Alasan Muhammadiyah Tetapkan Puasa Ramadhan 29 Hari

Alasan Muhammadiyah Tetapkan Puasa Ramadhan 29 Hari

Alasan Muhammadiyah Tetapkan Puasa Ramadhan 29 Hari

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah- Ceramah Tarawih kali ini membahas mengenai alasan Muhammadiyah memutuskan puasa ramadhan selama 29 hari. Untuk pemateri ceramah tarawih hari Rabu (12/04) yaitu ustadz Dr. H. Oman Fathurrahman, M.Ag. (Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah).

هُوَ الَّذِيْ جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاۤءً وَّالْقَمَرَ نُوْرًا وَّقَدَّرَهٗ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوْا عَدَدَ السِّنِيْنَ وَالْحِسَابَۗ

“Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya, dan Dialah yang menetapkan tempat-tempat orbitnya, agar kamu mengetahui bilangan tahun, dan perhitungan (waktu).” (QS:Yunus: 5)

Beliau menyampaikan bahwa pada hari Jum’at mendatang tanggal 21 April 2023 telah berakhirnya puasa ramadhan 1444 H. Hal ini karena pada hari itu sudah memasuki tanggal 1 Syawwal 1444 H. Dengan demikian maka ibadah puasa Ramadhan berjumlah 29 hari pada tahun ini.

“29 hari tersebut itu sempurna 1 bulan, seperti halnya juga kalau kebetulan puasa Ramadhan 30 hari. Dua-duanya itu sempurna bukan berarti kalau 29 hari itu kurang sama sekali tidak, itu sempurna. Jadi umur bulan dalam kalender Qomariyyah itu bisa 29 hari atau 30 hari. Tidak boleh kurang dari 29 hari dan tidak boleh lebih dari 30 hari.” Jelasnya.

Ramadhan kali ini hanya 29 hari karena sudah memenuhi syarat untuk masuknya tanggal 1 bulan baru, yaitu masuknya tanggal 1 bulan Syawal 1444 Hijriyah. Ada tiga syarat yang harus terpenuhi secara kumulatif bukan alternatif. Pertama, sudah terjadi ijtima’ antara bulan dan matahari. Dalam dunia astronomi ijtima’ itu dikatakan konjungsi. Sedangkan dalam bahasa Arab sering disebut dengan ijtima’ atau iqtiran. Hal ini dimaksudkan bahwa suatu keadaan di mana bulan sedang berada di antara matahari dan bumi. Boleh juga dikatakan bulan sedang berada di antara bumi dan matahari, dan paling dekat dengan garis yang menghubungkan antara matahari dengan bumi.

Ijtima’ atau konjungsi tersebut itu merupakan tanda awal dan berakhirnya siklus bulan mengitari bumi dan dikenal juga sebagai bulan baru. Pada hari kamis 20 April 2023 jam 11.15 WIB terjadi ijtima’ tersebut, sehingga syarat pertama terpenuhi. Kedua, ijtima’ harus terjadi sebelum terbenam matahari. Lalu  ijtima’ pada hari kamis terjadi pada  jam 11.15 dan terbenamnya matahari misalnya di Yogjakarta itu jam 17.36, maka berarti ijtima’ terjadi sebelum terbenam matahari pada hari Kamis tersebut, sehingga syarat kedua telah terpenuhi.

Ketiga adalah pada saat matahari terbenam, bulan belum terbenam atau bulan masih berada di atas ufuk atau bulan masih berada di atas horizon. Pada hari ijtima’ tersebut  hari Kamis tanggal 20 April 2023 yang akan datang. Saat  terbenam matahari di Jogjakarta setelah terjadi ijtima’ itu bulan belum terbenam masih berada di atas ufuk. Ketinggiannya dari ufuk atau horizon di Yogyakarta 1,8 derajat. Piringan bulan itu diameternya itu kira-kira 32 menit atau setengah derajat, sehingga bulan ketika matahari terbenam sepenuhnya piringannya masih di atas, maka dengan demikian syarat yang ketiga sudah terpenuhi juga.

Pada hari kamis juga terjadi gerhana matahari. Hal ini mempertegas terjadinya ijtima’. Namun tidak semua kaum muslimin di sekitar kita menggunakan kriteria. Contohnya kementerian agama Republik Indonesia menetapkan kriterianya itu bukan pada saat terbenam matahari. Tetapi menentukan kriterianya atau syaratnya adalah pada saat terbenam matahari pada hari Kamis nanti itu tanggal 20 April. Dengan syarat bulan minimal tingginya 3 derajat jika kurang dari 2 derajat maka tidak bisa ditetapkan menjadi tanggal 1 Syawwal.  Namun di seluruh wilayah Indonesia tidak ada yang mencapai 3 derajat, maka dapat dipastikan pemerintah Republik Indonesia akan menjatuhkan hari raya idul fitri pada hari Sabtu tanggal 22 April 2023.

“Maka jika ada perbedaan dari segi penetapan ini, janganlah sebagai ladang untuk mengujar kebencian dan perpecahan. Karena perbedaan itu adalah semata-mata terjadi karena persyaratan dan pedoman yang diyakini masing-masing berbeda.” Tutupnya. (Sakila Ghina)

Exit mobile version