampuan berbeda dari orang yang indra dengarnya sehat.
Membaca Surat al-Fatihah bagi Makmum pada Shalat Berjamaah
Di dalam HPT 3 (hlm. 552-553) dijelaskan bahwa pada garis besarnya ada dua ijtihad fikih dalam hal membaca surat al-Fatihah bagi makmum, yaitu (1) mazhab Hanafi dan (2) jumhur ulama. Berikut ini dikemukakan landasan kedua-duanya.
Mazhab Hanafi
Imam Hanafi merujuk pada surat al-A’raf (7): 204,
وَاِذَا قُرِئَ الْقُرْاٰنُ فَاسْتَمِعُوْا لَهٗ وَاَنْصِتُوْا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ
“Dan apabila dibacakan al-Qur’an, dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.”
Bagi Imam Hanafi, ayat tersebut menjadi landasan bahwa diam dan memperhatikan dengan tenang ketika dibacakan ayat al-Qur’an berlaku tidak hanya terbatas pada keadaan di luar shalat, tetapi juga berlaku pada saat shalat berjamaah. Dengan demikian, makmum tidak perlu membaca surat al-Fatihah. Jadi, cukuplah imam shalat yang membacanya.
Jumhur Ulama
Jumhur ulama berpendapat bahwa firman Allah Subhanahu wa Ta’āla pada ayat tersebut bersifat umum. Membaca surat al-Fatihah, baik di dalam shalat sendirian maupun shalat berjamaah adalah salah satu rukun sebagaimana dijelaskan di dalam hadis dari ‘Ubādah Ibn as-Șāmit, yang terdapat HR al-Bukhari dan Muslim, yang transkrip dan maknanya telah dikutip.
Majelis Tarjih dan Tajdid berpendapat bahwa hadis tersebut tidak bertentangan dengan kandungan isi surat al-A’raf: 204. Isi hadis tersebut merupakan penjelasan yang bersifat khusus di dalam shalat. Dengan demikian, makmum tetap membaca surat al-Fatihah.
Penjelasan penting berkenaan dengan pendapat tersebut yang perlu kita pahami adalah kaidah fikih jumhur ulama menyatakan bahwa hadis ahad dapat membatasi keumuman ayat al-Qur’an. Hal itu berdasarkan alasan bahwa pernyataan umum itu memerlukan penjelasan. Jadi, hadis ahad dapat saja membatasi keumuman al-Qur’an dan sekaligus menjadi penjelas terhadap keumuman itu.
Hadis lain yang dijadikan hujjah juga oleh Majelis Tarjih dan Tajdid adalah HR Ahmad yang transkrip dan maknanya dikemukakan berikut ini.
“Dari Abdillāh Ibn Abū Qatādah dari ayahnya (Abū Qatādah) (diriwayatkan bahwa) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya (kepada pada sahabatnya), Apakah kalian membaca sesuatu di belakangku? Mereka menjawab, Ya. Beliau berkata, Jangan kalian lakukan itu, kecuali Ummul-Kitab.”
Jadi, surat al-Fatihah wajib kita baca di dalam shalat. Makmum masbuq, jika berkesempatan membacanya, tetap wajib membacanya juga meskipun tidak sampai selesai. Dia, setelah takbiratul ihram, langsung membaca ta’awuz, basmalah, lalu surat al-Fatihah.
Membaca Āmīn
Ketentuan membaca āmīn berlaku untuk shalat sendirian dan shalat berjamaah. Hal yang perlu mendapat perhatian dalam hubungannya dengan bacaan āmīn adalah bahwa bacaan itu tidak perlu didahului dengan bacaan rabbig firlī waliwālidayya. Jadi, setelah membaca wa lad-dāllīn, langsung membaca āmīn.
Berikut ini dikemukakan transkrip dan makna hadis yang dijadikan rujukan membaca āmīn.
HR al-Bukhari dan Muslim (1)
“Dari Abū Hurairah [diriwayatkan bahwa] Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, Apabila imam membaca āmīn, kamu hendaklah pula membaca “āmīn” karena sungguh barangsiapa yang bacaan “āmīn”-nya bersamaan dengan “āmīn” Malaikat, maka diampuni dosanya yang lalu.”
HR al-Bukhari dan Muslim (2)
“Dari Abū Hurairah raḍiyallāhu ‘anhu [diriwayatkan bahwa] Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, Apabila salah seorang kamu mengucapkan āmīn, dan Malaikat di langit juga mengucapkan “āmīn” dan kedua ucapan “āmīn” ini bersamaan, maka diampunilah dosanya yang lalu.”
Waktu Makmum Membaca Surat al-Fatihah
Di dalam buku Tanya Jawab Agama jilid 5 yang disusun oleh Majelis Tarjih dan Tajdid (hlm. 34-36) dijelaskan cara makmum membaca surat al-Fatihah. Berkenaan dengan hadis-hadis tentang waktu pelaksanaan makmum membaca surat al-Fatihah pada shalat berjamaah yang suratnya dibaca dengan jahar, yang seolah-olah bertentangan, ada dua metode yang diajukannya, yaitu (1) jam’u wat taufiq (mengompromikan dan menyelaraskan) dan (2) tarjih, yakni memilih dalil yang terkuat dan itulah yang diamalkan.
Majelis Tarjih dan Tajdid mengutamakan metode (1). Jika metode (1) tidak dapat dilakukan, barulah ditempah metode (2).
Dengan cara jam’u wat taufiq dapat dihasilkan ketentuan sebagai berikut: (1) bila makmum menjumpai bacaan al-Fatihah imam (jahar), ia wajib mendengarkan dan ikut membaca di dengan menggerakkan lisan bersama-sama imam, (2) bila imam membaca sir, makmum wajib membaca al-Fatihah, dan (3) bila imam membaca jahar dan makmum tidak menjumpai al-Fatihah imam, makmum hendaknya mendengarkan bacaan imam.
Semua hadis yang berkenaan dengan cara makmum membaca surat al-Fatihah pada shalat berjamaah yang bacaan suratnya dilakukan secara jahar tidak bertentangan. Hadis yang satu menguatkan hadis yang lain. Dengan demikian, makmum pun membaca surat-Fatihah pada shalat berjamaah yang bacaan suratnya dilakukan secara jahar. Waktu pelaksanaannya adalah bersamaan dengan imam, tetapi lebih cepat.
.Selain dengan cara tersebut, membaca surat al-Fatihah pada shalat berjamaah yang suratnya dibaca secara jahar dapat juga dilakukan dengan cara membacanya di celah-celah imam membaca ayat-ayat dari surat al-Fatihah. Namun, ketika imam membaca surat atau ayat al-Qur’an setelah al-Fatihah, makmum sepenuhnya memperhatikan bacaan tersebut..
Cara tersebut memungkinkan makmum dapat mendengarkan secara khusyuk dan utuh bacaan imam setelah membaca surat al-Fatihah. Dengan cara itu, mereka yang hafal surat atau ayat-ayat yang dibaca oleh imam dapat mengingatkan imam jika imam lupa, sedangkan makmum yang tidak hafal dapat mendengarkannya secara khusyuk dan utuh.
Dalam hubungan ini, Majelis Tarjih dan Tajdid memilih membacanya dengan menggerakkan lisan. Hal yang harus selalu kita ingat adalah bahwa kita tidak bersuara yang dapat menimbulkan ketidakkhusyukan di dalam shalat berjamaah.
Allahu a’lam
Mohammad Fakhrudin, warga Muhammadiyah tinggal di Magelang Kota
Nif’an Nazudi, dosen Universitas Muhammadiyah Purworejo